Minggu, 03 Maret 2013
psikologi klinis anak dan dewasa (Dionisius Ferdi Weros)
Beberapa universitas di Indonesia membagi dua program psikologi klinis mereka menjadi psikologi klinis anak dan dewasa. Menurut saya, alasan pembagian ini untuk memberikan ilmu yang lebih mendalam dalam masing-masing bidang. Hal ini membuat calon psikolog dapat memilih untuk lebih sering menghadapi klien anak atau orang dewasa, tergantung kenyamanan mereka. Anak-anak dan orang dewasa memiliki banyak sekali perbedaan dalam penanganannya. Hal ini mungkin juga menjadi alasan lain pembagian program tersebut.
Bagi saya, psikologi klinis anak merupakan suatu bidang yang cenderung saya jauhi. Mengapa? Karena saya tidak merasa nyaman menghadapi anak-anak. Saya merasa kesal setiap kali melihat mereka bergerak terlalu aktif kesana-kemari. Saya merasa kesal ketika mereka menangis dan berteriak. Saya adalah seseorang yang hanya mampu mencintai anak saya sendiri atau anak dari keluarga dekat saya. Hal ini menyebabkan saya tidak tertarik sama sekali untuk menjadi psikolog anak. Akan tetapi, tugas Teknik Wawancara kali ini sedikit mengubah pandangan saya mengenai dunia psikologi klinis anak. Perubahan ini tetap saya anggap tidak terlalu besar, hingga membuat saya tertarik untuk menjadi seorang psikolog anak. Namun, saya belajar untuk memandang psikologi klinis anak secara lebih positif.
Wawancara saya dengan , seorang psikolog klinis anak, cukup menginspirasi saya untuk mengubah pandangan saya. Sejujurnya, hal ini pertama kali saya alami sepanjang perjalanan perkuliahan saya. Menurut narasumber, alasan beliau memilih untuk menangani klien anak adalah efek yang diberikan akan jauh lebih banyak. Beliau beranggapan bahwa klien anak yang ditangani sedini mungkin akan memberikan efek positif yang berlangsung jauh lebih lama. Hal ini ada benarnya ketika dibandingkan menghadapi klien lansia yang efek positifnya cenderung berlangsung lebih singkat dibandingkan klien anak. Pernyataan ini cukup menginspirasi saya karena saya tidak pernah berpikir hal seperti ini sebelumnya. Namun, beberapa jam setelah wawancara tersebut, saya merasa bahwa pernyataan ini tidak sepenuhnya benar karena efek positif itu tergantung dari perasaan masing-masing individu. Bisa saja seorang klien lansia merasakan efek positif yang lebih besar daripada klien anak. Istilahnya lebih penting kualitas efek positif seseorang dibandingkan kuantitas berlangsungnya. Namun, kuantitas bukan berarti suatu hal yang bisa dilupakan begitu saja juga. Selain itu, bukankah semua klien memiliki kedudukan yang sama?
Selanjutnya, saya akan bergeser sedikit membahas mengenai psikolog klinis dewasa. Sejujurnya, saya tidak mendapatkan terlalu banyak hal yang benar-benar baru dari presentasi yang saya dengarkan di kelas. Saya sedikitnya sudah tahu seperti apa hal-hal yang mungkin saya hadapi nanti ketika menjadi seorang psikolog klinis dewasa melalui buku yang saya baca dan pengalaman yang sudah dibagikan oleh dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk tidak membahas terlalu banyak mengenai hal ini karena yang saya butuhkan adalah pengalaman yang nanti saya dapatkan saat melanjutkan perkuliahan pascasarjana.
Namun, saya tetap menarik suatu pelajaran berharga dari presentasi yang saya dengarkan hari ini yaitu sebagai psikolog, kita harus tahu batasan kita sendiri. Jangan sampai kita merasa kelelahan ketika menghadapi suatu klien karena kita tidak membatasi diri kita dan terus menerus menerima klien. Selain itu, jam terbang atau pengalaman adalah suatu aspek yang sangat penting dalam meningkatkan keterampilan-keterampilan seorang psikolog. Oleh karena itu, jangan pernah menunda untuk melatih keterampilan wawancara kita.
"You may delay, but time will not."
- Benjamin Franklin -
25 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar