Minggu, 03 Maret 2013

Diam Menyimpan Berbagai Kesan (Arief)

Nah, kali ini kita mulai berbicara mengenai teknik wawancara, yang merupakan salah satu mata kuliah legendaris di S 1 Fakultas Psikologi. Entah mengapa, kalau berbicara mengenai kelas ini yang terbayang selalu tugas, tugas, dan tugas. Percayalah, di balik lelahnya mengerjakan tugas selalu ada manfaatnya. Ada sebuah tugas dimana kami, para mahasiswa harus mewawancarai seorang praktisi dari psikologi klinis dewasa/klinis anak/industri & organisasi/pendidikan (diundi) mengenai teknik wawancara. Setelah itu, kami harus membuat laporan dan presentasi di kelas. Hari ini, teman-teman yang telah mewawancarai praktisi psikologi klinis dewasa dan klinis anak melakukan presentasi di dalam kelas, bagaimanakah kesannya terhadap para praktisi dalam bidang ini ???
     Jujur, selama di kelas saya mudah sekali mengantuk jika orientasi saya adalah hanya mendengarkan sampai memahami apa yang dijelaskan saat teman-teman presentasi. Siasatnya, saya membuat tujuan lain, yaitu "mencari keunikan masing-masing praktisi yang diwawancarai." Keunikan selalu membuat saya "tergiur," sehingga saya dapat terus fokus menikmati presentasi yang disajikan. Nah, kita bahas satu per satu beberapa keunikan yang ditemukan tadi. Sejak awal hingga akhir presentasi masing-masing kelompok selalu mengatakan teknik wawancara dapat dilakukan bersamaan dengan observasi. Selama kuliah kami diajarkan per metode, misalnya di kelas metode observasi diajarkan untuk memperoleh data melalui  observasi tanpa wawancara. Seandainya kita sebagai pemula, bagaimana kita melakukan keduanya sekaligus? Jawaban dari kelompok adalah jam terbang, itu intinya. Semakin sering kita melakukan keduanya maka semakin tajam kedua keterampilan tersebut. Bahkan ketika pertama kali seorang klien masuk melalui pintu, kita sudah mampu menebak apa yang kira-kira menjadi masalahnya. Pertanyaan sadis selalu muncul setelah selesai kelas, dari yang saya simpulkan ini seperti menggunakan intuisi. Alasannya, jam terbang erat sekali kaitannya dengan jumlah pengalaman. Berarti pengalaman itu seakan-akan mengarahkan kita dalam bertindak, termasuk observasi. Namun, bagaimana tingkat akurasi dari intuisi itu? Apakah setara dengan observasi yang mengandalkan keahlian pengamat?
     Selanjutnya terdapat pembahasan mengenai seorang pakar yang merupakan penganut behaviorisme, terutama dalam hal tes dan terapi, fokusnya lebih pada masa kini dan masa depan. Behaviorisme memang tidak terlalu banyak menyinggung masa lalu seperti aliran lainnya. Ketika ditanya, "apakah dia menggunakan tes grafis?" Jawaban dari kelompok "sepertinya tidak." Padahal tes grafis bermanfaat sekali dalam mengidentifikasi seperti apa kepribadian seorang anak dan apakah yang menjadi masalah yang dialaminya saat ini. Tes grafis ini memang lebih ke arah aliran psikoanalisis (seolah-olah mencari tahu apa yang tidak disadari seseorang), juga berorientasi pada masa lalu dan masa kini (berbeda dengan behaviorisme). Namun, tidak ada hukum yang menyatakan bahwa seorang penganut behaviorisme tidak boleh menguasai keterampilan dalam psikoanalisis. Justru akan menjadi lebih baik memiliki lebih dari satu keterampilan. Selama di Psikologi kami selalu diajarkan untuk memandang masalah dari berbagai sisi. Apabila dari satu sudut pandang masalah masih kurang jelas, kita punya pilihan menggunakan sudut pandang lain. Bukankah demikian? Pemahaman seperti inilah yang seharusnya tetap dipelihara. Dengan menutup sudut pandang lain, artinya sudah sekian banyak informasi yang kita abaikan.
     Selama kelompok berpresentasi saya sempat memperhatikan ucapan-ucapannya yang agak sedikit mengganjal. Pada awal presentasi diungkapkan bahwa pakar tersebut mengatakan bahwa metode-metode yang digunakannya tidak memiliki kelemahan. Hellowww....? Tidak ada yang sempurna di dunia ini, kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa. Apalagi setelah belajar mengenai beberapa alat tes psikologi dan metode observasi. Keduanya sama-sama memiliki kelemahan. Misalnya kedua keduanya sama-sama memiliki validitas yang rendah apabila digunakan sebagai metode tunggal. Apabila menggunakan observasi saja, kita akan kekurangan informasi yang ada dalam pikirannya. Salah satu cara memperolehnya adalah dengan wawancara. Metode-metode itu sama-sama memiliki kelemahan, sehingga digunakan semua apabila masih kekurangan data. Hal lain yang mengganjal itu saat ditanya "kapan menggunakan observasi, wawancara, dan tes?" Beliau menjawab "setiap hari". Di bagian tengah menjelang akhir presentasi ternyata ada ungkapan "tes tidak dapat selalu digunakan." Saya pun bertanya-tanya ada apa gerangan, mengapa  kedua informasi tersebut tidak konsisten? Kalau bertanya penyebab atau faktor, selalu berjuta-juta rasanya alias banyak. Salah satu kemungkinannya, mungkin praktisi tersebut masih kurang memperhatikan seberapa sering Beliau menggunakan tes. Apabila kita yang berada dalam posisi Beliau tanpa bisa menebak apa yang akan ditanya tentu akan bingung juga saat menjawab. Hasilnya jawaban kita belum tentu akurat, karena jawaban itu berasal dari proses berpikir yang terlalu singkat dalam konteks wawancara. Proses itu mungkin dapat berlangsung lama, kita bisa berpikir lebih dalam lagi, tetapi kasihan pewawancara... Dia sudah menunggu lama dan dibuat menunggu lagi, kasihan kalau sampai terjadi. Selama kita melakukan wawancara, mungkin ada baiknya kalau kita tetap tenang. Tenang memampukan kita berbicara dengan kecepatan yang lebih rendah, sehingga narasumber mampu meresapi pertanyaan yang kita ajukan. Setelah narasumber selesai meresapi, jawabannya tentu lebih berkualitas bukan? Jangan lupa, baik kita sebagai pemula dalam wawancara maupun para praktisi, keduanya sama-sama manusia biasa. Mereka menempuh pendidikan terlebih dahulu, sehingga mereka mampu meraih cita-citanya menjadi seorang praktisi sebelum kita yang masih pemula. Artinya, baik praktisi maupun seorang pemula, keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Hal terpenting adalah mengenali kedua hal tersebut untuk menjadi lebih baik lagi.

25 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar