Nah, kali ini kita mulai berbicara
mengenai teknik wawancara, yang merupakan salah satu mata kuliah
legendaris di S 1 Fakultas Psikologi. Entah mengapa, kalau berbicara
mengenai kelas ini yang terbayang selalu tugas, tugas, dan tugas.
Percayalah, di balik lelahnya mengerjakan tugas selalu ada manfaatnya.
Ada sebuah tugas dimana kami, para mahasiswa harus mewawancarai seorang
praktisi dari psikologi klinis dewasa/klinis anak/industri &
organisasi/pendidikan (diundi) mengenai teknik wawancara. Setelah itu,
kami harus membuat laporan dan presentasi di kelas. Hari ini,
teman-teman yang telah mewawancarai praktisi psikologi klinis dewasa dan
klinis anak melakukan presentasi di dalam kelas, bagaimanakah kesannya
terhadap para praktisi dalam bidang ini ???
Jujur, selama di kelas saya mudah sekali mengantuk jika orientasi
saya adalah hanya mendengarkan sampai memahami apa yang dijelaskan saat
teman-teman presentasi. Siasatnya, saya membuat tujuan lain, yaitu
"mencari keunikan masing-masing praktisi yang diwawancarai." Keunikan
selalu membuat saya "tergiur," sehingga saya dapat terus fokus menikmati
presentasi yang disajikan. Nah, kita bahas satu per satu beberapa
keunikan yang ditemukan tadi. Sejak awal hingga akhir presentasi
masing-masing kelompok selalu mengatakan teknik wawancara dapat
dilakukan bersamaan dengan observasi. Selama kuliah kami diajarkan per
metode, misalnya di kelas metode observasi diajarkan untuk memperoleh
data melalui observasi tanpa wawancara. Seandainya kita sebagai pemula,
bagaimana kita melakukan keduanya sekaligus? Jawaban dari kelompok
adalah jam terbang, itu intinya. Semakin sering kita melakukan keduanya
maka semakin tajam kedua keterampilan tersebut. Bahkan ketika pertama
kali seorang klien masuk melalui pintu, kita sudah mampu menebak apa
yang kira-kira menjadi masalahnya. Pertanyaan sadis selalu muncul
setelah selesai kelas, dari yang saya simpulkan ini seperti menggunakan
intuisi. Alasannya, jam terbang erat sekali kaitannya dengan jumlah
pengalaman. Berarti pengalaman itu seakan-akan mengarahkan kita dalam
bertindak, termasuk observasi. Namun, bagaimana tingkat akurasi dari
intuisi itu? Apakah setara dengan observasi yang mengandalkan keahlian
pengamat?
Selanjutnya terdapat pembahasan mengenai seorang pakar yang
merupakan penganut behaviorisme, terutama dalam hal tes dan terapi,
fokusnya lebih pada masa kini dan masa depan. Behaviorisme memang tidak
terlalu banyak menyinggung masa lalu seperti aliran lainnya. Ketika
ditanya, "apakah dia menggunakan tes grafis?" Jawaban dari kelompok
"sepertinya tidak." Padahal tes grafis bermanfaat sekali dalam
mengidentifikasi seperti apa kepribadian seorang anak dan apakah yang
menjadi masalah yang dialaminya saat ini. Tes grafis ini memang lebih ke
arah aliran psikoanalisis (seolah-olah mencari tahu apa yang tidak
disadari seseorang), juga berorientasi pada masa lalu dan masa kini
(berbeda dengan behaviorisme). Namun, tidak ada hukum yang menyatakan
bahwa seorang penganut behaviorisme tidak boleh menguasai keterampilan
dalam psikoanalisis. Justru akan menjadi lebih baik memiliki lebih dari
satu keterampilan. Selama di Psikologi kami selalu diajarkan untuk
memandang masalah dari berbagai sisi. Apabila dari satu sudut pandang
masalah masih kurang jelas, kita punya pilihan menggunakan sudut pandang
lain. Bukankah demikian? Pemahaman seperti inilah yang seharusnya tetap
dipelihara. Dengan menutup sudut pandang lain, artinya sudah sekian
banyak informasi yang kita abaikan.
Selama kelompok berpresentasi saya sempat memperhatikan
ucapan-ucapannya yang agak sedikit mengganjal. Pada awal presentasi
diungkapkan bahwa pakar tersebut mengatakan bahwa metode-metode yang
digunakannya tidak memiliki kelemahan. Hellowww....? Tidak ada yang
sempurna di dunia ini, kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa. Apalagi
setelah belajar mengenai beberapa alat tes psikologi dan metode
observasi. Keduanya sama-sama memiliki kelemahan. Misalnya kedua
keduanya sama-sama memiliki validitas yang rendah apabila digunakan
sebagai metode tunggal. Apabila menggunakan observasi saja, kita akan
kekurangan informasi yang ada dalam pikirannya. Salah satu cara
memperolehnya adalah dengan wawancara. Metode-metode itu sama-sama
memiliki kelemahan, sehingga digunakan semua apabila masih kekurangan
data. Hal lain yang mengganjal itu saat ditanya "kapan menggunakan
observasi, wawancara, dan tes?" Beliau menjawab "setiap hari". Di bagian
tengah menjelang akhir presentasi ternyata ada ungkapan "tes tidak
dapat selalu digunakan." Saya pun bertanya-tanya ada apa gerangan,
mengapa kedua informasi tersebut tidak konsisten? Kalau bertanya
penyebab atau faktor, selalu berjuta-juta rasanya alias banyak. Salah
satu kemungkinannya, mungkin praktisi tersebut masih kurang
memperhatikan seberapa sering Beliau menggunakan tes. Apabila kita yang
berada dalam posisi Beliau tanpa bisa menebak apa yang akan ditanya
tentu akan bingung juga saat menjawab. Hasilnya jawaban kita belum tentu
akurat, karena jawaban itu berasal dari proses berpikir yang terlalu
singkat dalam konteks wawancara. Proses itu mungkin dapat berlangsung
lama, kita bisa berpikir lebih dalam lagi, tetapi kasihan pewawancara...
Dia sudah menunggu lama dan dibuat menunggu lagi, kasihan kalau sampai
terjadi. Selama kita melakukan wawancara, mungkin ada baiknya kalau kita
tetap tenang. Tenang memampukan kita berbicara dengan kecepatan yang
lebih rendah, sehingga narasumber mampu meresapi pertanyaan yang kita
ajukan. Setelah narasumber selesai meresapi, jawabannya tentu lebih
berkualitas bukan? Jangan lupa, baik kita sebagai pemula dalam wawancara
maupun para praktisi, keduanya sama-sama manusia biasa. Mereka menempuh
pendidikan terlebih dahulu, sehingga mereka mampu meraih cita-citanya
menjadi seorang praktisi sebelum kita yang masih pemula. Artinya, baik
praktisi maupun seorang pemula, keduanya sama-sama memiliki kelebihan
dan kekurangan. Hal terpenting adalah mengenali kedua hal tersebut untuk
menjadi lebih baik lagi.
25 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar