Rabu, 06 Maret 2013

Psikolog Klinis: Sebuah pilihan (Ayu Thannia Dewi)

Psikolog Klinis adalah profesi yang paling dikenal dalam bidang Psikologi, namun juga jenis yang ditakuti oleh banyak masyarakat Indonesia. Why? Karena mereka tidak ingin rahasia hingga aibnya terungkap. Ironis sekali, padahal niat utama para lulusan Psikologi adalah menolong sebanyak mungkin orang. Well, paling tidak itu yang diajarkan oleh para Dosen saya. Dan~ para Psikolog disumpah suci loh ^.~ (lips sealed)

Pertemuan hari senin kemarin menyisakan banyak kesan, dan nguapan. Mahasiswa tidak afdol rasanya jika sekali-sekali tidak mengantuk di kelas. Jujur saya lebih senang jika Dosen yang menjelaskan daripada mahasiswa, terkadang mereka bertele-tele, termasuk saya sendiri. Kebetulan materi yang ditampilkan adalah aplikasi dari para senior kami yang sudah banyak makan asam garam di dunia Psikologi. Mengenai bagaimana sih cara para psikolog ngobrol, terutama dengan klien mereka? Ngobrol itu perlu teknik dan sensitivitas agar tidak menyinggung pihak lawan, terutama jika kita dibayar, bisa dihajar nanti (lol). Namun dalam hal ini, ngobrol tidak hanya sekedar ngobrol, namun juga memiliki tujuan. Di sinilah perbedaan ngobrol biasa dengan teknik wawancara.
Wawancara itu seni. Maka dari itu meskipun sama-sama mempelajari, semua orang memiliki caranya masing-masing. Ada seolah praktisi yang selalu menggabungkan wawancara dan observasi -ya, Dosen saya mengatakan bahwa kedua hal tersebut sulit dipisahkan. Bahkan dalam hal yang kecil, ketika kita berbicara dengan teman kita, dekat maupun tidak, kita pasti akan melihat wajah mereka atau mendengarkan anda mereka dan mulai "sensitif" terhadap perasaan mereka. Kalau wajah mereka mulai mengerut, atau mereka mulai memaksakan senyum, kita akan bertanya "Apa yang salah?". That's the practice! Ada praktisi lain, yang merasa bahwa wawancara dan observasi tidak memiliki kelemahan. Dalam kepala saya berkata, "He's so full of himself!". Mengapa saya berkata demikian? Karena kelemahan dan kelebihan kedua teknik ini adalah, only as good as the interviewer/observer. Atau mungkin, setelah saya pikirkan lagi, bukan seperti itu maksudnya. Benar, tekniknya sendiri tidak memiliki kelemahan yang berarti, namun bukan berarti juga beliau tidak menyalahkan diri sendiri saat melihat kesalahan kan? Terlalu full of himself atau hanya ber-atribusi internal.

Saya selalu berpikir bahwa orang dewasa selalu lebih curiga daripada anak-anak, karena kita sudah "diisi" dengan banyak hal. Namun ternyata tidak selalu demikian. Kepolosan anak-anaklah yang terkadang membuat mereka tidak mudah menyesuaikan diri dengan situasi asing. Terutama apabila mereka ke Psikolog, karena mereka ke sana pasti bukan karena keinginan sendiri. Bayangkan anak usia 3-5 tahun merengek minta diajak ke psikolog (roll eyes). Namun ketika mereka sudah mempercayai kita, mereka dapat dengan polosnya mengungkapkan semua hal. Mengapa? Mereka belum belajar membuat topeng dengan baik, sedangkan orang dewasa selalu menggunakan topeng di berbagai situasi. Saat belanja, saat menjual, saat di kelas, saat bertemu dosen, saat dengan teman, bahkan saat dengan orang tua. Everywhere!
Dunia itu memang panggung sandiwara, hahaha ^^

Have a Nice Day! 

27 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar