Minggu, 03 Maret 2013

Penggunaan Wawancara Bagi Psikolog Klinis Dewasa dan Anak (Melisa Lie)


Sebuah pengalaman buat saya pribadi ketika Bu Henny memberikan tugas untuk mewawancarai psikolog klinis dewasa. Banyak hal-hal yang saya belum ketahui sebelumnya tentang  wawancara tetapi saat saya terjun langsung melakukan wawancara dengan psikolog tersebut maka banyak hal-hal baru yang saya pelajari.

Hal-hal yang dipaparkan narasumber kelompok kami tidak hanya sekedar teori belaka tetapi diikuti oleh pengalaman-pengalaman beliau selama melakukan pekerjaannya. Ada sebuah kata-kata yang   cukup membuat saya sadar yaitu ketika saya dan kelompok bertanya bagaimana cara beliau menyiasati kelelahan yang ia alami dalam melakukan wawancara. Beliau mengatakan bahwa sebagai seorang psikolog, kita harus melakukan yang terbaik untuk klien. Klien datang pada psikolog itu tanda bahwa ia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi, maka dari itu seseorang datang ke psikolog. Sebagai seorang psikolog, jangan hanya melakukan segalanya dengan uang, tetapi dengan hati. Beri yang terbaik! Profesionalisme seorang psikolog harus terus ditunjukkan pada klien.

Kemampuan seseorang dalam melakukan wawancara harus mulai digunakkan dan diasah sejak mahasiswa karena mempelajari wawancara tidak hanya teori saja atau praktek sekali, dua kali tetapi sebanyak-banyaknya yang harus kita lakukan.Narasumber kami mengatakan bahwa dalam melakukan wawancara pun terkadang sebagai seorang psikolog, sulit untuk tetap objektif apalagi saat klien yang datang adalah klien yang merasa dirinya tidak mengalami masalah. Ada sebuah pengalaman yang diceritakan adalah beliau pernah menangani seorang perempuan usia dewasa pertengahan yang tubuhnya biru-biru karena dianiaya oleh pasangan "kumpul kebo'nya". Wanita ini memiliki tiga anak dari mantan suaminya yang telah bercerai dan anak-anaknya tinggal bersama wanita ini dan juga bersama pasangan "kumpul kebo'nya". Setiap hari kehidupan mereka dipenuhi dengan kekerasan, mulai dari teriak-teriak sampai lempar melempar barang, dan itu semua dilakukan saat ada anak-anaknya. Tetapi wanita ini datang kepada barasumber kami dengan merasa tidak bersalah dan memang seolah-olah dia sedang tidak ada di dalam masalah. Ia dibawa ke psikolog oleh saudaranya karena sudah tidak tahan lagi melihat apa yang dialaminya. Saat mendengar lebih lanjut tentang cerita klien, narasumber kami semakin merasa gemas dan dalam hati ingin rasanya memarah-marahi klien. Tetapi profesionalisme tetap harus ditunjukkan, beliau bertanya dengan nada yang tetap sama seperti sebelum-sebelumnya walaupun dalam hatinya merasa cukup kesal.

Saat saya mendengarkan presentasi tentang psikolog klinis anakpun, banyak hal yang saya dapatkan. Tampaknya psikolog klinis anak memang memiliki tantangannnya sendiri dan lebih kompleks dibandingkan dengan psikolog klinis dewasa. Sebagai psikolog klinis anak, tidak hanya berurusan dengan anaknya saja tetapi dengan orangtuanya juga, anggota keluarganya yang lain, bahkan mungkin gurunya. Tantangannya lebih lagi karena dalam berinteraksi dengan anak dibutuhkan kesabaran dan pendekatan yang khusus. Tidak hanya tantangan tetapi juga ada kemudahan-kemudahan tertentu. Anak-anak lebih sulit untuk berbohong dibandingkan dengan orang dewasa jadi lebih mudah untuk membantu proses wawancara. Tetapi bukan berarti anak kecil tidak berbohong tetapi kemungkinannya lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa.

Baik psikolog klinis dewasa maupun psikolog klinis anak ada tantangannya sendiri-sendiri, tergantung passion dari masing-masing kita saja dan dilihat dari sudut pandang kita.

26 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar