Rabu, 06 Maret 2013

Kendala Wawancara dan Sikap Profesionalitas Psikolog (Melisa Mel)

Sebagai seorang psikolog nantinya, kita dituntut untuk cakap dalam observasi, melakukan tes dan melakukan teknik wawancara. Wawancara itu sendiri berarti menggali informasi dari diri seseorang sehingga kita mendapatkan data yang diinginkan. Pada pertemuan kelas klinis, saya disadarkan bahwa membina raport merupakan suatu tahapan utama dan pertama saat berhadapan dengan klien. Kita akan diberikan kepercayaan dan semua cerita kita apabila hubungan yang kita bina dengan klien berlangsung dengan baik. Setelah proses bina raport terjalin, dimulailah masa-masa penggalian informasi sehingga kita tahu seluk beluk masalah klien. Kematangan wawancara sangat dibutuhkan disini. Berlangsungnya wawancara akan dilaksanakan secara bersama-sama dengan observasi. Ketika klien bersikap tidak kooperatif saat wawancara, kita dapat menggali informasinya melalui pencatatan tingkah laku subyek (observasi). Klien tidak akan kita paksa untuk membeberkan ceritanya apabila ia tidak ingin bercerita. Berilah waktu sejenak untuk klien rileks dan kemudian dipertanyakan apakah konseling mau dilanjutkan atau tidak? Jika klien tidak menginginkan bercerita, kita dapat menunda pada sesi selanjutnya. Pencatatan verbal dan warning tertentu kita berikan pada kasus yang tidak ingin diceritakan. Namun pada akhirnya kita tetap harus menggali informasi akan cerita tersebut karena itulah akar dari masalahnya. Kendala lainnya yang biasa dihadapi oleh psikolog adalah klien tidak sadar bahwa dirinya sebenarnya bermasalah dan ia dipaksa untuk berkonsultasi pada psikolog. Klien tipe ini biasanya denial akan masalah yang terjadi dihidupnya dan selalu mengatakan” i am okay.” Tipe klien seperti ini harus kita hadapkan dan sadarkan pada masalah dirinya yang sesungguhnya. Ada lagi klien yang bercerita panjang lebar seputar kehidupannya namun jauh dari inti pokok masalahnya. Klien ini harus kita tarik pada jalurnya agar sesi konseling berlangsung secara efektif. 
     Namun yang tidak kalah pentingnya adalah sikap profesionalitas sebagai psikolog harus tetap dijunjung tinggi. Ketika disaat tertentu kita sebagai psikolog merasakan kelelahan yang luar biasa dan ketidakmampuan melanjutkan sesi konseling sebaiknya kita batalkan sesi konseling tersebut demi mencegah sikap subyektivitas dan pekerjaan berjalan tidak maksimal. Pembatalan janji harus disertai dengan alasan yang jelas. Namun apabila kita merasa fisik kita masih kuat, kita tetap harus menerima klien karena sikap profesionalitas kita diuji. Tetapi tetaplah bersikap obyektif dalam menanggapi permasalahan klien. Tujuan kita sebagai psikolog adalah memberikan kesejahteraan dan kebahagian atas pemecahan masalah klien. Jadi, kunci-kunci kode etika psikolog harus tetap dipegang untuk pelaksanaan praktek kerja psikolog nantinya.

27 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar