Minggu, 03 Maret 2013
Wawancara pada Psikologi Klinis Dewasa dan Anak (Cherine Sugianto)
Psikologi dibagi menjadi beberapa macam ranah, salah satunya adalah psikologi klinis. Psikologi klinis itu terbagi menjadi dua macam, yaitu klinis anak dan dewasa. Masing-masing bidangnya menangani kasus-kasus kejiwaan dan kesehatan mental seseorang yang berhubungan dengan bidang klinis, namun sasaran usianya berbeda. Dalam bidang klinis, salah satu teknik yang digunakan psikolog untuk mendapatkan informasi dari klien adalah melalui teknik wawancara. Saya mendapat tugas untuk mewawancarai seorang psikolog yang biasa menangani kasus klinis dewasa, dan di sini saya mendapatkan informasi yang berguna…
Wawancara merupakan proses menggali dan mengumpulkan informasi dari dalam diri klien secara langsung dan verbal. Informasi yang digali dapat bermacam-macam, tergantung dari permasalahan psikologis yang dihadapi klien, seperti data diri klien, kegiatan sehari-harinya, masalah yang dihadapi klien, dan sebagainya sampai pada akhirnya psikolog dapat melihat permasalahan klien dengan jelas dan memberikan intervensi atau penanganan yang efektif, seperti pemberian terapi. Pada psikologi klinis dewasa, masalah mental yang dihadapi bermacam-macam, seperti stres karena pekerjaan, depresi, trauma, fobia, disfungsi seksual, dan sebagainya.
Wawancara dimulai dengan membina rapport terlebih dahulu dengan klien agar ia merasa nyaman dengan kita. Jika klien merasa nyaman, maka ia akan mau menceritakan segala permasalahannya dengan jujur. Kita juga harus melihat permasalahan dengan obyektif dan tidak men-judge orang sembarangan. Ada beberapa kendala dalam melakukan proses wawancara. Kendala dari dalam diri kita sebagai pewawancara (internal) misalnya jika kita sedang terburu-buru sehingga wawancara tidak maksimal, fisik kita sedang tidak fit, atau rentan bias, seperti kecenderungan kita memandang klien positif dari segi penampilan. Faktor karena kelelahan kita juga berpengaruh terhadap proses wawancara. Oleh sebab itu, kita harus menggunakan waktu dengan efektif dan tentukan kapasitas waktu wawancara sesuai kemampuan kita. Kendala dari luar diri kita (eksternal) merupakan kendala dari dalam diri klien, seperti klien yang terlalu aktif berbicara, atau yang terlalu pasif, sulit diajak berbicara, keluarga klien yang tidak suportif, dan sebagainya. Masing-masing kendala tersebut harus dapat ditangani secara profesional. Pada klien yang terlalu aktif berbicara, kita harus mengarahkannya dengan baik jika ceritanya sudah melebar ke mana-mana agar kita tidak ikut terbawa oleh ceritanya. Yakinkan pada setiap klien bahwa kerahasiaan informasinya dijamin. Intonasi suara kita dengan klien juga harus disesuaikan agar kenyamanan tetap dapat tercipta. Kita sebagai pewawancara juga harus tahu batasan kita dalam melakukan wawancara. Jika fisik kita sedang drop, maka lebih baik kita tidak memaksakan wawancara karena hasilnya tidak akan maksimal.
Pada bidang klinis anak, wawancara terhadap anak tidak dapat dipisahkan dari wawancara dengan orang tuanya atau orang terdekat anak. Hal ini disebabkan karena anak belum mampu memahami dan menghadapi sendiri permasalahannya. Anak pada umumnya merasa enggan dan takut untuk berbicara dengan orang yang baru dikenal, seperti kita sebagai pewawancara. Pada anak yang sulit berbicara, kita juga dapat melakukan tes lain yang lebih ringan terlebih dahulu bagi anak, seperti tes grafis. Melalui menggambar, anak dapat mengkomunikasikan ceritanya secara tidak langsung, sambil kita membina rapport terhadap anak. Apabila anak sudah merasa dekat dan nyaman dengan kita, maka ia akan mau sedikit demi sedikit menceritakan masalahnya. Wawancara dengan orang tua dan orang terdekat anak juga berguna untuk mengetahui bagaimana hubungan sang anak dengan orang tua dan kontribusinya dalam menimbulkan gejala patologis pada anak, karena sebagian besar masalah pada anak memiliki hubungan yang erat dengan relasi anak terhadap orang tua. Ada beberapa kendala umum dalam wawancara dengan anak, seperti salah satunya selective mutism, di mana anak sebenarnya dapat berbicara, namun enggan berbicara dengan orang lain, atau membatasi pembicaraannya dengan orang lain.
Menurut saya, apa yang membedakan wawancara klinis pada anak dan dewasa adalah cara penanganannya, seperti pada anak kita harus membimbing mereka satu persatu dengan kegiatan ringan yang menarik agar mereka tidak tegang dan mau bercerita, seperti melalui permainan dan menggambar. Di samping itu, anak-anak juga masih sangat mudah untuk dideteksi kebohongannya bila mereka berbohong, karena pikiran mereka masih terbatas pada hal-hal yang konkret. Sedangkan, pada kasus dewasa, pikiran mereka lebih kompleks daripada anak kecil, sehingga lebih pandai menutupi kebohongannya. Hal ini menuntut psikolog agar jeli dalam melihat hal tersebut, seperti melihat melalui gestures, intonasi berbicara, pada bagian mana klien berbicara pelan atau mulai menunjukan emosinya seperti menangis, terbata-bata, dan sebagainya. Di sinilah dapat dianalisis di mana letak permasalahan klien sebenarnya.
Wawancara juga memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan dengan metode lainnya. Karena wawancara dilakukan secara bertatap muka, maka kita dapat langsung mengamati pola tingkah laku dan bahasa tubuh klien kita, sehingga kita dapat menilai keakuratan ceritanya. Data-data berasal langsung dari klien, bukan dari orang lain. Oleh sebab itu, wawancara tidak dapat dipisahkan dari teknik lain, yaitu observasi. Namun, wawancara juga memiliki kelemahan, jika klien meragukan kerahasiaan informasinya, atau jika wawancara dilakukan secara bertahap dan memerlukan waktu yang lama.
25 Februari 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar