Minggu, 24 Maret 2013

Sudahkah Anda Memiliki Keterampilan Dasar Wawancara? (Andri Setia D,)


Sebelum membahas tentang keterampilan dasar dalam wawancara, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang apa yang terjadi di kelas teknik wawancara hari Kamis kemarin. Pada pertemuan hari itu, sangat disayangkan Ibu Henny tidak dapat hadir di kelas karena ada keperluan di luar kota. Timbul sedikit kegalauan di hati saya, “Yahh… hari ini saya ga bakal dapet petuah-petuah beliau yang terkadang menggelitik namun sangat mengena”. Tapi untunglah ibu Tasya hadir dan membawakan materi pembelajaran dengan sangat menarik.

Saat pembelajaran sedang berlangsung, tiba-tiba Ibu Tasya meminta kami para mahasiswa untuk berpasang-pasangan (Waduh, ini kami mau dijodoh-jodohin atau gimana bu?). Ternyata Ibu Tasya meminta kami untuk melakukan role play. Salah seorang dari tiap-tiap pasang diminta untuk menceritakan hal apa saja, sementara seorang lainnya diminta untuk melakukan hal lain dan seolah-olah tidak mendengarkan cerita pasangannya. Setelah selesai kami diminta untuk bertukar peran dengan pasangan kami.

Saat pasangan saya bercerita, saya memalingkan wajah saya, berusaha tidak mendengarkan, dan sambil curi-curi kesempatan minum es buah yang tadi sudah dibeli oleh teman saya sebelum masuk kelas. Saat bergantian, ia juga melakukan hal yang sama terhadap saya. Memang bener-bener tidak enak rasanya kalau kita sedang cerita tapi tidak didengarkan. Rasanya keberadaan kita tidak dihargai, apa lagi kalau yang mendengarkan malah keasyikan minum es buah (:-p).

Keterampilan Dasar Wawancara
Untuk dapat melakukan sesesuatu hal dengan baik, tentulah kita harus menguasai keterampilan dasarnya terlebih dahulu. Jangan sampai udah sok jago tapi saat ditanya keterampilan dasar yang diperlukan malah tidak tahu. Nah, dalam wawancara apa sih keterampilan yang diperlukan? Yuk kita bahas satu-persatu sesuai dengan apa yang sudah di sampaikan di kelas.

Membina rapport. Hubungan dan situasi yang nyaman akan membuat seseorang dapat memberikan informasi tanpa ada perasaan takut atau malu sehingga ia menutup-nutupi informasi yang sebenarnya. Lalu bagaimana caranya menciptakan keadaan ini? Rapport akan terbentuk seiring berjalannya waktu. Hal yang perlu dilakukan adalah dengan bersikap ramah dan penuh penerimaan seperti memberikan senyuman manis (tapi jangan lebay juga..), mengucapkan salam, berjabat tangan (disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut klien), mempersilahkan duduk, memulai dengan percakapan ringan, dan masih banyak lagi. Selain itu, raut wajah juga tidak boleh datar ataupun terlalu ekspresif. Ekspresi wajah harus tetap netral sehingga tidak muncul pandangan klien bahwa interviever-nya sok tahu atau memberikan judgement tertentu.

Empati. Kita harus dapat memahami dan mengerti apa yang dirasakan klien. Kunci dari hal ini adalah dengan tetap fokus terhadap klien. Dengan begitu, ia akan merasakan adanya pengertian, pemahaman, dan penerimaan terhadap dirinya.

Attending Behaviour. Berikan waktu kepada klien untuk dia menceritakan apa yang dirasakan atau dialaminya. Terkadang empati dapat ditunjukan hanya dengan keheningan. Kita tidak perlu terlalu banyak bicara (Yap, sometimes less is more). Adanya kontak mata dan bahasa tubuh yang tepat dapat menyampaikan lebih dibandingkan dengan kata-kata.

Teknik bertanya. Pertanyaan terbagi menjadi open-question dan closed-question. Open-question akan membuat klien lebih mengekspresikan perasaannya. Pertanyaan jenis ini, membuat klien mengkonstruksikan apa yang ada dipikirannya sehingga interviewer tidak memberikan pengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap apa yang ingin disampaikan klien. Sedangkan closed-question merujuk pada jawaban tertentu seperti iya atau tidak. Pertanyaan jenis ini bisa mengarahkan/leading question sehingga klien dapat terpengaruh akibat pertanyaan tersebut. Seorang interviewer haruslah dapat memilih jenis pertanyaan yang digunakannya agar terhindar dari informasi yang tidak akurat.

Keterampilan observasi. Lagi-lagi harus disampaikan bahwa keterampilan wawancara harus didampingi dengan keterampilan observasi yang baik. Ekspresi wajah, bahasa tubuh, pilihan kata, dan intonasi suara juga dapat memiliki nilai informasi yang sama pentingnya dengan apa yang dibicarakan oleh klien itu sendiri.

Active listening. Sebagai pewawancara, kita tidak hanya mendengarkan saja. Pewawancara yang baik harus dapat memberikan dorongan kepada klien agar ia terus dapat menceritakan apa yang dirasakannya. Hal ini dapat dilakukan baik secara verbal ataupun nonverbal. Penggunaan kata “hmm..”, “okee.., “lalu…” dapat membuat klien lebih nyaman untuk melanjutkan ceritanya. Selain itu, dengan memberikan waktu sejenak seperti 10-15 detik untuk klien diam, klien dapat lebih mudah dan tidak tergesa-gesa dalam melanjutkan pembicaraannya.

Nah, dari informasi yang sudah disampaikan diatas, mari kita berkaca pada diri kita sendiri. Sudahkah kita menjadi pewawancara yang baik? Sudahkah kita memiliki keterampilan dasar sebagai pewawancara? Kalu saya sih jujur saja belum… tapi akan!!! (hahaha… AMIN!!!).

17 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar