Minggu, 17 Maret 2013

Psikologi Industri/Organisasi dan Psikologi Pendidikan (Danny Felix)


     Ternyata, teknik wawancara dalam dunia psikologi tidak hanya digunakan dalam konteks psikologi klinis saja, tetapi juga dalam konteks psikologi industri/organisasi (PIO) dan juga dalam konteks psikologi pendidikan. Jika dalam konteks klinis, wawancara digunakan untuk menggali informasi dari klien mengenai masalah yang dihadapinya, lalu dalam konteks PIO dan pendidikan, wawancara itu digunakan untuk apa?
     Pada dasarnya sama, wawancara digunakan untuk menggali informasi, hanya saja tujuan dasarnya sedikit berbeda. Jika dalam konteks klinis untuk mengetahui permasalahan yang dimiliki klien, dalam konteks PIO digunakan untuk mengetahui pengalaman pekerjaan calon karyawan, untuk mengetahui kompetensi yang dimilikinya dan informasi-informasi lainnya. Lalu, dalam konteks pendidikan, wawancara digunakan untuk mengetahui rencana pendidikan dari murid, permasalahannya dalam pendidikan, minatnya atau bakatnya yang ingin dikembangkan, dan informasi lainnya.
     Lalu, pendekatan yang perlu dilakukan oleh para praktisi PIO atau Pendidikan sama dengan pendekatan yang dilakukan oleh para praktisi Psikologi klinis? Dalam hal ini mungkin saja ada perbedaannya. Dalam konteks PIO, pendekatan wawancara yang dilakukan mungkin untuk meredakan ketegangan dan rasa Nervous ketika si calon karyawan akan diwawancara apalagi wawancara dilakukan face to face dan di dalam ruangan tertutup. Sedangkan dalam konteks psikologi pendidikan, pendekatannya mungkin saja lebih mengarah pada rasa keterbukaan dari praktisi agar murid mau ikut terbuka pada praktisi agar permasalahannya dapat dibantu dalam dunia pendidikan si murid.
     Tetapi, walau ada perbedaan, teknik wawancara yang dilakukan juga memiliki resiko yang sama, yaitu faking information / faking good. Dalam konteks PIO, faking biasa dilakukan agar si calon karyawan terlihat baik dan memiliki kompetensi yang bagus dalam bekerja (padahal belum tentu praktisi PIO dapat dibohongi). Lalu, dalam konteks psikologi pendidikan, faking mungkin dilakukan untuk menghindari diri agar orang tua murid tidak dipanggil, karena hingga saat ini jika orang tua murid dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil itu adalah guru BP, orang tua memiliki pemikiran bahwa anaknya ada suatu masalah besar di sekolah. Oleh karena itu bisa saja murid melakukan faking ketika diwawancara oleh praktisi.
     Tentu, bagi praktisi PIO maupun Psikologi Pendidikan, mereka juga menggunakan alat tes, observasi, walaupun mungkin kurang dapat melakukan terapi. Pada dasarnya, menjadi Psikolog Klinis, PIO, Psikologi Pendidikan, dan bidang Psikologi lainnya, banyak hal yang harus dikuasai bagi calon-calon Psikolog untuk menjadi Psikolog yang kompeten, bahkan mungkin kesulitannya tidak kalah berat dengan fakultas lainnya. Dari kedua artikel saya, tentu sudah sedikit terbayang bukan bahwa menjadi seorang Psikolog tidaklah semudah dari apa yang kalian bayangkan saat ini. Seorang Psikolog juga manusia, jadi hormatilah juga bagi mereka yang menggeluti bidang Psikologi bukan berarti mereka adalah dukun yang bisa membaca orang, atau hanya mengurusi orang gila saja, atau sebagai fakultas pelarian karena dianggap tidak ada hitungannya dalam materi perkuliahannya. Jadi bagaimana pandangan kalian saat ini mengenai Psikologi?

9 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar