Minggu, 03 Maret 2013

Psikolog Klinis Dewasa dan Anak (Stephanie Angelica.)


Psikologi Klinis di Indonesia terbagi menjadi klinis dewasa dan klinis anak. Materi presentasi teknik wawancara ini membahas tentang wawancara pada klinis dewasa dan klinis anak. Kelompok pertama membahas tentang wawancara pada klinis dewasa. Setiap kelompok ditugaskan untuk mewawancarai psikolog sesuai dengan materi masing-masing. Kelompok pertama dan kedua mempresentasikan materi klinis dewasa. Kelompok pertama mewawancarai psikolog klinis dewasa yang bekerja di lembaga konseling di Ipeka dan kelompok kedua mewawancarai psikolog klinis dewasa yang bekerja di sebuah rumah sakit di Serpong. Permasalahan yang  dialami oleh orang dewasa cenderung lebih pelik dibandingkan dengan anak kecil. Orang dewasa cenderung lebih mudah untuk menceritakan masalahnya dan cenderung pembicaraannya lebih tidak terarah. Dari masalah yang utama, orang dewasa sering menceritakan masalah yang melebar hingga tidak ada point penting dari masalah tersebut. Wawancara yang dilakukan pada klinis dewasa dapat digabungkan dengan adanya alat tes. Beberapa mahasiswa sangat tertarik untuk bertanya bagaimana jika psikolog sudah terlalu letih, namun masih harus melakukan wawancara dengan klien. Ibu Henny juga sempat mengatakan akan menerima klien hingga pingsan seraya tertawa. Berbeda dengan psikolog klinis dewasa di RS tersebut yang hanya membatasi jumlah klien 3 orang per hari.

       Kelompok ketiga dan kelompok keempat mempresentasikan tentang  klinis anak. Kelompok ketiga melakukan wawancara dengan seorang psikolog bernama H yang bekerja di sebuah lembaga konseling. Kelompok keempat mewawancarai seorang psikolog yang bernama E.  Melakukan wawancara dengan anak-anak cenderung lebih sulit dibandingkan dengan orang dewasa. Tidak banyak anak yang aktif dan mudah berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Dibutuhkan bina rapport untuk melakukan pendekatan awal dengan anak. Bina rapport dilakukan agar anak merasa nyaman dengan psikolog sehingga lebih mudah untuk diwawancarai. Banyak ruang konseling yang didesain dengan mainan anak, boneka tangan, buku cerita, dll, agar membuat anak nyaman. Ibu Hany akan merefer anak dengan kebutuhan khusus ke pusat terapi untuk diberikan pelayanan lebih intensif. Jika anak terlihat pasif pada pertemuan pertama, maka dapat dilakukan pertemuan-pertemuan selanjutnya agar dapat menggali masalah pada anak. Wawancara dan observasi dilakukan pada klien anak-anak. Dari hasil wawancara dan observasi dapat menghasilkan data yang cukup, sehingga mungkin tidak diperlukan adanya tes pada anak. Bukan berarti melupakan kegunaan tes itu sendiri. Tes juga dapat berguna jika anak tidak dapat diwawancarai. Berbeda dengan E yang berpendapat jika tes psikolog sama sekali tidak berguna. Wawancara juga dapat dilakukan pada orangtua jika anak mengalami keterlambatan bicara, selective mutism, pasif, cenderung menutup diri, serta memiliki kontrol diri yang kuat. Wawancara yang dilakukan pada anak juga cenderung menggunakan bahasa yang ringan dan pertanyaan terbuka mengenai aktivitas sehari-hari. Jika diberikan pertanyaan yang sulit maka anak kesulitan untuk menjawab. Pertanyaan yang menarik bagi saya adalah jika pergi konsultasi ke klinis anak, bagaimana jika orangtua faking good dengan mengatakan anaknya baik-baik saja. Ibu Heny menjawab jika orangtua yang mengajak anaknya ke psikolog pasti mengerti anaknya memilki masalah. Jika masih faking good dengan melindungi anaknya, tidak usah pergi ke psikolog. Pertanyaan lain yang membuat saya tertarik jika anak parroting,psikolog mengantisipasi dengan observasi. Psikolog juga mungkin menerima anak dengan kecerdasan tinggi jika anak itu bermasalah secara sosial.

       Dari presentasi mengenai wawancara pada klinis anak dan klinis dewasa, saya dapat menyimpulkan wawancara merupakan metode yang sangat penting untuk mendapatkan data di samping observasi dan tes. Wawancara juga tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari observasi dan tes. Ketiga metode tersebut merupakan komponen yang digunakan untuk keberhasilan konseling. Namun wawancara juga memilki kekurangan atau kendala. Seperti jika psikolog sudah merasa letih, maka ia harus profesional dengan menahan rasa letihnya dalam melakukan wawancara. Pewawancara klinis dewasa juga harus pandai mengarahkan klien agar dapat menceritakan masalah utamanya. Masalah pada klinis anak umumnya karena kesulitan melakukan wawancara pada anak yang terlambat bicara, selective mutism, anak yang pasif, dsb. Pewawancara juga harus pandai mewawancarai jika orang memilki pertahanan yang kuat sehingga tidak mudah ditembus. Pewawancara juga harus berhati-hati pada klien yang berbohong. Cara yang dapat dilakukan untuk dapat mencegah adalah menanyakan kembali pertanyaan yang sama pada pertemuan selanjutnya. Dari pertemuan ini, saya mendapat pengetahuan yang lebih luas mengenai wawancara yang ada pada klinis anak dan klinis dewasa. Saya merasa tidak sabar untuk mendengar wawancara yang dilakukan psikolog PIO dan pendidikan. Sekian tulisan yang saya buat. Terima kasih… :)

26 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar