Sabtu, 23 Maret 2013

Keterampilan Dasar Wawancara (Jonathan Handy)


 Pada sesi kali ini, perkuliahan kami membahas tentang keterampilan dasar dalam melakukan wawancara. Sesi perkuliahan kali ini berlangsung cukup melelahkan dan panjang. Bayangkan kami menjalani sesi perkuliahan ini selama kurang lebih 3 jam, dan hanya mendapatkan waktu istirahat sekitar 10 menit. Walaupun demikian, seperti biasa, ada begitu banyak hal yang penulis dapat pada sesi perkuliahan kali ini, di mana pada kali ini, topik yang dibahas adalah "Keterampilan Dasar Wawancara".

Seperti pada judul perkuliahannya, perlu digarisbawahi kata 'dasar'. Kata 'dasar', secara harafiah dapat diartikan sebagai 'fondasi dari suatu hal'. Hal ini pula yang Ibu Henny Wirawan, selaku pembicara tunggal pada perkuliahan kali ini, ungkapkan di awal perkuliahan. Hal ini penting karena topik dan trik - trik yang dipelajari pada perkuliahan kali ini wajib dikuasai untuk menjadi pewawancara handal, sehingga seorang pewawancara dapat meningkatkan kemampuannya dalam melakukan wawancara pada tahap selanjutnya. Apabila seorang pewawancara tidak dapat menguasai hal ini, maka dapat dipastikan seorang pewawancara akan mengalami kesulitan dalam melakukan wawancara, apabila tidak dianggap gagal.

Perkuliahan dibuka dengan sub-topik utama yaitu bina rapport. Rapport di sini berarti suatu hubungan yang baik dan pemahaman yang mutual dan sederajat dengan orang lain. Membina rapport dengan klien berarti membina suatu hubungan yang baik dan sederajat dengan klien. Hal paling penting yang dapat penulis dan rekan - rekan dalam membina rapport dengan orang lain, dalam hal ini klien, adalah dengan sikap dan tingkah laku yang welcome (terbuka) dan bersahabat.

Sikap yang bersahabat ini dapat ditunjukkan melalui sikap seorang pewawancara, seperti raut wajah dan senyum. Hal ini harus dilakukan dengan tulus karena penting bagi seorang pewawancara, dalam hal ini seorang psikolog, karena tidak dapat dipungkiri bahwa first impressions (kesan pertama) yang didapat oleh seorang klien merupakan awal dari segalanya, sama seperti judul ataupun tema dan genre dari suatu buku ataupun film.

Hal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah empati. Empati berarti mencoba merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Untuk dapat bersikap empati, seseorang harus meletakkan posisi dirinya di posisi yang dihadapi oleh orang tersebut, melihat apa yang dilihat oleh orang tersebut. Seringkali kita mendengar pernyataan yang menyebutkan bahwa semakin banyak kita mengetahui akan suatu hal, maka cara pandang kita terhadap sesuatu akan berubah.

Akan tetapi manusia seringkali 'membodohi' dirinya dengan tidak ingin tahu terhadap hal - hal yang baru tersebut, sebagian dari kita memang karena tidak tertarik, tetapi sebagian lainnya karena takut. Hal ini adalah hal yang wajar, akan tetapi ada baiknya kita mencoba untuk mencari tahu sehingga kita pun dapat menumbuhkan rasa empati kita terhadap orang lain.

Hal berikutnya yang penting adalah attending behavior. Attending behavior berarti mencoba untuk mendengarkan orang lain. Attending behavior sebaiknya juga diikuti dengan sikap dan gerak - gerik yang kita lakukan ketika kita mendengarkan orang tersebut, sehingga dapat membesarkan hati orang tersebut melalui perilaku kita karena merasa dirinya didengarkan dan diperhatikan.

Sesungguhnya, hanya dengan mendengarkan saja kita telah 'menyembuhkan' setidaknya, separuh dari problem yang dimiliki oleh orang tersebut. Hal - hal kecil seperti ini sebenarnya telah menjadi suatu pelipur lara bagi orang tersebut. Seperti pada topik minggu lalu, hal ini dapat kita latih dengan mencoba mendengarkan perkuliahan.

Hal - hal lainnya yang penulis dapat pada perkuliahan kali ini di antaranya teknik bertanya dan keterampilan dalam melakukan observasi. Dalam melakukan pertanyaan, ada baiknya kita menghindari kata tanya 'why' atau 'mengapa'.

Mengapa ? Karena hal ini tidak akan membantu akar masalah dari orang tersebut, tetapi hanya akan menciptakan rantai makanan atau lingkaran setan yang tidak berkesudahan. Dalam hal ini, ada baiknya kita bermain slow, pelan - pelan tetapi pasti melalui pertanyaan - pertanyaan yang mengarah ke arah situ, dengan menggunakan kata tanya seperti 'apa' dan 'bagaimana'.

Adapun dalam keterampilan melakukan observasi, hal ini telah banyak penulis dapat dalam mata kuliah lainnya, yaitu mata kuliah 'Metode Observasi'. Observasi dan wawancara memang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu, kita perlu melatih ketajaman kita dalam melakukan observasi, yang seringkali tidak hanya berguna dalam melakukan wawancara atau di bidang psikologi saja, tetapi juga dalam menjalani kehidupan secara umum.

Hal terakhir yang penting untuk diperhatikan adalah active listening. Active listening berarti kita tidak hanya mendengarkan atau melakukan attending behavior, tetapi kita juga menjadi seorang pendengar yang aktif. Hal - hal yang perlu dilakukan untuk menjadi seorang pendengar yang aktif adalah dengan memberikan feedback berupa encouragement (mendorong atau membesarkan hati orang lain), melakukan refleksi konten cerita dan refleksi perasaan klien, serta summarizing (menyimpulkan cerita klien).

Hal - hal di atas merupakan langkah - langkah dan hal - hal yang bersifat mendasar dan penting bagi seorang pewawancara agar dapat melakukan wawancara dengan orang lain. Selain itu, hal lain yang penulis ingat dari perkuliahan kali ini adalah emotion (emosi).

Emosi seringkali disalahartikan oleh orang Indonesia sebagai salah satu wujud dari perasaan itu sendiri, untuk menunjukkan perasaan yang emo, perasaan ingin marah, ingin menunjukkan perasaannya secara frontal, atau semacam perasaan kesal. Walaupun hal ini penulis pahami sebagai pergeseran makna seiring dengan berjalannya waktu, tetapi tidaklah demikian halnya pada bidang literatur & ilmu alam, termasuk psikologi.

Emosi sesungguhnya merupakan perasaan yang dialami oleh suatu individu yang dia alami. Ada begitu banyak emosi yang manusia miliki, yang penulis anggap merupakan suatu keistimewaan dari manusia itu sendiri, sehingga tidaklah heran apabila manusia seringkali disebut sebagai makhluk yang unik, yang membedakan kita dengan spesies - spesies lainnya.

Mengenai hal ini, seringkali pula orang menyalahgunakan antara kata 'berpikir' dan 'merasa'. Hal ini dapat dipertegas melalui bahasa Inggris yang cenderung lebih jelas, yaitu 'I think' dan 'I feel'. Jelas di sini bahwa emosi berhubungan dengan perasaan, bukan dengan pikiran. Menurut Ibu Henny, kosa kata bahasa Indonesia cenderung sedikit apabila dibandingkan dengan bahasa lainnya, seperti bahasa Inggris, dalam mengekspresikan suatu emosi.

Penulis cukup setuju dengan hal ini, karena seringkali penulis dapatkan bahwa ekspresi dari suatu emosi dalam bahasa Indonesia terbilang cukup sedikit untuk melukiskan gambaran ekspresi yang berbeda apabila dibandingkan dengan bahasa lainnya, khususnya dalam melakukan terjemahan kata atau alih bahasa antara satu bahasa terhadap bahasa lainnya.

Salah satu contoh adalah kata 'fun' dalam bahasa Inggris, seringkali sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di mana seringkali paling mudah diartikan sebagai 'senang' ataupun 'gembira', seperti pada kata yang diterjemahkan menjadi 'fun lie' = 'kebohongan yang lucu dan menyenangkan', yang menurut penulis kurang sesuai, menilik pada konteks situasi dalam bahasa aslinya ataupun pada bahasa Inggris, tetapi memang kata - kata inilah yang paling mendekati ditinjau dari istilah pada arti katanya.

13 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar