Sabtu, 23 Maret 2013

Keterampilan Dasar Wawancara (Dixie Delisia)


     Pada pertemuan ke-5 dari semester genap ini, kelas teknik wawancara yang saya ikuti membahas keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan selama proses wawancara. Pada pertemuan ini, dosen yang memberikan penjelasan mengenai materi tersebut. Cukup banyak pengetahuan yang saya dapatkan dari sini, terutama mengenai empati yang ternyata tidak gampang untuk dirasakan. Banyak lagi hal yang lainnya dan berikut akan saya paparkan secara singkat.
     Keterampilan dasar pertama dalam wawancara adalah kemampuan membina rapport. Sebelum memulai proses tanya-jawab yang dilakukan dalam wawancara, psikolog harus dapat membuat suasana terasa nyaman sehingga dapat mendorong klien untuk bercerita dengan jujur dan terbuka. Beberapa caranya adalah pasanglah muka yang ekspresif, namun juga jangan berlebihan (seperti cengar-cengir). Muka judgmental/menghakimi juga harus dihindari. Gunakan Bahasa Indonesia yang dimengerti oleh semua orang dan jangan menggunakan istilah-istilah psikologi yang hanya dimengerti oleh kaum psikologi.
     Keterampilan dasar kedua dalam wawancara membutuhkan waktu yang banyak untuk dijelaskan di dalam kelas ini, yaitu empati. Empati merupakan cara kita memantulkan perasaan, pengalaman, dan perilaku klien, bagaimana tepatnya penghayatan kita terhadap apa yang klien pikirkan dan rasakan.
     Setiap orang di kelas saya diminta untuk mencari pasangan masing-masing, agar lebih mudah, kami berpasangan dengan teman di sebelah kami. Orang pertama diminta untuk bercerita apapun selama dua menit dan orang lainnya diminta untuk melakukan apapun selain mendengarkan cerita orang pertama, dan itu dilakukan bergantian. Saya adalah orang pertama yang bercerita dan tidak didengarkan.Oleh karena saya mengetahui bahwa ini adalah tugas dari dosen, saya tidak terlalu kesal karena cerita saya tidak didengarkan. Tetapi, karena saya tidak mendapatkan respons apapun ketika bercerita, karena teman saya asyik dengan handphone-nya, saya cukup merasa terabaikan dan tidak diperhatikan, dan rasanya sangat tidak enak. Setelah itu, kami juga diminta untuk bercerita dan didengarkan oleh pasangan masing-masing dan akhirnya kami melihat perbedaannya. Bagaimana perhatian yang kami dapatkan ketika cerita kami didengarkan, bagaimana respons yang sesuai kami terima, dan sebagainya. Dari hal tersebut, dosen kami meminta kami untuk tetap belajar menunjukkan empati terhadap orang lain di mana pun kami berada.
     Keterampilan ketiga adalah attending behavior yang maksudnya adalah membiarkan klien yang lebih banyak bercerita terutama pada sesi awal. Bagaimana psikolog bisa memahami klien kalau psikolog-lah yang lebih banyak bercerita? Jadi, kuncinya adalah fokus pada diri klien, bukan diri sendiri. Keterampilan keempat adalah teknik bertanya. Open question biasanya diterapkan di awal untuk menggali informasi yang kaya dari klien. Closed question biasanya digunakan jika masalah dan kesimpulannya telah didapatkan, namun harus berhati-hati karena closed question bisa menjadi leading question.
     Keterampilan kelima adalah the abuse of question yang maksudnya adalah jangan membuat pertanyaan-pertanyaan yang menginterogasi, mendesak, dan memaksa klien. Hindari juga pertanyaan dengan menggunakan kata-kata “mengapa”. Keterampilan keenam adalah keahlian observasi, yaitu observasi perilaku verbal (kata-kata yang diucapkan) dan perilaku nonverbal (seperti ekspresi wajah, bahasa tubuh). Jika apa yang diucapkan klien tidak sesuai dengan perilaku nonverbalnya, maka terdapat inkongruensi, seperti “saya sedih” dengan ekspresi gembira.
     Active listening skills juga sangat dibutuhkan dalam wawancara. Hal pertama yaitu encouraging yang mendorong klien untuk bercerita lebih banyak lagi. Hal kedua adalah reflection yang terdiri dari dua bagian. Reflection of content (paraphrasing) merupakan kegiatan menceritakan kembali apa yang orang tersebut telah ceritakan dengan menggunakan kata-kata sendiri untuk tujuan klarifikasi. Paraphrasing digunakan ketika satu topik telah dipahami. Reflection of feelings merupakan pengambilan kesimpulan mengenai emosi klien. Hal ketiga adalah summarizing yang sebenarnya mirip dengan paraphrasing, namun summarizing merupakan penyimpulan cerita dari awal hingga akhir dan paraphrasing dilakukan ketika satu topik telah dipahami.
     Hal terakhir yang menjadi topik di kelas ini adalah perbedaan pikiran dan perasaan. Kita harus mengetahui kapan kita atau orang lain berpikir atau merasa. Banyak orang yang mengatakan,”Saya pikir saya sedih” walaupun sebenarnya itu merupakan perasaannya dan bukan pikirannya. Sebaliknya, banyak orang yang mengatakan,”Saya rasa saya harus ikut” walaupun itu sebenarnya merupakan apa yang orang-orang pikirkan dan bukan rasakan.
     Last but not least, satu kalimat dari dosen saya yang saya pikir penting untuk diingat dalam berempati adalah,”Tempatkan kaki Anda pada sepatunya, gunakan kacamatanya, bahkan masuk ke dalam kulitnya, dan hayati perasaannya”. Selamat berjuang!

13 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar