Jumat, 22 Maret 2013

Happy Ever After? (Agnes Victoria)


"And they live happily ever after..." familiar bukan? Kalimat tersebut merupakan kalimat terakhir dari kebanyakan dongeng princess yang sering kita dengar saat kecil dulu. Tapi pada kenyataannya apakah mereka yang sudah menikah dam membangun sebuah keluarga pasti hidup bahagia selama-lamanya?

Menikah, mungkin, adalah momen yang paling membahagiakan dalam hidup manusia dimana membangun pernikahan dan keluarga menandakan kita sudah cukup dewasa dan mapan untuk membangun sebuah kehidupan yang baru. Lalu apakah mereka yang sudah menikah akan hidup bahagia selama-lamanya seperti yang kita dengar dalam dongeng? Banyak orang berkata bahwa hidup ini seperti jalan yang berliku-liku. Demikian pula dalam hidup kita tidak akan pernah luput dari masalah atau cobaan. Dalam pernikahan juga bisa muncul masalah-masalah internal keluarga, dari yang "berantem kecil-kecilan", muncul kesalahpahaman, atau bahkan perselingkuhan dan berakhir pada perceraian.

Sebenarnya apa yang membuat seseorang yang telah memiliki pasangan (suami/istri) melakukan perselingkuhan? Alasan umum mengpa seseorang melakukan perselingkuhan adalah karena kurang puas dengan pasangannya, kembali lagi pada sifat dasar manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah ia miliki. Berdasarkan sebuah penelitian, dalam pernikahan homoseksual, kaum gay ternyata lebih sering melakukan perselingkuhan dibandingkan mereka yang lesbian dengan presentase 20% pada kaum lesbian yang melakukan perselingkuhan yang lebih menekankan pada emosi dan perasaan mereka, dan 15 - 35% kaum gay melakukan perselingkuhan dalam konteks sex.

Lalu apakah mereka yang dikhianati pasangannya melalui perselingkuhan akan meninggalkan pasangannya? Ada beberapa alasan yang dapat mendukung mengapa mereka yang mengalami perselingkuhan memilih untuk bercerai dan terbagi dalam 3 faktor utama. Alasan yang pertama adalah karena faktor sosial dimana sekarang ini bercerai merupakan hal yang mudah dan murah. adanya hukum yang mudah dan pengacara yang murah. Mereka yang memilih untuk bercerai tidak takut dalam hal finansial karena sudah melakukan pembagian harta sebelumnya. menurut sebuah penelitian, pada pasangan yang memilih untuk bercerai pihak wanita lebih proffesional dalam hal pendidikan, finansial, status sosial ekonominya dibandingkan pihak pria.

Di samping faktor sosial, ada pula faktor predisposisi dimana mereka yang memilih untuk bercerai pernah memiliki pengalaman akan perceraianitu sendiri, misalnya sudahpernah bercerai sebelumnya atau memiliki orangtua yang juga bercerai. Hal ini membuat orang yang bersangkutan terbuka dengan perceraian dan menjadi skeptis dengan pernikahan karena merasa insecure. Faktor yang terakhir adalah faktor lain yang turut berkontribusi seperti usia yang masih terbilang muda, married by accident, alcohol / drug abuse, memiliki anak dengan jarak waktu yang cepat dari waktu menikah. Namun ternyata tidak semua orang melakukan perceraian setelah mengalami perselingkuhan. Ada beberapa alasan mengapa mereka yang telah dikhianati tetap menjaga keutuhan keluarga mereka, salah satunya keadaan ekonomi yang masih bergantung pada pasangan (pada istri) dan faktor agama yang tidak memperbolehkan melakukan perceraian.

So, the "happy ever after" did exist? Yang menentukan kita bahagia atau tidak adalah diri kita sendiri. Mereka yang mengalami perceraian bisa saja merasa bahagia dan tetap menjalin hubungan yang baik dengan mantan suami / istri mereka, begitu juga sebaliknya, mereka yang memilih untuk tetap mempertahankan pernikahannya juga dapat merasa bahagia apabila mereka memutuskan demikian :)

20 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar