Minggu, 24 Maret 2013
diam bukan berarti tidak merasakan apapun (Deasy Ayu Wulan Sunu)
Pengetahuan mengenai teknik wawancara, saya dapat lagi pada 11 Maret. Awalnya, Bu Henny menayangkan slide mengenai keterampilan dasar wawancara dan terdapat kata empati pada slide tersebut. Saya tertarik tentang empati.
Kenapa saya tertarik tentang empati?
Karena empati sangat penting untuk kita miliki, sikap yang bukan hanya psikolog tampilkan saat berhadapan dengan kliennya; tetapi manusia sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari harus memiliki rasa empati.
Apa sih empati?
Saat mendengar Bu Henny presentasi, saya menangkap arti empati sebagai kemampuan untuk memahami perasaan, pengalaman, dan perilaku orang lain tanpa memberi penilaian terhadap orang yang bersangkutan.
Memahami perasaan, bukan berarti jika lawan bicara menangis; kita juga ikut menangis. Bukan juga saat lawan bicara bercerita hal yang mengejutkan kita harus berkata "Wow..." sambil koprol. Kadang cukup diam sambil mendengar, memerhatikan dengan sungguh dan tulus; kita dapat memahami perasaan atau pengalaman lawan bicara kita. Saat kita sugguh-sungguh memberi kesempatan lawan bicara untuk menceritakan banyak hal, kesungguhan atau ketulusan yang kita beri akan terpancar melalui tatapan mata juga gerak tubuh yang kita tampilkan.
Saat berbicara dengan orang lain, secara naluriah kita bisa menangkap respon positif atau negatif dari gerak tubuh, tatapan mata, maupun senyum yang menghiasi wajahnya. Sama halnya ketika lawan bicara menangkap respon kita terhadapnya. Kita harus bisa menjaga perasaan lawan bicara, karena hal yang menurut Anda tidak terlalu penting, bisa saja menjadi hal yang penting baginya. Sudut pandang orang memang berbeda-beda, dengan empati lah kita berusaha menyamakan sudut pandang yang berlawanan.
Terima kasih telah membaca. Mohon maaf jika ada kesalahan kata atau makna dalam tulisan ini.
“When we honestly ask ourselves which person in our lives mean the most to us, we often find that it is those who, instead of giving advice, solutions, or cures, have chosen rather to share our pain and touch our wounds with a warm and tender hand. The friend who can be silent with us in a moment of despair or confusion, who can stay with us in an hour of grief and bereavement, who can tolerate not knowing, not curing, not healing and face with us the reality of our powerlessness, that is a friend who cares.”
― Henri J.M. Nouwen, The Road to Daybreak: A Spiritual Journey
11 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar