Minggu, 24 Maret 2013
Sikapmu Menentukan Klienmu (Laras Yuliansyah)
Pembahasan materi perkuliahan Teknik Wawancara pada hari Kamis, 14 Maret 2013 mengenai Keterampilan Dasar Wawancara. Ternyata menjadi seorang psikolog sangat membutuhkan keterampilan yang khusus ketika melakukan wawancara dengan klien. Apapun yang kita lakukan dan tunjukkan melalui eksperesi wajah atau bahasa tubuh akan menaruh umpan balik kepada klien. Hmm.. sungguh berisiko bukan? Tapi, kalau kita menguasai keterampilan sebagai psikolog, tentu saja hal tersebut menjadi tidak terlalu bermasalah.
Lalu, apa saja sih keterampilan dasar dalam wawancara? Terdapat 6 keterampilan dasar, yaitu kemampuan membina rapport, empati, attending behavior, teknik bertanya, keterampilan observasi, dan active listening. Keterampilan pertama yaitu kemampuan membina rapport. Ini merupakan tahap pertama yang harus dilakukan seorang psikolog ketika berhadapan dengan klien, keterampilan ini harus dilakukan agar membuat klien nyaman dan klien dapat mengungkapkan masalahnya. Membina rapport ini dapat dilakukan dengan memberikan senyuman hangat, berjabat tangan, mempersilahkan klien duduk, dan melakukan percakapan kecil (seperti apakah klien kesulitan menemukan alamat praktik psikolog). Tetapi, tentu saja psikolog harus memperhatikan latar belakang klien, misalnya saja ketika klien seorang laki-laki beragama Islam dan psikolog seorang perempuan, belum tentu klien tersebut mau untuk berjabat tangan dengan psikolog. Selain itu, bayangkan ketika pada saat pertama kali bertemu psikolog menampilkan ekspresi wajah jutek. Bagaimana nanti klien dapat terbuka dengan psikolog jika hal tersebut terjadi? Oleh karena itu, rapport harus dibina agar proses wawancara pun dapat terlaksana dengan baik.
Keterampilan yang kedua yaitu empati. Empati ini dapat dihasilkan dari rapport yang telah terbina dari awal. Empati ini merupakan kunci untuk mempertahankan fokus pada klien setiap waktu agar tidak terjadi miss. Ketika seorang psikolog memiliki empati, maka dia mampu memahami apa yang dirasakan klien dan apa yang terjadi pada klien bukan dari perspektif psikolog saja melainkan psikolog berusaha untuk menempatkan diri ketika berada di posisi kliennya, sehingga psikolog tidak menjadikan dirinya sebagai tolak ukur untuk klien karena manusia itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Keterampilan yang ketiga yaitu attending behavior. Maksud dari keterampilan ini yaitu dimana psikolog mampu untuk mengontrol perilakunya ketika wawancara, seperti psikolog tidak berbicara panjang lebar sedangkan klien baru berbicara sedikit. Hal ini membuat psikolog memberikan kesempatan kepada kliennya untuk menceritakan apa yang mereka rasakan. Psikolog juga harus tetap berusaha untuk mempertahankan fokus pandangan terhadap klien. Bayangkan jika klien sedang berbicara namun pandangan psikolog tidak mengarah kepada klien? Tentu saja klien tidak akan mau menceritakan apa yang dia rasakan karena merasa tidak diperhatikan. Atau jika psikolog banyak bicara sedangkan klien baru cerita sedikit, sebenarnya siapa ingin bercerita? Klien atau psikolog?
Keterampilan yang keempat yaitu teknik bertanya. Pertanyaan dapat berupa open (bersifat tidak mengarahkan sehingga klien bebas untuk mengungkapkan perasaannya) atau closed question (bersifat mengarahkan karena hanya sebatas jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’). Ketika psikolog bertanya juga jangan terkesan sedang menginterogasi dan memaksa klien karena klien berhak untuk tidak menceritakan pengalaman yang memang tidak ingin mereka ceritakan. Ketika klien merasa tertekan karena psikolog memaksa, hal ini justru bukan membantu klien tetapi justru membuat masalah klien tidak terselesaikan. Keterampilan yang kelima yaitu keterampilan dalam observasi. Tidak semua klien mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan dengan mudah, hal ini membuat psikolog seharusnya memperhatikan perilaku nonverbal karena bisa jadi justru masalah klien akan terlihat dari perilaku nonverbal tersebut. Jika psikolog tidak peka terhadap klien, bisa jadi masalah klien tidak dapat terselesaikan dengan baik. Keterampilan yang keenam yaitu active listening. Keterampilan ini dimana psikolog melakukan probing (menggali lebih dalam) agar mendapat informasi klien. Psikolog juga harus memberikan ekspresi wajah yang mampu mendorong klien agar klien tetap berbicara, dan ketika klien berbicara tentu saja psikolog harus mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan klien. Selain itu, mungkin psikolog dapat menggunakan kata ‘ya’, ‘oke’, atau ‘lalu’ agar klien merasa bahwa psikolog memang benar-benar memperhatikan apa yang diceritakan. Jangan sampai psikolog hanya diam mematung ketika mendengarkan. Memang psikolog mendengarkan, tapi apakah klien akan tetap berbicara jika psikolog menampilkan hal demikian? Saya rasa klien akan berhenti berbicara dan segera ingin menyelesaikan sesi dengan psikolog tersebut.
Dari keenam keterampilan tersebut, dapat dilihat psikolog sangat berperan penting terhadap klien. Jangan sampai psikolog memberikan ekspresi wajah berlebihan, seperti ekspresi alis diangkat karena terkesan menyalahkan klien padahal pada saat itu klien sangat butuh dukungan dan pertolongan. Hal ini membuat psikolog harus sangat berhati-hati karena apapun yang psikolog tampilkan akan memberi pengaruh kepada klien. Tentu saja untuk menguasai keterampilan tersebut harus dilakukan latihan dalam kehidupan sehari-hari agar menjadi terbiasa.
19 Maret 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar