Selasa, 25 November 2014

Rape and Sexual Assault (Lisa Febriani)


     Rape atau yang disebut sebagai pemerkosaan adalah melakukan kegiatan seksual dengan orang lain tanpa adanya kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut tidak hanya dimulai ketika ingin memulai kegiatan seksual saja, dari awal hingga akhir sesi dalam melakukan kegiatan seksual tersebut memang harus selalu mendapatkan kesepakatan, kalau tidak maka hal tersebut juga dikatakan sebagai pemerkosaan. Melakukan aktivitas atau kegiatan seksual memang akan jauh lebih bahagia tanpa adanya paksaan dari salah satu pasangan. Jika mendapatkan paksaan dari salah satu pasangan, maka pasangan yang satu lagi tidak akan mampu menikmati indahnya kegiatan seksual tersebut, dan juga akan mengalami luka-luka ringan atau berat, dan bisa saja korbannya akan mengalami depresi.
     Korban pemerkosaan di Indonesia, sering kali diberitakan adalah kaum hawa. Pelaku perkosaan itu sendiri bisa dari kalangan mana saja si korbannya ini, bisa saja keluarga dekatnya, saudara sepupu, atau orang lain yang tidak dikenal korban. Namun pemerkosaan tidak hanya dilakukan pada orang yang tidak saling mengenal saja, pemerkosaan juga bisa terjadi di dalam pernikahan antara suami dengan istrinya yang sering disebut sebagai marital rape. Wanita yang sudah menikah juga dapat mengalami pemerkosaan oleh suaminya, walaupun mereka sudah menikah, namun suami juga harus mengetahui tentang prosedur kegiatan seksual yang membahagiakan rumah tangganya, atau bahkan prosedur untuk memaksa istrinya untuk terus-menerus menuruti keinginan suaminya untuk melakukan hubungan seksual, padahal istrinya tersebut sudah / sedang tidak ingin melakukan hubungan seksual, mungkin karena kelelahan, atau sedang mengalami penyakit tertentu. Relasi seks di dalam pernikahan memang penting, namun tidak semua keinginan untuk melakukan hubungan seksual harus dituruti.
      Para penegak hukum sebaiknya menindak tegas para pelaku pemerkosaan, karena walaupun pelaku tersebut hanya melakukan kejahatan pada satu malam saja, namun dampaknya kepada korban ini mungkin saja seumur hidup. Oleh karena itu, untuk mencegah munculnya kembali keinginan jahat dari pelaku ini, maka dibutuhkan hukuman yang tegas, dan akurat untuk membuat efek jera bagi pelaku korban pemerkosaan ini. Sering kali pelaku pemerkosaan berdalih bahwa dirinya tertarik kepada korban karena melihat pakaian korban yang terlalu “mini”, sehingga munculnya rasa ingin memperkosa korbannya tersebut. Para penegak hukum juga harus paham dan menyadari, jika anak perempuannya itu mengalami perkosaan oleh laki-laki lain, bagaimana perasaan ayahnya, agar para penegak hukum mampu bekerja secara baik dan benar dalam mengadili pelaku pemerkosaan itu.
     Beberapa hal yang harus dipahami dan harus dibenarkan kognitifnya itu adalahnya merubahstereotype dari laki-laki tentang perempuan, yaitu perempuan tidak harus, selalu, dan wajib untuk menuruti keinginan suaminya untuk melakukan hubungan seksual; dan anggapan bahwa pakaian wanita itu mempengaruhi hasrat laki-laki untuk melakukan hubungan seksual juga harus diteliti lagi kebenarannya, karena dibeberapa negara yang mewajibkan perempuan untuk menutup auratnya juga masih mendapatkan pelecehan seksual. 

18 Nov 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar