Selasa, 25 November 2014

Rape is Rape (Dwiya Novi Wijayanti)





Dalam kelas Perilaku Seksual minggu lalu, ada kelompok yang membahas mengenai rape. Saat itu saya menjadi teringat akan beberapa kejadian pemerkosaan yang pernah saya dengar, yang ada di sekitar saya, maupun yang pernah saya lihat beritanya di media. Memang kasus pemerkosaan ini bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, bahkan kasus-kasus pemerkosaan yang di luar nalar seperti ayah memperkosa anaknya yang masih kecil/bayi, laki-laki memperkosa tetangganya, anak muda memperkosa seorang nenek, wanita lesbian memperkosa pasangan lesbiannya, dan masih banyak lagi contoh kasus yang bikin saya merinding.





Dulu saya tidak terlalu peduli dengan berita-berita tentang pemerkosaan, karena saya berpikir saya tidak pernah pulang larut malam sendirian dan tidak juga memakai pakaian yang “kurang bahan” ketika berpergian. Tetapi saya menjadi sangat waspada ketika ada tetangga saya yang menjadi korban pemerkosaan. Jadi ceritanya waktu di hari kejadian itu sedang hari raya lebaran Idhul Adha. Keluarga tersebut pagi-pagi berangkat menuju masjid, tetapi ada satu anak yang tidak bisa ikut menunaikan ibadah sholat karena sedang menstruasi jadi anak perempuan tersebut otomatis tidak ikut pergi ke masjid dan ia di tinggal di rumah sendirian. Ketika semua anggota keluarga sudah pergi, tidak lama tiba-tiba ada seorang pria menyelinap masuk ke rumah tersebut dan kemudian memperkosa anak perempuan itu lalu kemudian dibunuh. Setelah diselidiki ternyata pelaku yang memperkosa dan membunuh anak perempuan tersebut adalah kuli bangunan yang membangun rumah keluarga tersebut (orang yang dikenal oleh keluarga korban). Jadi kejadian pemerkosaan itu bisa terjadi dalam peristiwa yang beragam bahkan dilakukan oleh orang terdekat kita sekalipun.

Sebenarnya kasus seperti itu salah siapa sih? Apakah salah korban atau pelaku? Banyak masyarakat atau bahkan pejabat-pejabat yang ketika dimintai pendapat atau wawancara, mereka mengatakan bahwa pemerkosaan itu salah si korban, ‘lagian kenapa anak gadis masih keluyuran malem-malem?’, ‘mungkin perempuan itu pakai baju mini kali..’. Pendapat-pendapat tersebut sering kali diucapkan.





Menurut saya selain korban pemerkosaan yang harus diterapi karena pasti meimbulkan rasa trauma yang sangat dalam, si pelaku juga harus diberikan hukuman yang setimpal dan HARUS diterapi juga! Kenapa? Karena agar otak si pelaku kembali menjadi normal dan agar tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

16 Nov 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar