Jumat, 14 November 2014

mengenal apa itu body image???? (Rosalyah)



Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Aspek-aspek (Body Image : Bentuk tubuh adalah suatu simbol diri seseorang individu, karena dalam hal tersebut seseorang dinilai oleh orang lain dan sebaliknya menilai diri sendiri. Menurut King (dalam Rusiemi, 1993) dalam evaluasi tubuh terdapat korelasi positif yang signifikan antara nilai-nilai bagian tubuh dan nilai aspek diri, serta berhubungan dengan citra raga ideal tentang sesuatu yang disukai dan tidak disukai.

Pada penelitian yang dilakukan Hurlock (1990) mengatakan bahwa ketidakpuasan terhadap penampilan tertuju pada bentuk-bentuk khusus dari tubuhnya. atau pada penampilan keseluruhan. Pernyataan ini dapat diterangkan melalui penelitian Lerner (dalam Thomburg, 1982) mengenai tingkat karakteristik tubuh menurut pentingnya. Studi ini menemukan bahwa penampilan tubuh pada umumnya menjadi hal yang penting bagi pria dan wanita. Pria dan wanita merasa bahwa proporsi tubuh, wajah dan gigi menjadi hal yang amat penting. Menurut Atkinson (1992), seseorang selalu merasa tidak puas dengan bentuk badan, rambut, gigi, berat badan, ukuran dada dan tinggi badan. Dapat terlihat bahwa perhatian individu menilai penampilan dirinya atau orang lain tertuju pada perbagian tubuh misalnya hidung pesek, mata sipit, bibir tebal, atau keseluruhan tubuhnya misalnya badan kurus kering dan kulit hitam.

Menurut Jersild (dalam Kurniati, 2004) tingkat citra raga individu digambarkan oleh seberapa jauh individu merasa puas terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan. Hardy dan Hayes (1988) menambahkan tingkat penerimaan citra raga sebagian besar tergantung pada pengaruh sosial budaya yang terdiri dari empat aspek yaitu reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan individu dan identifikasi terhadap orang lain.

Komponen citra raga terdiri dari komponen perseptual dan komponen sikap menjadi landasan pengukuran. Komponen perseptual menunjukkan bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat untuk mewakili komponen-komponen tersebut, komponen sikap mengarah pada perasaaan dan sikap yang muncul dari kondisi tersebut. Perasaan diwakili dengan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya, sedangkan sikap diwakili oleh harapan-harapan mengenai tubuhnya, sebagai akibat dari harapan biasanya menjadi tindakan demi mewujudkan harapan tersebut (Jersild, 1979). Oleh karena itu aspek perasaan dan aspek harapan mewakili seluruh komponen sikap.

Menurut Suryanie (2005) aspek-aspek dalam citra raga yaitu persepsi terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan secara keseluruhan, aspek perbandingan dengan orang lain, dan aspek reaksi terhadap orang lain. Penilaian, perasaan dan harapan yang menyertai objek citra raga menjadi aspek dasar pengukuran terhadap citra raga. Pengukuran terhadap aspek-aspek tersebut menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan seseorang terhadap bentuk-bentuk khusus tubuhnya.


C.        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Raga


Berbagai macam penampilan fisik yang dianggap menarik atau tidak, banyak ditentukan oleh kebudayaan. Blyth, dkk (cit. Suryanie, 2005) menyatakan faktor sosio cultural berperan penting dalam citra raga. Ada anggapan masyarakat dalam lingkungan sosial tertentu mengenai tubuh ideal seperti harapan tubuh ramping dan wajah menarik. Citra seperti ini banyak digambarkan melalui media massa dan tubuh ideal cenderung disukai oleh gadis-gadis.

Menurut Schonfeld (cit. Suryanie, 2005) faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga antara lain :

a.         Reaksi orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain, agar dapat diterima oleh orang lain. Ia akan memperhatikan pendapat atau reaksi yang dikemukakan oleh lingkungannya termasuk pendapat mengenai fisiknya.

b.         Perbandingan dengan orang lain atau perbandingan dengan cultural idea. Wanita cenderung lebih peka terhadap penampilan dirinya dan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain atau lingkungan disekitarnya.

c.         Identifikasi terhadap orang lain. Beberapa orang merasa perlu menyulap diri agar serupa atau mendekati idola atau simbol kecantikan yang dianut agar merasa lebih baik dan lebih menerima keadaan fisiknya.

Faktor-faktor sosiokultural mempunyai peranan penting dalam citra raga. Dalam lingkungan sosial tertentu ada anggapan masyarakat mengenai tubuh ideal seperti : tubuh ramping, kaki panjang, dan wajah menarik. Ciri seperti ini banyak digambarkan melalui majalah dan tubuh ideal ini cenderung disukai banyak kalangan. Standar ideal dari daya tarik fisik mempengaruhi perkembangan nilai sosial individu (Indriastuti, 1998).

Suryanie (2005) mengatakan faktor sosio kultural berperan penting dalam citra raga. Pada setiap kebudayaan terdapat standar ideal daya tarik fisik dan standar ini akan mempengaruhi citra raga seseorang dalam berkembangnya nilai sosial orang tersebut. Selain itu perbandingan perkembangan fisik dengan orang lain dan reaksi orang lain terhadap fisiknya juga mempengaruhi citra raga.

Menurut Melliana (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga antara lain:

a.         Self esteem. Citra raga mengacu pada gambaran seseorang tentang tubuhnya yang dibentuk dalam pikirannya, yang lebih banyak dipengaruhi oleh self esteem individu itu sendiri, dari pada penilaian orang lain tentang kemenarikan fisik yang sesungguhnya dimiliki, serta dipengaruhi pula oleh keyakinan dan sikapnya terhadap tubuh sebagaimana gambaran ideal dalam masyarakat.

b.         Perbandingan dengan orang lain. Citra tubuh ini secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang atas fisiknya sendiri dengan standar yang dikenal oleh lingkungan sosial dan budayanya. Salah satu penyebab kesenjangan antara citra tubuh ideal dengan kenyataan tubuh yang nyata sering kali dipicu oleh media massa yang banyak menampilkan fitur dengan tubuh yang dinilai sempurna, sehingga terdapat kesenjangan dan menciptakan persepsi akan penghayatan tubuhnya yang tidak atau kurang ideal. Konsekuensinya adalah individu sulit menerima bentuk tubuhnya.

c.         Bersifat dinamis. Citra tubuh bukanlah konsep yang bersifat statis atau menetap seterusnya, melainkan mengalami perubahan terus menerus, sensitif terhadap perubahan suasana hati (mood), lingkungan dan pengalaman fisik inidvidual dalam merespon suatu peristiwa kehidupan

d.         Proses pembelajaran. Citra tubuh merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain diluar individu sendiri, yaitu keluarga dan masyarakat, yang terjadi sejak dini ketika masih kanak-kanak dalam lingkungan keluarga, khususnya cara orang tua mendidik anak dan di antara kawan-kawan pergaulannya. Tetapi proses belajar dalam keluarga dan pergaulan ini sesungguhnya hanyalah mencerminkan apa yang dipelajari dan diharapkan secara budaya. Proses sosialisasi yang dimulai sejak usia dini, bahwa bentuk tubuh yang langsing dan proporsional adalah yang diharapkan lingkungan, akan membuat individu sejak dini mengalami ketidakpuasan apabila tubuhnya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan, terutama orang tua.

Body image adalah gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana seseorang mempersepsi dan memberikan penilaian atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap ukuran dan bentuk tubuhnya, dan atas bagaimana ‘kira-kira penilaian orang lain terhadap dirinya. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan dan rasakan, belum tentu benar-benar merepresentasikan keadaan yang aktual, namun lebih merupakan hasil penilaian diri yang subyektif. Aspek-aspek (Body Image : Bentuk tubuh adalah suatu simbol diri seseorang individu, karena dalam hal tersebut seseorang dinilai oleh orang lain dan sebaliknya menilai diri sendiri. Menurut King (dalam Rusiemi, 1993) dalam evaluasi tubuh terdapat korelasi positif yang signifikan antara nilai-nilai bagian tubuh dan nilai aspek diri, serta berhubungan dengan citra raga ideal tentang sesuatu yang disukai dan tidak disukai.

Pada penelitian yang dilakukan Hurlock (1990) mengatakan bahwa ketidakpuasan terhadap penampilan tertuju pada bentuk-bentuk khusus dari tubuhnya. atau pada penampilan keseluruhan. Pernyataan ini dapat diterangkan melalui penelitian Lerner (dalam Thomburg, 1982) mengenai tingkat karakteristik tubuh menurut pentingnya. Studi ini menemukan bahwa penampilan tubuh pada umumnya menjadi hal yang penting bagi pria dan wanita. Pria dan wanita merasa bahwa proporsi tubuh, wajah dan gigi menjadi hal yang amat penting. Menurut Atkinson (1992), seseorang selalu merasa tidak puas dengan bentuk badan, rambut, gigi, berat badan, ukuran dada dan tinggi badan. Dapat terlihat bahwa perhatian individu menilai penampilan dirinya atau orang lain tertuju pada perbagian tubuh misalnya hidung pesek, mata sipit, bibir tebal, atau keseluruhan tubuhnya misalnya badan kurus kering dan kulit hitam.

Menurut Jersild (dalam Kurniati, 2004) tingkat citra raga individu digambarkan oleh seberapa jauh individu merasa puas terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara keseluruhan. Hardy dan Hayes (1988) menambahkan tingkat penerimaan citra raga sebagian besar tergantung pada pengaruh sosial budaya yang terdiri dari empat aspek yaitu reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan individu dan identifikasi terhadap orang lain.

Komponen citra raga terdiri dari komponen perseptual dan komponen sikap menjadi landasan pengukuran. Komponen perseptual menunjukkan bagaimana individu menggambarkan kondisi fisiknya. Oleh karena itu penilaian merupakan aspek yang tepat untuk mewakili komponen-komponen tersebut, komponen sikap mengarah pada perasaaan dan sikap yang muncul dari kondisi tersebut. Perasaan diwakili dengan tingkat kepuasan dan ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya, sedangkan sikap diwakili oleh harapan-harapan mengenai tubuhnya, sebagai akibat dari harapan biasanya menjadi tindakan demi mewujudkan harapan tersebut (Jersild, 1979). Oleh karena itu aspek perasaan dan aspek harapan mewakili seluruh komponen sikap.

Menurut Suryanie (2005) aspek-aspek dalam citra raga yaitu persepsi terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan secara keseluruhan, aspek perbandingan dengan orang lain, dan aspek reaksi terhadap orang lain. Penilaian, perasaan dan harapan yang menyertai objek citra raga menjadi aspek dasar pengukuran terhadap citra raga. Pengukuran terhadap aspek-aspek tersebut menghasilkan kepuasan atau ketidakpuasan seseorang terhadap bentuk-bentuk khusus tubuhnya.


C.        Faktor-faktor yang Mempengaruhi Citra Raga


Berbagai macam penampilan fisik yang dianggap menarik atau tidak, banyak ditentukan oleh kebudayaan. Blyth, dkk (cit. Suryanie, 2005) menyatakan faktor sosio cultural berperan penting dalam citra raga. Ada anggapan masyarakat dalam lingkungan sosial tertentu mengenai tubuh ideal seperti harapan tubuh ramping dan wajah menarik. Citra seperti ini banyak digambarkan melalui media massa dan tubuh ideal cenderung disukai oleh gadis-gadis.

Menurut Schonfeld (cit. Suryanie, 2005) faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga antara lain :

a.         Reaksi orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial selalu berinteraksi dengan orang lain, agar dapat diterima oleh orang lain. Ia akan memperhatikan pendapat atau reaksi yang dikemukakan oleh lingkungannya termasuk pendapat mengenai fisiknya.

b.         Perbandingan dengan orang lain atau perbandingan dengan cultural idea. Wanita cenderung lebih peka terhadap penampilan dirinya dan selalu membandingkan dirinya dengan orang lain atau lingkungan disekitarnya.

c.         Identifikasi terhadap orang lain. Beberapa orang merasa perlu menyulap diri agar serupa atau mendekati idola atau simbol kecantikan yang dianut agar merasa lebih baik dan lebih menerima keadaan fisiknya.

Faktor-faktor sosiokultural mempunyai peranan penting dalam citra raga. Dalam lingkungan sosial tertentu ada anggapan masyarakat mengenai tubuh ideal seperti : tubuh ramping, kaki panjang, dan wajah menarik. Ciri seperti ini banyak digambarkan melalui majalah dan tubuh ideal ini cenderung disukai banyak kalangan. Standar ideal dari daya tarik fisik mempengaruhi perkembangan nilai sosial individu (Indriastuti, 1998).

Suryanie (2005) mengatakan faktor sosio kultural berperan penting dalam citra raga. Pada setiap kebudayaan terdapat standar ideal daya tarik fisik dan standar ini akan mempengaruhi citra raga seseorang dalam berkembangnya nilai sosial orang tersebut. Selain itu perbandingan perkembangan fisik dengan orang lain dan reaksi orang lain terhadap fisiknya juga mempengaruhi citra raga.

Menurut Melliana (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi citra raga antara lain:

a.         Self esteem. Citra raga mengacu pada gambaran seseorang tentang tubuhnya yang dibentuk dalam pikirannya, yang lebih banyak dipengaruhi oleh self esteem individu itu sendiri, dari pada penilaian orang lain tentang kemenarikan fisik yang sesungguhnya dimiliki, serta dipengaruhi pula oleh keyakinan dan sikapnya terhadap tubuh sebagaimana gambaran ideal dalam masyarakat.

b.         Perbandingan dengan orang lain. Citra tubuh ini secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang atas fisiknya sendiri dengan standar yang dikenal oleh lingkungan sosial dan budayanya. Salah satu penyebab kesenjangan antara citra tubuh ideal dengan kenyataan tubuh yang nyata sering kali dipicu oleh media massa yang banyak menampilkan fitur dengan tubuh yang dinilai sempurna, sehingga terdapat kesenjangan dan menciptakan persepsi akan penghayatan tubuhnya yang tidak atau kurang ideal. Konsekuensinya adalah individu sulit menerima bentuk tubuhnya.

c.         Bersifat dinamis. Citra tubuh bukanlah konsep yang bersifat statis atau menetap seterusnya, melainkan mengalami perubahan terus menerus, sensitif terhadap perubahan suasana hati (mood), lingkungan dan pengalaman fisik inidvidual dalam merespon suatu peristiwa kehidupan

d.         Proses pembelajaran. Citra tubuh merupakan hal yang dipelajari. Proses pembelajaran citra tubuh ini sering kali dibentuk lebih banyak oleh orang lain diluar individu sendiri, yaitu keluarga dan masyarakat, yang terjadi sejak dini ketika masih kanak-kanak dalam lingkungan keluarga, khususnya cara orang tua mendidik anak dan di antara kawan-kawan pergaulannya. Tetapi proses belajar dalam keluarga dan pergaulan ini sesungguhnya hanyalah mencerminkan apa yang dipelajari dan diharapkan secara budaya. Proses sosialisasi yang dimulai sejak usia dini, bahwa bentuk tubuh yang langsing dan proporsional adalah yang diharapkan lingkungan, akan membuat individu sejak dini mengalami ketidakpuasan apabila tubuhnya tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh lingkungan, terutama orang tua.

13  Nov 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar