Senin, 07 April 2014

Happy ever after. Does it exist? (Tie Elisabeth Gouwtama)



Suatu hubungan percintaan umumnya dimulai dari berpacaran (dating) dan jika semua berjalan lancar maka hubungan tersebut akan berakhir dengan pernikahan, meskipun memang beberapa pasangan lebih memilih untuk tinggal bersama tanpa terikat pernikahan (kohabitasi). Pasangan-pasangan yang memilih untuk hidup berkohabitasi umumnya berdalih mereka ingin mempelajari lebih lanjut tentang kebiasaan dan keunikan pasangannya sebelum melangkah ke jenjang lebih jauh, berbagi pengeluaran, dll. Saya sendiri tidak setuju dengan kehidupan berkohabitasi. Menurut saya, jika memang ingin mempelajari kebiasaan serta keunikan pasangan, pelajarilah baik-baik selama masa pacaran. Bagi saya, hidup berkohabitasi itu bagaikan meletakkan kaki di dua daratan yang berbeda. Seandainya suatu hubungan tidak berlangsung dengan baik, seseorang selalu bisa mengangkat kaki dari salah satu daratan dan melanjutkan hidup.
Sedangkan, bagi para pasangan yang memutuskan untuk menikah, salah satu pertanyaan yang mungkin muncul dalam benaknya adalah “Apakah saya bisa bahagia dengan orang yang telah saya pilih?”. Satu kalimat menarik yang diucapkan oleh seorang teman saat ia sedang presentasi adalah “hidup bahagia selamanya hanya ada di film disney.” Setelah mendengar pernyataan itu, saya sempat merenungkan pernyataan tersebut selama beberapa waktu. Memang jika dilihat secara statistik angka perceraian semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut tidak hanya berlaku di luar negeri, tetapi juga di Indonesia (tingkat perceraian di Indonesia meningkat 4 sampai 10 kali lipat, seperti dilansir dalam Kompasiana).
Meskipun demikian, jujur saja saya termasuk orang yang percaya akan hidup bahagia selamanya. Hehehe. Call me naive, stupid, or whatever, but i think happy ever after is not only happening in disney. I believe it happens in real life as well. Saya tidak mengatakan bahwa dalam kehidupan pernikahan semua pasti akan berjalan mulus dan lancar, tidak akan ada pertengkaran, tidak akan ada masalah, tidak akan ada halangan, dan tidak akan ada badai yang akan merintang. Jika kita mengharapkan hal-hal diatas, ada baiknya kita menampar diri kita dan berhenti berharap *brb menampar diri*. It’s so impossible. Pasti akan ada masalah dan pasti ada pertengkaran dalam kehidupan pernikahan. Inilah mengapa keberhasilan suatu pernikahan bergantung pada diri kita dan diri pasangan kita. Seberapa besar usaha yang kita dan pasangan rela keluarkan untuk mengusahakan kebahagian. Apakah pasangan mau berkompromi satu sama lain. Apakah pasangan mau saling mendengarkan satu sama lain. Apakah pasangan bersedia untuk menelan ego dirinya masing-masing, bersedia untuk mengakui kesalahan jika berbuat salah, bersedia meminta maaf, dan bersedia untuk mengampuni.

16 Maret 2014
     Suatu hubungan percintaan umumnya dimulai dari berpacaran (dating) dan jika semua berjalan lancar maka hubungan tersebut akan berakhir dengan pernikahan, meskipun memang beberapa pasangan lebih memilih untuk tinggal bersama tanpa terikat pernikahan (kohabitasi). Pasangan-pasangan yang memilih untuk hidup berkohabitasi umumnya berdalih mereka ingin mempelajari lebih lanjut tentang kebiasaan dan keunikan pasangannya sebelum melangkah ke jenjang lebih jauh, berbagi pengeluaran, dll. Saya sendiri tidak setuju dengan kehidupan berkohabitasi. Menurut saya, jika memang ingin mempelajari kebiasaan serta keunikan pasangan, pelajarilah baik-baik selama masa pacaran. Bagi saya, hidup berkohabitasi itu bagaikan meletakkan kaki di dua daratan yang berbeda. Seandainya suatu hubungan tidak berlangsung dengan baik, seseorang selalu bisa mengangkat kaki dari salah satu daratan dan melanjutkan hidup.
Sedangkan, bagi para pasangan yang memutuskan untuk menikah, salah satu pertanyaan yang mungkin muncul dalam benaknya adalah “Apakah saya bisa bahagia dengan orang yang telah saya pilih?”. Satu kalimat menarik yang diucapkan oleh seorang teman saat ia sedang presentasi adalah “hidup bahagia selamanya hanya ada di film disney.” Setelah mendengar pernyataan itu, saya sempat merenungkan pernyataan tersebut selama beberapa waktu. Memang jika dilihat secara statistik angka perceraian semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal tersebut tidak hanya berlaku di luar negeri, tetapi juga di Indonesia (tingkat perceraian di Indonesia meningkat 4 sampai 10 kali lipat, seperti dilansir dalam Kompasiana).
Meskipun demikian, jujur saja saya termasuk orang yang percaya akan hidup bahagia selamanya. Hehehe. Call me naive, stupid, or whatever, but i think happy ever after is not only happening in disney. I believe it happens in real life as well. Saya tidak mengatakan bahwa dalam kehidupan pernikahan semua pasti akan berjalan mulus dan lancar, tidak akan ada pertengkaran, tidak akan ada masalah, tidak akan ada halangan, dan tidak akan ada badai yang akan merintang. Jika kita mengharapkan hal-hal diatas, ada baiknya kita menampar diri kita dan berhenti berharap *brb menampar diri*. It’s so impossible. Pasti akan ada masalah dan pasti ada pertengkaran dalam kehidupan pernikahan. Inilah mengapa keberhasilan suatu pernikahan bergantung pada diri kita dan diri pasangan kita. Seberapa besar usaha yang kita dan pasangan rela keluarkan untuk mengusahakan kebahagian. Apakah pasangan mau berkompromi satu sama lain. Apakah pasangan mau saling mendengarkan satu sama lain. Apakah pasangan bersedia untuk menelan ego dirinya masing-masing, bersedia untuk mengakui kesalahan jika berbuat salah, bersedia meminta maaf, dan bersedia untuk mengampuni.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar