Senin, 28 April 2014

Berbagi Pengalaman Setelah Dibagi Pengalaman Part II (Dinda Nabila Sholihah)


Sebelumnya, saya adalah seorang siswa dengan jurusan keahlian analisis kimia. Selama melakukan praktek kerja industri, kebocoran gas akibat proses dekstruksi protein adalah hal yang biasa terjadi di laboratorium. Dan itulah dukanya. Kebocoran gas tidak seharusnya terjadi, hal tersebut disebabkan karena kebocoran gas merupakan salah satu bentuk kecelakaan kerja, terlebih jika analis tidak menggunakan alat pelindung diri dengan baik. Efeknya pun beragam, dimulai dari pusing, sesak napas, radang paru-paru, sampai kemandulan. Oleh karena hal-hal tersebutlah Ibu saya meminta saya untuk beralih ke bidang lain. Panjang kali lebar sudah beliau sampaikan agar saya mau keluar dari bidang tersebut. Berkali-kali Ibu saya menceritakan kisah tentang wanita yang madul dan wanita yang memiliki anak retardasi mental akibat sering terpapar radiasi. Sampai akhirnya beliau tunjukkan kepada saya tentang pekerjaan lain yang beliau anggap lebih aman bagi wanita, salah satunya adalah untuk menjadi guru taman kanak-kanak (TK).
Mengapa harus guru TK? Ya, sebab Ibu saya memang sudah tenggelam dalam bidang tersebut selama 22 tahun, dan mudah bagi beliau untuk menunjukkan kepada saya tentang betapa menyenangkan dan mudahnya menjadi seorang guru TK.

Jika diperhatikan sekilas, profesi tersebut memang cukup menarik dan tidak begitu menyulitkan. Namun, jika diperhatikan lebih lanjut, ada sisi lain yang membuat saya berpikir kembali untuk membelokkan diri dari profesi saya sebelumnya.

Berkat kemahirannya mengajar, Ibu saya selalu dipercaya untuk memegang kelas dengan kategori murid anak hiperaktif. Saat itu, Ibu saya sedang mengandung adik saya dengan usia kandungan sekitar empat bulan. Tiba-tiba, seorang murid mengamuk dan memukul keras perut Ibu saya. Terdengar sepele mungkin, dilihat dari usia anak yang memukul hanya berkisar antara 4 - 5 tahun. Tetapi, sakit yang dirasakan oleh Ibu saya saat itu membuat beliau harus mencari tempat duduk dan sulit untuk berdiri lagi. Sepulang kegiatan belajar mengajar, Ibu saya pun pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya. Beruntung, kandungan Ibu saya tidak mengalami masalah yang serius.

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, tapi belum sampai dekade demi dekade -_-'
Untuk kesekian kalinya saya mengalami masalah serius di laboratorium. Dan saat inilah saya mulai merasakan ketidaknyamanan terhadap pekerjaan saya. Enam bulan menjelang kelulusan sekolah, salah seorang teman saya memutuskan untuk mengambil kuliah dibidang psikologi. Secara kebetulan, saya pun memiliki teman yang juga berkuliah dibidang psikologi di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Sempat beberapa kali ia bercerita kepada saya tentang menariknya bidang psikologi. Tentang bagaimana cara mereka mempelajari intrik dan dinamika manusia.
Ya, sangat menarik. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk turut bergabung dalam bidang psikologi.

Ada setitik harapan dalam diri saya, dimana saya berharap dapat keluar dari masalah pekerjaan jika saya beralih ke bidang psikologi. Namun, pikiran tersebut membelok 180 derajat setelah saya mendengar kisah dari salah satu tamu istimewa di kelas teknik wawancara kemarin (22/04/2014). Jeremi Ishak, salah seorang dari tiga orang tamu yang jika dilihat dari silsilahnya, beliau adalah senior saya (mahasiwa psikologi angkatan 2003 kalau tidak salah ingat :D) yang saat ini sudah berhasil menjerumuskan diri sebagai psikolog industri organisasi disebuah perkebunan sawit. Beliau menceritakan tentang kejadian yang cukup menegangkan ketika beliau bertugas di daerah pedalaman Indonesia.

"Suatu hari saya sedang bertugas di daerah pedalaman Indonesia. Saat itu saya sedang bertugas untuk melakukan seleksi karyawan baru. Dalam setiap melakukan seleksi, ditolak atau diterima adalah hal yang lumrah terjadi. Namun, sempat suatu hari saya menolak seorang pemuda yang akhirnya menghasilkan sebuah kericuhan malam. Sejak awal, pemuda ini datang kepada saya dengan keadaan setengah sadar dan mulut berbau alkohol, alias mabuk. Sebagai orang yang ditugaskan untuk menyeleksi karyawan baru, saya pun langsung menolak pemuda tersebut. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Selama bertugas, saya tinggal di dalam sebuah karoseri (box mobil) dengan segala peralatan kerja. Ketika saya hendak pergi tidur, saya mencium bau bensin di sekitar saya, dan saya mendengar ada kericuhan di luar yang menyebut-nyebut nama saya. Akhirnya saya pun keluar dan berusaha tetap tenang. Sewaktu saya keluar, seorang pria menodongkan sebuah golok ke leher saya dengan tiba-tiba. Pria tersebut bertanya kepada saya tentang pemuda yang telah saya tolak. Ternyata pemuda itu adalah anak kepala suku di sana. Saat saya berusaha menjauhkan golok tersebut dari leher saya sambil meminta untuk membicarakan dengan baik, pria itu semakin kuat melekatkan goloknya. Saya pun tetap berusaha tenang sambil menceritakan kejadian yang sebenarnya, tentang mengapa saya menolak untuk merekrut pemuda tersebut dan dampak yang akan terjadi apabila saya menerima pemuda tersebut sebagai karyawan. Seusai menjelaskan, pria tersebut dapat menerima apa yang saya katakan. Perlahan, ia juga menurukan goloknya yang sempat ia todongkan ke leher saya. Akhirnya, suasana pun dapat membaik. "

Ya begitulah kira-kira cerita dari beliau.
Hemm, resiko pekerjaan. Suka duka saat mencari sesuap nasi. Atau yang tenarnya saat ini adalah suka duka demi mendapat seonggok berlian. :D
Tiga kisah dari tiga profesi yang berbeda, yang saya tangkap disini adalah segala sesuatu yang kita kerjakan, pasti ada resikonya.  Hanya saja, yang membedakan disini adalah bagaimana cara kita dalam meminimalisir resiko dari pekerjaan kita tersebut.
Belajar mengenali pekerjaan dan medan tempat kita bekerja merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan sebagai bentuk antisipasi terhadap resiko yang mungkin akan muncul.
Tetap semangat, dan teruslah berusaha :)

29 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar