Di satu sisi hubungan seksual
menghasilkan sebuah kenikmatan bagi masing-masing pihak yang
melakukannya. Namun, di lain sisi hubungan seksual ini dapat dipengaruhi
stres, sehingga kenikmatan yang diraih menjadi hilang. Hubungan
tersebut juga dapat menyebabkan stres, apabila tidak memperhatikan
kondisi, aturan, dan ketentuan-ketentuan berlaku. Misalnya, salah satu
pasangan ingin sekali berhubungan seksual, tetapi pasangannya masih
belum siap melakukannya, dengan kata lain belum bersedia. Maaf, Anda
kurang beruntung. Nah, dalam tulisan kali ini kita akan mencoba mengupas
sedikit bagian dari hubungan seks dengan stres. Bagaimanakah hubungan
antara keduanya? (yang pasti bukan jawaban "hubungan mereka baik-baik
saja, karena sudah lama tak jumpa" yang dimaksud)
Stres yang umumnya dialami ketika berhubungan seksual itu biasanya disebabkan oleh pikiran. Pikiran tersebut berisi apa? Tentu berisi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik masalah itu berkaitan dengan diri sendiri, dengan orang lain, pekerjaan, dan sebagainya. Selama bersenggama, tentu pikiran yang muncul itu adalah sesuatu di luar masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin membayangkan pasangan, sambil melakukan fantasi seksual, dan lain-lain selain masalah hari itu. Jangankan konteks berhubungan seksual, jika memikirkan masalah lain berlarut-larut dalam pekerjaan, dapat menurunkan performa atau tidak? Sama halnya dengan hubungan seksual, jika kita membayangkannya sebagai "kerja sama antarpasangan" bagaimana? Mereka sama-sama bekerja sama untuk memperoleh kenikmatan dalam hubungan tersebut, bukankah itu tujuannya? Akan mencapai orgasme atau tidak, setidaknya memperoleh kenikmatannya meskipun sedikit tetapi berarti. Namanya konteks kerja, tentu ada stres yang dapat berpengaruh pada performa, dalam hal ini performa masing-masing pasangan.Bagaimana halnya jika stres terlalu besar? Misalnya salah satu pasangan mengalami trauma berkaitan dengan alat vitalnya atau dengan penampilannya. Ketika bersenggama, kekhawatiran itu mulai bermunculan dan mendominasi pikirannya.
Seperti yang kita ketahui... fisik berpengaruh pada pikiran, pikiran juga berpengaruh pada fisik. Ketika kita merasa sakit perut, apa yang dipikirkan? Minum obat, menghindari makanan pedas dan asam, istirahat, dan lain-lain. Apa pikiran ini muncul jika kita sehat? Ini pengaruh fisik pada pikiran. Sekarang, jika berpikir tugas terlalu berat, membuat stres... sakit kepala? Sakit maag kambuh? Itulah pengaruh pikiran terhadap fisik. Biasanya yang terjadi adalah ketika pikiran itu muncul selama bersenggama, seseorang menjadi tidak mampu merasakan kenikmatan berhubungan seksual karena tidak dapat terangsang. Hubungan seksual lebih mengutamakan kualitasnya (seberapa nikmat) bukan kuantitasnya (berapa lama bersenggama). Akibatnya kualitas hubungan itu menjadi berkurang meskipun diperbanyak kuantitasnya. Sebab lainnya dapat karena salah satu pasangan belum siap berhubungan sementara pasangannya sudah ingin melakukan. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak baik. Ketika dipaksa, kedua pihak menjadi sulit berkoordinasi, akibatnya kualitas hubungan pun berkurang.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Mengurangi stres itu dapat menjadi solusi yang tepat. Ada yang melakukannya dengan makan cokelat sebanyak-banyaknya, mengonsumsi alkohol. Ada pula yang mengatasi emosi dengan yoga, atau menyiasati penampilannya. Setiap orang memiliki cara tersendiri, sifatnya memang subyektif. Salah satu cara efektif bagi seseorang, tetapi belum tentu efektif bagi orang lain. "Menyiasati penampilan" merupakan sesuatu yang baru kali ini saya dengar. Ternyata dengan menyiasati penampilan, misalnya dengan merias wajah dengan warna yang lembut dapat berpengaruh pada suasana hati. Saya memang tidak begitu mengerti kalu untuk riasan wajah. Coba kita andaikan menyiasati penampilan dengan merias wajah, cara berpakaian, dan lain-lain. Apabila mengenakan pakaian yang membuat nyaman, bagimana rasanya? Seseorang dapat menjadi lebih percaya diri dari sebelumnya, suasana hatinya juga lebih menyenangkan. Kalau merasa senang, stres dapat berkurang. Selama senang, lupa dengan stres. Setelah kesenangan berakhir, stres pun kembali, ulangi lagi, dan seterusnya, itulah proses. Sebuah proses membutuhkan waktu, perlahan-lahan itu dapat berhasil. Setelah itu mulai berhasil, masalah dalam hubungan seksual mulai teratasi, kualitas hubungan pun akan kembali perlahan-lahan seperti semula.
Stres yang umumnya dialami ketika berhubungan seksual itu biasanya disebabkan oleh pikiran. Pikiran tersebut berisi apa? Tentu berisi masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari, baik masalah itu berkaitan dengan diri sendiri, dengan orang lain, pekerjaan, dan sebagainya. Selama bersenggama, tentu pikiran yang muncul itu adalah sesuatu di luar masalah dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin membayangkan pasangan, sambil melakukan fantasi seksual, dan lain-lain selain masalah hari itu. Jangankan konteks berhubungan seksual, jika memikirkan masalah lain berlarut-larut dalam pekerjaan, dapat menurunkan performa atau tidak? Sama halnya dengan hubungan seksual, jika kita membayangkannya sebagai "kerja sama antarpasangan" bagaimana? Mereka sama-sama bekerja sama untuk memperoleh kenikmatan dalam hubungan tersebut, bukankah itu tujuannya? Akan mencapai orgasme atau tidak, setidaknya memperoleh kenikmatannya meskipun sedikit tetapi berarti. Namanya konteks kerja, tentu ada stres yang dapat berpengaruh pada performa, dalam hal ini performa masing-masing pasangan.Bagaimana halnya jika stres terlalu besar? Misalnya salah satu pasangan mengalami trauma berkaitan dengan alat vitalnya atau dengan penampilannya. Ketika bersenggama, kekhawatiran itu mulai bermunculan dan mendominasi pikirannya.
Seperti yang kita ketahui... fisik berpengaruh pada pikiran, pikiran juga berpengaruh pada fisik. Ketika kita merasa sakit perut, apa yang dipikirkan? Minum obat, menghindari makanan pedas dan asam, istirahat, dan lain-lain. Apa pikiran ini muncul jika kita sehat? Ini pengaruh fisik pada pikiran. Sekarang, jika berpikir tugas terlalu berat, membuat stres... sakit kepala? Sakit maag kambuh? Itulah pengaruh pikiran terhadap fisik. Biasanya yang terjadi adalah ketika pikiran itu muncul selama bersenggama, seseorang menjadi tidak mampu merasakan kenikmatan berhubungan seksual karena tidak dapat terangsang. Hubungan seksual lebih mengutamakan kualitasnya (seberapa nikmat) bukan kuantitasnya (berapa lama bersenggama). Akibatnya kualitas hubungan itu menjadi berkurang meskipun diperbanyak kuantitasnya. Sebab lainnya dapat karena salah satu pasangan belum siap berhubungan sementara pasangannya sudah ingin melakukan. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak baik. Ketika dipaksa, kedua pihak menjadi sulit berkoordinasi, akibatnya kualitas hubungan pun berkurang.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Mengurangi stres itu dapat menjadi solusi yang tepat. Ada yang melakukannya dengan makan cokelat sebanyak-banyaknya, mengonsumsi alkohol. Ada pula yang mengatasi emosi dengan yoga, atau menyiasati penampilannya. Setiap orang memiliki cara tersendiri, sifatnya memang subyektif. Salah satu cara efektif bagi seseorang, tetapi belum tentu efektif bagi orang lain. "Menyiasati penampilan" merupakan sesuatu yang baru kali ini saya dengar. Ternyata dengan menyiasati penampilan, misalnya dengan merias wajah dengan warna yang lembut dapat berpengaruh pada suasana hati. Saya memang tidak begitu mengerti kalu untuk riasan wajah. Coba kita andaikan menyiasati penampilan dengan merias wajah, cara berpakaian, dan lain-lain. Apabila mengenakan pakaian yang membuat nyaman, bagimana rasanya? Seseorang dapat menjadi lebih percaya diri dari sebelumnya, suasana hatinya juga lebih menyenangkan. Kalau merasa senang, stres dapat berkurang. Selama senang, lupa dengan stres. Setelah kesenangan berakhir, stres pun kembali, ulangi lagi, dan seterusnya, itulah proses. Sebuah proses membutuhkan waktu, perlahan-lahan itu dapat berhasil. Setelah itu mulai berhasil, masalah dalam hubungan seksual mulai teratasi, kualitas hubungan pun akan kembali perlahan-lahan seperti semula.
28 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar