Beberapa minggu kemarin, kamis saya begitu padat dengan
persiapan untuk praktik teknik wawancara di kampus. Bukan hanya hari
saya saja, tapi tas saya yang penuh dengan baju dan sepatu rapi, juga
otak saya yang penuh dengan ekspektasi dan harapan bahwa ini semua akan
berjalan dengan lancar tidak seperti jalanan jakarta yang tersendat di
setiap hari. Minggu pertama merupakan praktik dengan setting Psikologi
Industri dan Organisasi. Di minggu pertama saya masih sangat merasa
gugup, maklum pertama kali melakukan wawancara sangat formal dan harus
berpura-pura menjadi HRD yang baik serta menyenangkan. Selain kegugupan,
pada praktik pertama ini saya juga merasa saya masih banyak melihat
tuntunan wawancara yang ada, saya terlalu fokus dengan subyek sehingga
lupa untuk mencatat kata kunci, dan yang paling menyebalkan adalah saya
terbiasa untuk mewawancara menggunakan closed question yang secara tidak
langsung dapat mengarahkan subyek dalam menjawab. Tapi si luar itu
semua, saya beruntung memeiliki teman yang begitu kooperatif dan
benar-benar dapat mengembangkan jawaban-jawabannya dengan baik.
Tibalah saya di minggu kedua dengan setting Psikologi Pendidikan.
lancarnya minggu pertama membuat saya memiliki ekspektasi yang lebih
bahwa minggu kedua ini akan menjadi lebih baik karena saya telah
mengetahui letak kurang saya dan ini bukan pertama kalinya saya praktik.
Dan akhirnya harapan saya perlahan luntur layaknya baju baru murah yang
luntur saat pertama kali dicuci. Jawaban yang saya harapkan tidak
sesuai dengan jawaban subyek saya. Jadi, skenario yang telah dengan apik
saya ketik di dalam kepala saya tiba-tiba buyar karena subyek saya
begitu berimprovisasi dengan baiknya…. jadi kelompok saya memilih kasus
bahwa ada seorang anak yang ketahuan merokok dan akhirnya murid ini
menjadi seorang perokok aktif di sekolah. Dan ternyata subyek saya
begitu kreatifnya hingga dia menjawab bahwa dia hanya sekali merokok dan
tidak merokok lagi. Pada saat itu saya langsung memutar pikiran saya
mencari celah mana yang dapat saya gali infonya lagi karena semuanya
sudah tidak sesuai dengan tuntunan wawancara. Saat minggu kedua ini
walaupun saya merasa lebih sulit, namun saya berhasil melewatinya dengan
lebih baik karena saya berhasil mengurangi kesalahan saya di minggu
pertama. Namun di dalam praktik ini saya terkadang masih merasa bingung
dengan apa yang harus saya tanyakan lagi sehingga terkadang pikiran saya
harus memecah konsentrasi antara memperhatikan dan mendengarkan subyek
dengan mencari apa yang harus ditanyakan.
Setting klinis merupakan setting terakhir yang harus saya lewati
dalam praktik teknik wawancara. Setting ini meerupakan minggu dengan
setting yang paling saya suka. Bukan karena saya menyukai psikologi
klinis, namun karena saya merasa bahwa saya sangat siap dengan praktik
kali ini. Saya berusaha mungkin tidak berpaku pada tuntunan wawancara,
tidak tegang, dan berusaha menguasai kasus mengenai bulimia nervosa.
Saat saya melakukan wawancara, subyek yang saya wawancarai sangat
menyenangkan. Dia berhasil mengembangkan semua jawaban sesuai harapan
saya, bahkan lebih. Saya benar-benar merasa dapat menangani kegugupan
saya saat minggu ketiga ini. Namun masalah saya masih sama, begitu sulit
membagi konsentrasi saya dalam memperhatikan pernyataan kubyek dengan
memikirkan pertanyaan apa lagi yang harus saya keluarkan kembali agar
info yang saya dapatkan lebih banyak dan wawancara berhenti setelah 10
menit.
Diantara praktik yang saya lakukan di kampus, saya juga
melakukan praktik wawancara di sebuah panti werdha yang berada di daerah
Jelambar. Nah, ini lebih membuat gugup dan takut karena teman-teman
yang sudah duluan praktik dari kelas lain mengatakan bahwa sulit
mendapat subjek yang dapat diajak bekerja sama. Dengan modal pertanyaan
dan recorder di tangan, sesampainya disana saya segera mendatangi
seorang nenek yang sedang asik membuat keset dan memang nampaknya Tuhan
dan semestaNya begitu mendukung saya untuk berkembang, nenek ini begitu
ramah dan dapat diajak wawancara tanpa rintangan yang membuat saya
bingung. Saya mewawancarainya dengan cukup baik, begitu banyak ilmu yang
diberikan Bu Henny dan Ka Tasya yang dapat saya terapkan waktu itu.
Subyek juga bukan merupakan orang yang sulit digali informasinya. Namun
memang saya harus mengucapkan beberapa closed question agar dia dapat
lebih mengerti dengan pertanyaan yang saya lontarkan. Akan tetapi
sayangnya, karena tangan saya sibuk memegang recorder dan tuntunan
wawancara saya tidak dapat mengobservasi subyek terlalu banyak dan tidak
dapat mencatat kata kunci yang diucapkan subyek. Saya hanya dapat
mengingat sebagian besar di dalam otak saya.
Namun, beberapa minggu kemudian saat saya ingin mulai mengolah semua
karya saya menjadi tulisan. Rekaman yang saya sayangitersebut
menghilang. Rasanya seperti digigit semut tapi tidak hanya satu semut
namun banyak, banyak sekali. Namun saya tidak mau menyerah disitu dan
kalah sama keadaan. Jadi besoknya saya langsung kembali menuju ke
Jelambar mencoba akan mewawancarai subyek saya kembali. Sesampainya
disana, ternyata panti di Jelambar kosong dan sudah dipindahkan ke
Cengkareng untuk sementara waktu. Jadi saya segera menuju kesana dan
sesampainya disana saya izin dengan petugas lalu saya mencari subyek
saya. Saya begitu berterima kasih dengan subyek saya ini, karena dia
begitu dapat diajak bekerja sama dan dengan senang hati dapat membantu
saya lagi. Dia bersedia untuk diwawancarai dan mengerti dengan
permasalahan saya. Nah didalam wawancara kali ini, bina rapor yang telah
terjalin baik di wawancara sebelumnya telah terjalin disini jadi saya
tidak perlu repot banyak berbicara mengenai kata pendahuluan dan
menjalankan proses wawancara dengan baik. Walaupun pembicaraan kami
dipotong oleh waktu solat dan teman-temannya, subyek tetap dapat
menjawab dengan baik meskipun setelah solat dia terlihat mulai tidak
fokus dengan proses wawancara. Sementara dari saya, saya merasa tidak
memiliki kegugupan berarti namun saya harus melatih untuk dapat membagi
konsentrasi saya antara mencatat kata kunci, mengobservasi, dan okus
dalam mendengarkan jawaban-jawaban subyek. Karena tangan saya yang harus
memegang recorder dan tuntunan wawancarapun mengharuskan saya hanya
mengingat hasil observasi yang saya lakukan.
Dari semua badai yang saya lalui untuk teknik wawancara, saya merasa
bahwa ilmu ini sangat amat berguna sekali bagi kelangsungan hidup dan
proses adaptasi saya di dunia psikologi dan sehari-hari. Saya merasa
bahwa ilmu ini yang harus dipegang dengan sangat baik dan diterapkan
lebih dari sangat baik di kehidupan. Untuk dosennya, dari beliau saya
belajar bagaimana hidup yang disiplin dapat membantu saya menjadi lebih
baik. Kalau saya tidak salah hitung, teknik wawancara merupakan mata
kuliah pertama yang selalu saya hadiri tanpa adanya absen atau sakit.
Karena pelajaran ini selalu menarik bergitu juga pengalaman dari Bu
Henny yang bermacam-macam jenisnya sehingga dapat memperluas pengetahuan
saya mengenai dunia psikologi. Terima kasih Ibu untuk kesediannya
membagi ilmu dengan saya. Semoga saya dapat bertemu Ibu di mata kuliah
lain ya Bu
6 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar