Well, sebelum mulai ke topic utama, saya cuma ingin bilang bahwa postingan saya kali ini akan cukup panjang, jadi kalau sebelum selesai sudah bosan membacanya, silahkan istirahat dulu dan lanjutkan lain waktu *lho? udah keburu males lanjutin bacanya kali ya hehehe*
Baiklah, pertama saya ingin cerita mengenai pengalaman saya masuk laboratorium yang selama ini saya anggap misterius dan bikin penasaran, yaitu laboratorium tempat praktek Teknik Wawancara. Dari luar selalu saya pandangi dan selalu berpikir ‘isinya kayak apa ya??’, dan akhirnya dalam 3 pertemuan beberapa minggu terakhir ini saya merasakan juga suasana yang berusaha diciptakan ruangan tersebut. Suasana yang sebenarnya sangat nyaman buat saya, tapi bikin gugup juga jika mengingat bahwa keberadaan saya disana adalah untuk tugas dari mata kuliah Teknik Wawancara yang menurut saya sangat penting dan harus dikuasai ilmunya oleh para calon psikolog.
Di tugas praktikum ini saya berkesempatan merasakan bagaimana rasanya jadi observer, klien dan tentu saja interviewer. Sebagai observer, tugas saya adalah mengawasi jalannya sesi wawancara, dan yang harus saya jadikan fokus observasi saya adalah si interviewer, dan jujur saja, ruangan observer adalah ruangan yang paling nyaman buat saya hehehe… entah saya sendiri nggak tahu alasannya, suka saja sih. Berikutnya sebagai klien, tugas saya adalah menjawab pertanyaan dari interviewer, saya tidak tahu tema wawancara yang akan digunakan, maka saya pun harus putar otak untuk menciptakan skenario saya sendiri yang masuk akal (ini susah juga lho…).
Terakhir peran yang menurut saya paling bikin deg-deg’an, yaitu sebagai interviewer. Wow banget sewaktu pertama kali mencicipi peran sebagai interviewer, dengan waktu yang dibatasi 10 menit dan dengan pertanyaan yang tidak begitu banyak, saya harus mikir gimana caranya agar dalam waktu 10 menit itu saya bisa mendapatkan info yang saya inginkan dari klien, dan lebih sulit lagi jika saya sudah tidak tahu lagi apa yang harus ditanyakan dan waktu masih tersisa sekian menit, putar otaklah saya untuk menanyakan apa saja yang kira-kira bisa dimasukkan dalam bina rapport.
Oh ya, praktikum dibagi dalam 3 tema, yaitu PIO, Pendidikan, dan Klinis. dari semua tema itu, banyak hal-hal menarik yang saya dapatkan, misalnya ketika saya jadi interviewer dengan tema PIO, saya memang berhasil mendapatkan info yang diinginkan dari klien, namun begitu praktikum selesai, klien bertanya sebenarnya posisi apa yang sedang ia perankan hahaha… ya sudah ternyata ia bingung antara marketing dan bagian pemasaran yang sebenarnya sama saja. Ketika praktikum bidang pendidikan, saya paling menikmati ketika menjalani peran sebagai klien, karena ketika itu saya menggunakan pengalaman saya sendiri semasa sekolah dulu hahaha… bahkan mengenai apa yang saya sukai dan tidak saya sukai dari sekolah pun menurut pengalaman pribadi, dan ketika gilirannya saya jadi Interviewer pun rasanya tidak terlalu sulit, karena kita semua pasti pernah mengalami masa-masa sekolah, dan beberapa dari kita pastilah pernah ‘mampir’ ke ruang konseling hahaha...
Lalu terakhir adalah setting klinis, menurut saya ini yang paling sulit, karena selain saya sendiri kurang begitu tahu apa saja yang harus ditanyakan, kebetulan saya mendapat ‘klien’ pria… tidak masalah memang jika tema yang saya ambil bukan eating disorder, yang terlintas dalam pikiran saya adalah ‘wah, setau saya cowok jarang nih kena eating disorder… kira-kira klien saya tau gak ya harus ngarang cerita kayak apa?’ hehehe… tapi syukurlah klien saya pintar sekali merangkai kisah sedih di hari kamisnya *apa sih?*
Yah kira-kira begitulah pengalaman praktikum saya,…
Nah, setelah berbagi pengalaman mengenai praktikum, saya akan bercerita mengenai pengalaman saya ketika saya dan teman-teman kelas TekWan lainnya berkunjung ke suatu panti. Pada hari sabtu yang cerah ini, saya dan teman-teman lainnya dari kelas Teknik Wawancara kelas C berkumpul di kampus pagi-pagiiiii sekali… untuk apa? Piknik? wow, tentu bukan hehehe, hari ini kami berkumpul untuk konvoi menuju Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2 (well, nggak semuanya kesana, ada yang ke PSBD dan panti-panti lainnya). Setelah mengarungi lalu lintas menuju tempat tujuan yang lancar jaya, kami pun sampai di panti yang cukup luas itu.
Sesampainya disana, kami dilepas untuk mencari sendiri oma dan opa yang ingin kami ajak ngobrol. Setelah celingak-celinguk mencari oma atau opa yang sedang nganggur, saya pun tertarik untuk mengajak ngobrol seorang opa, well yang pertama ini nggak berjalan mulus sayangnya *cry*, kenapa? well, saya dan opa awalnya ngobrol cukup lancar, dan si opa juga ramah banget, sampai akhirnya opa minta ambilin air minum sama saya, saya patuhi lah permintaan opa. saya muter-muter nyari dimana letak tempat minum si opa, Tanya staf disana, ternyata untuk minum pun ada gelasnya sendiri dan gelas si opa ada di kamarnya. Saya cari lah kamar si opa, ketemu staf, saya Tanya lagi ‘bu, kamarnya pak X dimana yah?’, ‘oh, di gedung itu dek, itu gedung pria’. Okelah saya kesana, sesampainya di depan gedung asrama (sebut saja begitu) pria, saya berhadapan dengan seorang opa lainnya… terjadilah percakapan seperti berikut ini (kira-kira saja, saya agak lupa saking terkesimanya saya).
Opa: nyari siapa neng? (si opa tersenyum manis)
Saya: opa, disini ada minum nggak?
Opa: (mendekat) apa dek? wc umum?
Saya: eh… minum opa!
Opa: oohh, minum… di dalem neng buat siapa?
Saya: oh, makasih opa (senyum) buat bapak X opa
Opa: hah? Nanang?
Saya: bukan opa (sweatdrop) bapak X
Opa: ooh di dalem neng ambil aja
Saya: iya opa, makasih opa (nyengir)
Si opa juga nyengir seneng, ‘iya sama-sama neng’ kata si opa.
Sesuai petunjuk opa, saya pun masuk ke ruangan yang dimaksud, ada seorang teman kampus yang juga lagi ngobrol sama seorang opa. Saya yang makin kebingungan, celingak-celinguk kayak anak hilang… merasa tidak enak saya mengganggu sesi curhat si opa dan teman saya tersebut, saya pun memutuskan keluar dari sana dan kembali menemui si opa yang tadi itu. Saya cuma bisa bilang ‘ga ada opa…’ dengan muka hopeless, si opa cuma nyengir.
Terus saya kembali menemui opa X, dan saya coba mengklarifikasi ke si opa dimana sebenarnya gedung tempat ia tinggal… dan ternyataaaa, opa lupa dimana gedungnya dia *gedubrakkkkk!*. Akhirnya sekali lagi saya berusaha mencarikan minum buat si opa, berpapasan lah saya dengan teman lain. Saya Tanya dia dimana gedung pria yang lainnya, dan ternyata gedung itu ada di depan saya, nggak sampai 10 meter *speechless*. Akhirnya saya masuk ke gedung itu, ketemu staf lagi, saya Tanya dimana kamarnya bapak X, ternyata di tiap pintu kamar ada daftar penghuni plus nama plus tempat asal plus umur dan plus lain-lainnya, duuuuhhhhh ngerasa bodoh banget deh hahahaha…. tapi setelah liat daftar nama satu persatu, tetep lho ya gak ada nama si opa X itu *mewek*. Saya pun berjalan dengan gontai lemah lunglai kembali ke tempat dimana opa X sedang duduk menanti air minum dari saya, sambil berpikir ‘si opa bener ga sih namanya X? kok namanya nggak ada deh?’. Lalu sesampainya di tempat si opa, saya beneran nanya ‘opa namanya X kan ya?’, si opa dengan yakin dan dengan wajah polosnya bilang ‘ya neng’, merasa sangat bingung sendiri, saya pun dengan jujur berkata ‘aku ga nemuin nama opa’ *dengan wajah memelas*.
Dengan diiringi permintaan maaf sebesar-besarnya, merasa nggak bisa membantu si opa, saya pun mengakhiri obrolan dengan opa X dan mencari oma atau opa lain yang bisa diajak ngobrol dan nggak bikin saya bingung lagi *well, buat nyari minum itu saya sudah menghabiskan waktu kurang lebih 15 menit, capek juga, tapi berkesan*. Ketika sedang mencari, saya ketemu seorang oma yang menggunakan kursi roda, dengan senyum manisnya dan matanya yang berkilau-kilauan, si oma memegang tangan saya dan berusaha ngomong kepada saya dengan suaranya yang terbata-bata *saya mau nangis waktu itu sumpah!*. Si oma ngajakin saya main, terus saya berniat bawa si oma muter-muter pakai kursi rodanya, tapi si oma maunya disitu aja… senang katanya lihat banyak orang (teman-teman kampus saya semua sih hehehe… memang ramai waktu itu). Terus saya ngobrol dikit dengan oma itu yang sayangnya saya lupa tanya namanya. Akhirnya, karena saya harus move on ke calon teman ngobrol lainnya, saya pun dengan berat hati meninggalkan si oma *sambil berlalu, saya masih nengok-nengok ke belakang mandangin si oma… oh, baguslah ada anak lain yang ajak ngobrol pikir saya… kasihan oma sendirian soalnya*. Lalu, setelah kebingungan, keluar masuk kamar penghuni wanita dengan muka malu-malu plus salting diliatin oma-oma yang memperlakukan saya seperti artis *tiap masuk kamar disenyumin, didadah-dadahin, disalamin* akhirnya saya menemukan satu calon potensial, beliau lah oma yang akhirnya fix saya jadikan teman ngobrol saya hehehe… beliau sedang duduk-duduk di tempat tidurnya yang letaknya di paling ujung ruangan. Si oma dengan ramahnya mempersilahkan saya untuk ngobrol dengannya.
Dari obrolan dengan oma, saya jadi tahu bahwa tidak semua oma dan opa yang tinggal disana adalah orang tua yang tidak dipedulikan/ditelantarkan oleh anak-anak mereka, atau oma opa yang tidak punya tempat tinggal. Contohnya oma yang saya ajak ngobrol ini bilang bahwa ia tidak betah tinggal di lingkungannya yang baru, karena fisiknya yang sudah tidak kuat, namun ia harus bersusah payah naik ke tempat tinggalnya yang ada di lantai 4 (mungkin semacam rusun), dan di rumah ia tidak ada teman ngobrol juga tidak ada kerjaan, alhasil ia lebih memilih tinggal di panti, karena di sana oma punya banyak teman untuk berbagi dan disana oma tidak perlu khawatir memikirkan hal lain selain masa-masa tuanya yang harus ia nikmati. Seminggu sekali juga anak-anak oma beserta cucunya akan datang untuk bermain dan mengajak oma jalan ke luar panti di hari minggu. Oma juga adalah tipe orang yang ‘nrimo’ saja dengan nasib, oma tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti kematian, ataupun masalah duniawi, oma setiap harinya hanya bergaul dengan teman-teman dan beribadah meski kaki oma agak sakit dan bengkak. Oma juga bilang bahwa di panti itu, pria dan wanita tidak boleh saling berinteraksi, dan oma sendiri sudah tidak terlalu peduli soal pasangan hidup semenjak suaminya yang kedua meninggal dunia. Oma bercerita bahwa sejak kecil, ia tumbuh di sebuah keluarga yang baik-baik saja, oma sendiri adalah anak bungsu sehingga ia disayang oleh kakak-kakaknya dan orangtuanya. Mungkin hal itu jugalah yang membuat oma merasa puas dengan kehidupannya saat ini, karena tidak ada penyesalan dan memang bagi oma tidak ada yang perlu disesali dalam hidupnya selama ini.
Dari oma saya belajar untuk ‘nrimo’ juga, ikhlas terhadap hidup dan berusaha untuk bahagia setiap saat, juga tidak terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Bukan hanya dari oma yang saya ajak ngobrol, dari oma-oma dan opa-opa lainnya juga saya jadi belajar untuk lebih menghargai mereka yang sudah lanjut usia, meski mereka terlihat kuat, namun sebenarnya mereka rentan dan sebagai yang lebih muda, kita tetap harus memperhatikan kesejahteraan mereka… melihat mereka saya jadi teringat nenek saya satu-satunya di rumah… ah, apa saya sudah cukup membahagiakan nenek saya ya? namun sesulit apapun kehidupannya, para orang tua ini tetap tersenyum, dan saya menyadari bahwa senyuman mereka, sesamar apapun, tetap terlihat sangat manis di mata saya-teringat seorang oma di PSTW yang begitu berpapasan langsung tersenyum maniiiiis banget sama saya. Apa kelak saya bisa ya jadi orang tua seperti mereka? yang menikmati masa tua dengan senyuman, bukan penyesalan.
4 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar