Minggu, 02 September 2012

Cintailah Kehidupan! (Leni Kopen)


“Hidup ini kamu yg menjalani, kamu adalah penulis kisah hidupmu. Jangan biarkan orang lain yg menentukannya.” (Anonim)
“Jangan biarkan penyesalan terus membayangi harimu. Masa lalu telah berakhir, jalani hari ini untuk masa depan yang lebih baik.” (Anonim)

     Berdasarkan kata-kata bijak di atas, dapat kita renungkan bahwa hidup ini sangat berarti dan kita sebagai orang yang menjalani kehidupan harus bisa menjalaninya dengan baik dimulai dari saat ini juga. Sejak kita dilahirkan bahkan di dalam kandungan ibu kita pun, kita sudah disayang, dimanjakan, dan diharapkan dengan kelahiran yang sehat dan sempurna (tanpa kekurangan secara fisik). Tapi bagaimana dengan anak yang tidak diharapkan oleh orangtuanya? Anak yang dianggap sebagai aib keluarga, masih terlalu muda (terutama mereka yang hamil di luar nikah), atau musibah, yang belum saatnya ia lahir namun harus dikeluarkan secara paksa dan sadis. Hati saya teriris ketika mendengar ibu Henny menjelaskan bagaimana proses aborsi. Tega sekali seorang calon ibu yang sudah melakukan aborsi tanpa berpikir dampak buruk yang terjadi setelah melakukannya. Memang ibu tersebut tidak menyaksikan langsung kematian bayi yang tidak berdosa itu. Namun, seorang wanita yang kelak menjadi ibu yang seharusnya memeluk dan menggendong bayinya, telah menjadi algojo bagi anaknya sendiri.
     Seperti yang dikatakan oleh ibu Henny, “umur berapa pun dia (bayi), itu tetap dikatakan membunuh!” Hanya karena belum terbentuk atau masih berupa darah yang menggumpal, seseorang yang tetap melakukan aborsi tetap dikatakan sebagai seorang pembunuh. Dan tindakan aborsi merupakan kejahatan berdasarkan hukum di Indonesia yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”. Aborsi biasanya dilakukan karena kehamilan yang tidak dikehendaki yang merupakan hasil hubungan seksual pranikah atau di luar pernikahan. Banyak para remaja sekarang sudah mulai mencoba-coba melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan sebagian besar mereka melakukan di rumahnya sendiri ketika tidak ada orang di rumah. Orangtua seharusnya bisa prihatin dan lebih mengenal akan perkembangan anaknya sendiri. Bagaimana mengajarkan dan menasehati khususnya anak perempuan, agar bisa menjaga harga dirinya dan martabat keluarga.
     Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Dari sisi fisik, yang paling sering dijumpai adalah timbulnya gangguan kesuburan atau infertilitas, infeksi, kanker rahim dan kemandulan permanen, sedangkan dari segi mental adalah stres, mimpi buruk, hilangnya harga diri, dan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.
     Menurut saya, ketika sperma membuahi sel telur ia sudah menjadi seorang manusia. Mungkin belum terlihat bentuk manusianya tapi ia sudah hidup dan sedang memulai suatu proses pematangan dari bagian-bagian yang sebenarnya sudah ada sejak pembuahan. Terkadang saya berpikir daripada diaborsi, lebih baik ia dilahirkan dan diadopsi oleh orang lain. Betapa mengherankan bila dipikir, disatu sisi banyak pasangan yang sudah menikah begitu rindu ingin punya anak dan bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan seorang anak, namun disisi lain ada orang yang membuang, seakan-akan janin itu hanyalah onggokan daging belaka. Saya mengerti, banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan dan membantu melakukan aborsi. Namun apapun alasannya, di mata Tuhan itu salah dan dalam hukum tetap dianggap sebagai kejahatan yakni seorang pembunuh. Seseorang yang telah menggugurkan kandungan tidak tahu akan keajaiban-keajaiban yang dirasakan seorang calon ibu, saat merasakan gerakan dan geliatan anak dalam kandungannya. Anak itu anugerah dari Tuhan yang seharusnya sebagai orangtua bisa merawat, menjaga, dan membesarkannya dengan kasih sayang serta pola asuh yang baik.
     Bicara tentang anak, terkait dengan pola pengasuhan orangtua. Sebagian besar, anak laki-laki lebih diharapkan kelahirannya dibandingkan dengan anak perempuan. Beberapa etnis atau budaya tertentu masih menganggap anak laki-laki bisa meneruskan usaha keluarga, atau mengurusi abu leluhur (sembahyangi orang tua). Jika tidak punya anak laki-laki dianggap mandul. Persepsi ini lah yang harus diluruskan. “Anak laki-laki tidak akan ada jika tidak ada anak perempuan”, kata ibu Henny. Benar sekali pernyataan bu Henny. Anak laki-laki atau anak perempuan sama saja bagi saya. Orangtua saya tidak pernah membeda-bedakan antara anak laki-laki dan perempuan, khususnya ayah saya. Walaupun ayah saya keturunan Chinese, beliau tidak pernah membeda-bedakan saya dengan anak laki-lakinya. “Semua sama, sayang dan perhatian sama rata,” ucapan alm. Ayah saya yang selalu teringat oleh saya. Ayah saya mengajarkan untuk tidak pilih kasih baik itu materi atau kasih sayang kelak saya punya anak nanti. Oleh karena itu, saya selalu bersikap netral dan bijaksana seperti pola asuh yang diajarkan oleh orangtua saya.
Thank you Daddy and love u so much :*                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar