Minggu, 30 September 2012
Thick That Point, Rapport and Empathy (Lina Pratiwi)
Sebagian besar manusia normal tentu hanya memiliki satu mulut, dua mata, dan dua telinga. Hal tersebut diberikan demikian oleh Sang Pencipta agar kita dapat selalu melihat dan mendengar terlebih dahulu sebelum berbicara. Agar setiap kata yang keluar bukan hal sembarangan, yang dapat menyakiti dan merugikan orang lain. Agar setiap kata yang keluar didasari dari observasi indera penglihatan dan pendengaran, baru kemudian memutuskan kata-kata yang memang sepantasnya dikatakan. Lidah tidaklah bertulang, dengan dua mata dan dua telinga pun masih banyak individu yang seenaknya berkata-kata tanpa mendengarkan dan melihat kondisi sebenarnya dengan seksama.
Sebagai seseorang yang bekerja di bidang pelayanan masyarakat; baik psikolog, konsultan, maupun pekerja sosial; perlu adanya regulasi yang baik terhadap ketiga indera sensoris itu. Mengapa? Karena dalam setiap pekerjaan kita, selalu akan ada tugas untuk membangun rapport dan kemampuan untuk berempati terhadap kondisi dan situasi yang dimiliki klien. Rapport dan empati, kedua hal yang menjadi titik ukur keberhasilan pekerjaan kita.
Melalui pembentukan rapport dan empati yang baik, klien dapat merasa diterima apa adanya dan nyaman untuk menceritakan permasalahnnya. Kualitas rapport dan empati yang kita miliki juga menentukan seberapa terbuka dan tulus klien dalam menceritakan semua hal tentang dirinya. Kejujuran dan keterbukaan klien dapat memberikan kita data yang lebih lengkap dan mendalam, sehingga membantu analisis untuk menentukan diagnosa, dan akhirnya akan memberikan pengaruh pada proses penanganannya.
Terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan untuk membangun rapport yang baik. Pertama, berikan sikap peduli dan ramah, yang membuat klien merasa dirinya diterima secara utuh. Kedua, meskipun kita berusaha untuk ramah dan peduli, tetapi janganlah “sok tahu” tentang kondisi yang dihadapi klien. Sekalipun kita pernah berada dalam situasi yang serupa dengan klien, tetapi persepsi, perasaan yang muncul, dan dinamika dari situasi tersebut dapat menjadi sangat berbeda. Apalagi bila kita memang tidak pernah berada dalam situasi tersebut, jangan bersikap seakan-akan kita pernah mengalaminya, percaya atau tidak klien dapat menyadari kepalsuan itu.
Permasalahan yang dihadapi klien tidak hanya permasalahan sehari-hari, terkadang ada permasalah klien yang dalam persepsi kita hal luar biasa, sulit dipercayai, tidak masuk akal, dan bahkan terkadang tidak sejalan dengan keyakinan kita. Dalam hal ini, untuk dapat membangun rapport yang baik, kita tidak boleh “lebay” atau berlebihan dalam merspon permasalahan yang dihadapi klien. Berikan tanggapan yang sesuai, tidak berlebihan, tetapi tidak juga tanpa ekspresi atau memberikan muka datar. Kita harus dapat meregulasi kadar respon yang akan kita berikan selama klien menceritakan permasalahannya. Hal terakhir, katakan apa yang memang perlu diungkapkan. Perhatikan perkataan yang kita pakai serta respon klien terhadap kata-kata tersebut. Gunakanlah bahasa yang sesuai dengan latar belakang klien. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan latar belakang klien menciptakan kesetaraan dan dapat membuatnya lebih terbuka diri.
Ketika kualitas rapport yang baik terbentuk, empati juga akan mengiringinya. Kedua hal ini saling tumpang tindih satu sama lain. Kemampuan berempati yang baik dapat membimbing pada pembentukan rapport yang baik, juga sebaliknya. Sebagai seorang yang diberikan kepercayaan untuk mengatasi permasalahan yang tidak bisa ia tangani sendiri, apapun permasalahnnya kita harus dapat menerima klien secara utuh dan tanpa berusaha untuk menghakimi. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut kita harus dapat memusatkan kosentrasi selama klien menceritakan permasalahannya, ataupun ketika kita perlu menyampaikan sesuatu. Fokus yang kita berikan juga menjadi nilai tambah bagi klien, bahwa kita tidak “gampangan” dalam menangani permasalahan mereka.
Perlu ditekankan kembali disini, bahwa semua poin-poin diatas dapat menjadi efektif dalam kadar yang seimbang dan terkendali. Segala sesuatu yang berlebihan ataupun terlalu kurang tidaklah baik, begitu pula poin-poin dalam pembentukan rapport dan empati. Selain itu, ketika rapport pada satu klien telah berhasil, dan mungkin sangat berhasil, usahakan untuk selalu kritis dalam menghadapi klien kita selanjutnya. Perlu terus disadari adanya keberagaman individu dan variasi dalam proses ini.
Selamat mencoba!
27 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar