Jumat, 21 September 2012
Cara menumbuhkan empati (Anthonia Christy)
Kita membutuhkan dua kaca sekaligus, yaitu kaca cermin dan kaca jendela. "Kaca Cermin" menggambarkan sikap egosentris, melihat persoalan hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sedangkan "Kaca Jendela" merupakan cara mengetahui dan melihat kepentingan orang lain, di samping diri sendiri. Kita harus mengangkat sebagian kaca cermin dan menggantinya dengan kaca jendela. Melalui kaca jendela, seseorang tidak lagi melihat dirinya sendiri, tetapi mereka juga melihat orang lain di sekitarnya dengan berbagai kebutuhannya. Mengubah kaca cermin dengan kaca jendela adalah langkah penting agar perhatian seseorang tidak hanya tertuju ke dalam (self centered), melainkan tertuju ke luar kepada orang lain sehingga ia mudah merasa iba kepada orang lain (extra centered sensitivity).Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Untuk dapat bersikap peka dan peduli dibutuhkan tingkat kematangan kepribadian tertentu. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian atau empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional. Sebabnya antara lain, karena untuk berempati kita harus mampu mengobservasi dan melibatkan banyak panca indera.
Ada beberapa langkah praktis agar kita bisa belajar menanamkan rasa empati dan peduli:
Pertama, kenali perasaan sendiri.
Prosesnya adalah dengan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.
Kedua, sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi.
Ini sebenarnya termasuk proses pengenalan dan pengendalian emosi. Karena biasanya orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami isteri umumnya merasa lebih empati satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat malam dan sebagainya. Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.
Ketiga, cobalah memandang masalah dari sudut pandang orang lain.
Empati adalah ketika kita dapat merasakan, apa yang orang lain rasakan dan juga dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka. Masukilah dunia mereka dan cobalah memandang masalah dari sisi tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak saja hanya merasa dimengerti tapi ia merasa lebih disukai.
Keempat, jadilah pendengar yang baik.
Kita lebih mudah merasa empati, memahami perasaan orang lain dan menempatkan diri dalam keadaan orang lain, kalau kita dapat mendengar apa yang dialami orang tersebut. Tidak hanya kemampuan mendengarkan secara seksama, tapi juga membaca isyarat-isyarat non verbal. Sebab, seringkali bahasa tubuh dan tekanan suara lebih efektif menggambarkan perasaan ketimbang kata-kata. Orang tua misalnya, harus mampu meningkatkan kemampuan "mendengarkan" suara hati anak-anaknya. Anak-anak pun harus belajar "mendengarkan" lingkungannya, agar ia bisa terampil dalam kehidupan sosial. Anjuran mendengarkan berarti mengajak kita membuka pintu komunikasi dengan berbagai obyek. Informasi yang diterima dari banyaknya komunikasi itulah yang akan menjadikan kita bisa memahami dan mengerti.
Kelima, biasakan menghayati fenomena berbagai hal yang kita jumpai.
Misalnya, saat kita melihat seorang tunanetra di tengah keramaian, nyatakan dalam hati betapa sulitnya orang itu memenuhi kebutuhannya. Langkah ini biasanya berlanjut dengan kesanggupan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Ketika mendapati anak-anak yang mengamen di jalanan hingga larut malam, misalnya. Katakanlah pada diri sendiri, bagaimana jika mereka itu adalah anak-anak kita. Jika menyaksikan himpitan rumah gubuk di pinggiran rel kereta, bayangkanlah bila keadaan itu dialami oleh keluarga kita. Dan seterusnya.
Keenam, berlatih mengatur dan mengatasi gejolak emosi dalam menghadapi reaksi positif maupun negatif. Di sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu.
Ketujuh, latihan berkorban untuk kepentingan orang lain.
Sebuah studi di Harvard University, Amerika Serikat, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara besarnya tanggung jawab seorang anak, dengan kecenderungan bersedia mementingkan orang lain. Empati sangat berhubungan dengan kesediaan berbuat baik (altruisme). Empati yang tinggi memperbesar kesediaan untuk menolong, untuk berbagi dan berkorban demi kesejahteraan orang lain. Kesanggupan untuk berempati sendiri adalah kesanggupan yang ada pada tiap orang.
20 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar