Selasa, 25 September 2012

Tetap Bertahan atau Tinggalkan? (Claudia Deini Irawan)


Pernikahan bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang di impi-impikan terutama bagi kaum hawa. Pada umumnya, kaum hawa atau perempuan membayangkan bahwa pernikahan adalah sebuah pembentukan keluarga baru yang di dalamnya terdapat keharmonisan dan kasih sayang dari sang suami dan juga anak-anak. Hanya hal-hal yang indah-indah saja mengenai pernikahan yang di lihat, namun bagaimanakah dengan sisi gelap dari pernikahan itu sendiri?

Dewasa ini, marak terjadi kasus perceraian dan juga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang banyak menjadikan perempuan sebagai korbannya. Pada kasus perceraian, seringkali pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai karena merasa tidak cocok lagi, tidak sayang lagi, dan lain sebagainya. Jika masalahnya demikian, apalah gunanya mereka menikah? Karena menurut saya pribadi, hal-hal semacam itulah yang di namakan tantangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Apalagi bagi masyarakan yang menganut agama non-Muslim seperti Katolik atau Kristen yang sangat menentang perceraian. Namun, lain halnya jika salah satu di antara pasangan (baik suami ataupun istri) ada yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Bagi pasangan yang rumah tangga nya di warnai dengan kekerasan, dimungkinkan untuk bercerai atau tinggal secara terpisah dari suami maupun istrinya. Apalagi jika yang mengalami kekerasan adalah istri, maka menerut saya, istri dan anak-anak seharusnya tinggal secara terpisah saja dengan suami sampai sang suami sadar akan perbuatannya atau sampai dengan suami menyelesaikan program terapi dengan ahlinya.

Kekerasan yang di lakukan oleh suami kepada istri baik secara fisik maupun mental dapat mengganggu atau merusak mental istri. Contohnya saja, jika sang istri secara terus menerus mendapatkan tekanan atau kekerasan psikologis dari sang suami, seperti di salahkan terus menerus oleh suami, mengalah yang terus menerus, dan sebagainya dapat menyebabkan istri menjadi stress atau depresi yang dapat berujung dengan keadaan schizophrenia. Jika sang istri sudah menjadi schizophrenia, maka siapa yang akan mengurus anak-anaknya? Sedangkan ayah dari anak-anaknya saja "tidak beres". Pada kekerasan fisik, yang terluka bisa saja bukan hanya fisiknya, namun juga psikologisnya. Kekerasan fisik ini, juga dapat berakibat fatal, seperti kematian istri.

Menyedihkan memang melihat fakta bahwa kasus-kasus ini sering terjadi di dalam menjalani kehidupan pernikahan. Mari, kita yang belum menikah, harus memikirkan matang-matang mengenai baik dan buruk pernikahan itu sendiri sebelum memutuskan untuk menikah. Pasangan yang kira-kira memiliki arah yang jelas untuk melakukan kekerasan sebaiknya ditinggalkan saja sebelum terlambat, daripada kita harus menjalani seumur hidup kita dengan kekerasan.

22 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar