Rabu, 31 Oktober 2012

Upaya Mencegah Korupsi dalam Perilaku Masyarakat di Indonesia (Lasma Tiur - 705120062)


Pengertian Korupsi
     Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia [KBBI] (2012), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi memang membingungkan bagi negara sebesar dan seluas Indonesia. Apa yang harus dilakukan untuk memberantasnya, siapa yang harus memulai dan bagaimana melakukannya. Hampir semua pertanyaan itu sulit terjawab.

Penyebab Korupsi
     Terjadinya korupsi disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut dapat dari luar (eksternal) maupun dari dalam (internal).
     Faktor eksternal. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri seseorang.
  Hukum. Sistem hukum di Indonesia untuk memberantas korupsi masih sangat lemah. Menurut Pope (2003/2007), hukum tidak dijalankan sesuai prosedur yang benar, aparat mudah disogok sehingga pelanggaran sangat mudah dilakukan oleh masyarakat.
    Politik. Monopoli kekuasaan merupakan sumber korupsi, karena tidak adanya kontrol oleh lembaga yang mewakili kepentingan masyarakat.
   Budaya. Menurut Pope (2003/2007), KKN yang masih sangat tinggi dan tidak adanya sistem kontrol yang baik menyebabkan masyarakat menganggap bahwa korupsi merupakan suatu hal yang sudah biasa terjadi.
    Sosial. Lingkungan sosial juga dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi. Korupsi merupakan budaya dari pejabat lokal dan adanya tradisi memberi yang disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
     Faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang.
   Persepsi terhadap korupsi. Pemahaman seseorang mengenai korupsi tentu berbeda-beda. Menurut Pope (2003/2007), salah satu penyebab masih bertahannya sikap primitif terhadap korupsi karena belum jelas mengenai batasan bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
   Kualitas moral dan integritas individu. Adanya sifat serakah dalam diri manusia dan himpitan ekonomi serta self esteem yang rendah juga dapat membuat seseorang melakukan korupsi (Pope, 2003/2007).
     Sementara itu Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut: (a) peninggalan pemerintahan kolonial, (b) kemiskinan dan ketidaksamaan, (c) gaji yang rendah, (d) persepsi yang popular, (e) pengaturan yang bertele-tele, dan (f) pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
     Menurut bidang psikologi ada dua teori yang menyebabkan terjadinya korupsi, yaitu teori medan dan teori big five personality. Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008) teori medan adalah perilaku manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang ada padanya. Melalui teori ini, jelas bahwa perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
      Teori yang kedua adalah teori big five personality. Menurut Costa dan McCrae (dikutip dalam Feist & Feist, 2008), big five personality merupakan konsep yang mengemukakan bahwa kepribadian seseorang terdiri dari lima faktor kepribadian, yaitu extraversion, agreeableness, neuroticism, openness, dan conscientiousness.

Dampak yang Terjadi Akibat Korupsi
     Korupsi memiliki beberapa dampak yang dapat terjadi, meliputi dampak terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
     Dampak terhadap diri sendiri. Bagi diri sendiri, orang tersebut menjadi orang yang tidak jujur dan suka berbohong kepada orang lain.
   Dampak terhadap orang lain. Seseorang yang melakukan korupsi akan merugikan negara. Uang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan negara disalahgunakan untuk kepentingan pribadi sehingga segala pembanggunan menjadi terganggu. Selain itu, orang yang berhak mendapatkan uang tersebut akan semakin kekurangan sehingga menimbulkan bertambah banyaknya warga miskin.

Ciri-ciri Korupsi
     Menurut Lubis (1997), ciri-ciri korupsi, antara lain: (a) pengkhianatan terhadap sebuah kepercayaan, (b) penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umum, (c) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (d) dilakukan dengan rahasia, (e) melibatkan lebih dari satu pihak, (f) adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk uang atau yang lain, (g) adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentuk-bentuk pengesahan umum, dan (h) menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi.

Bentuk dan Jenis Korupsi
     Ada beberapa bentuk dan jenis korupsi yang sering terjadi di lingkungan sekitar, antara lain: (a) pungutan liar tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak bea cukai; (b) pungutan liar jenis tindak pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek; (c) pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda; (d) penyuapan; (e) pemerasan; (f) pencurian; (g) nepotisme; (h) bekerja tidak sesuai jadwal yang ditentukan yang biasanya disebut dengan korupsi waktu.

Upaya Penanggulangan Korupsi
     Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja jika suatu negara ingin mencapai tujuannya. Caiden (dikutip dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut: (a) membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu, (b) membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat, (c) melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, (d) dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman, dan (e) ada sesuatu pembaharuan struktural untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.
     Sementara Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut: (a) adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh, (b) menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, (c) para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi, (d) adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi, (e) reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya, (f) adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”, (g) adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah, (h) menciptakan aparatur pemerintah yang jujur, (i) sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien, dan (j) herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.

Daftar Pustaka
Aprianti, R. (2011). Psikokorupsi: Psikologi dan korupsi. Diunduh dari http://fpscs.uii.a.id
Dampak korupsi yang terabaikan oleh pemerintah. (2012). Diunduh dari http://www.anneahira.com
Gie, K. K. (2006). Pikiran yang terkorupsi. Jakarta: Buku Kompas.
Kamus besar bahasa Indonesia. (2012). Diunduh dari http://www.kbbi.web.id/
Kartono, K. (1983). Pathologi sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Lubis, M. (1977). Bunga rampai etika pegawai negeri. Jakarta: Karya Aksara.
Pope, J. (2007). Strategi memberantas korupsi: Elemen sistem integritas nasional (M. Maris,  
     Penerj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. (Karya asli diterbitkan 2003)

23 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar