Senin, 01 Oktober 2012

Peran Sosial Sebagai Hak dan Emansipasi (Meily Fransisca)


Para istri yang mengklaim bahwa suami harus lebih banyak membantu pekerjaan rumah tangga karena para wanita bekeja dobel di kantor dan di rumah, adalah salah. Jika kerja dengan bayaran (gaji) dan tanggung jawab tanpa bayaran seperti pekerjaan rumah, perawatan, dan kerja sosial dihitung. Para suami ternyata berkontribusi lebih banyak dalam pekerjaan rumah tangga. Ketika istri mengurangi waktu kerja mereka atau bahkan mengundurkan diri dari pekerjaan resmi setelah memiliki anak, para suami justru cenderung bekerja lembur untuk mendatangkan lebih banyak pendapatan bagi keluarga. Baik pria maupun wanita rata-rata bekerja selama delapan jam per harinya. Para pasangan yang tidak memiliki anak dan bekerja secara penuh di luar rumah merupakan kelompok dimana beban kerja wanita lebih besar daripada pria.

Di Indonesia emansipasi wanita sungguh bukan barang langka dan bukan baru. Meskipun kemudian yang dilakukan wanita ini lebih kepada tuntutan untuk tetap hidup dan menafkahi keluarga mereka. Mereka sesungguhnya adalah wanita perkasa, mereka juga seorang ibu bagi anak-anaknya.  Dan mereka tidak pernah terjebak untuk minta dikasihani apalagi untuk meminta-minta. Sebagai contoh, jika perempuan mengerjakan pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan laki-laki, maka dianggap menyalahi ‘kodrat’. Sebenarnya, hal ini kurang tepat karena yang dimaksud kodrat itu sendiri merupakan sifat biologis yang berasal dari Tuhan, bukan hasil bentukan sosial dari lingkungan seperti halnya pekerjaan.

Kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, hak seseorang untuk memilih waktu, tempat, dan jenis pekerjaan adalah berkaitan dengan gender. Oleh karena itu sebagai akibat dari perbedaan kodrat tersebut, timbul anggapan dan kebiasaan umum yang berkembang di masyarakat bahwa laki-laki mempunyai peran sosial tertentu yang berbeda dengan perempuan.

27 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar