Rabu, 31 Oktober 2012

Korupsi (Delvi Natalia 7050120115)


    “Korupsi berasal dari perkataan bahasa latin ‘corruptio’ yang berarti kerusakan atau kebrobokan. Di samping itu perkataan korupsi dipakai pula untuk menunjuk keadaan atau perbuatan yang buruk. Korupsi juga banyak yang disangkutkan pada ketidakjujuran seseorang dalam bidang keuangan” (Sumarwani,  2011). Korupsi adalah “penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain” (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
     Dari segi tipologi, korupsi dapat dibagi menjadi lima jenis, yaitu korupsi transaktif, korupsi memeras, korupsi investif, korupsi nepotisme, dan korupsi defensif. Korupsi transaktif,  menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pembeli dan pihak penerima demi keuntungan kedua-duanya. Korupsi memeras terjadi ketika pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya dan kepentingannya. Korupsi investif adalah pemberian barang atau jasa demi keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang akan datang. Korupsi nepotisme adalah penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan. Korupsi defensif adalah perilaku korban korupsi dengan pemerasan dalam rangka mempertahankan diri (Sumarwani, 2000).
     Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat rentan terhadap kasus korupsi. Contoh kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia adalah kasus Buol dengan Bupati Buol Amran Batalipu yang ditetapkan sebagai tersangka. Bupati Buol Amran Batalipu diduga menerima suap dari Gondo dan Yani Anshori.. Komisi Pemberantasan Korupsi juga menelusuri keterlibatan Artalyta Suryani dalam kasus tersebut (“KPK telusuri keterlibatan Artalyta dalam kasus Buol,” 2012). Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi juga menetapkan Hartati sebagai tersangka karena diduga sebagai inisiator pemberian suap Rp 3.000.000.000,00 ke Amran (“KPK periksa putra Ayin terkait kasus Buol,” 2012).
     Beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu aspek perilaku individu, aspek organisasi kepemerintahan, aspek peraturan perundang-undangan, dan aspek pengawasan. Aspek perilaku individu, meliputi sifat tamak manusia, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, dan kebutuhan hidup yang mendesak. Aspek organisasi kepemerintahan, meliputi tidak adanya kultur organisasi yang benar dan sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai. Aspek peraturan perundang-undangan, meliputi kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai, peraturan kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan. Aspek pengawasan, meliputi adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesionalisme pengawas, dan kurang adanya koordinasi antarpengawas (Wahyudi).
     Korupsi di Indonesia semakin merajarela. Terjadinya korupsi ini dapat memberikan dampak baik bagi negara maupun masyarakat, yaitu merusak sistem tatanan masyarakat. Norma-norma masyarakat dirusak oleh persekongkolan yang didukung publik. Dampak lainnya adalah penderitaan sebagian besar masyarakat dalam sektor ekonomi, administrasi, politik, dan hukum, serta kehancuran perekonomian suatu negara (Sina, 2008). Korupsi juga dapat mengakibatkan kemiskinan semakin bertambah tinggi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi berkurang.
     Pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi sangat perlu dilakukan. Pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan nasional berupa peraturan kebijaksanaan untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga telah meletakkan dasar hukum yang kuat dalam upaya membarantas tindak pidana korupsi, yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 (Lufsiana). Pemerintah telah membentuk lembaga-lembaga pengawasan untuk menjamin terlaksananya fungsi negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (Sina, 2008). Melalui berbagai upaya tersebut, diharapkan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat diminimalkan.
     Selain pemerintah, pengawasan masyarakat juga dibutuhkan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Peran pemerintah tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya peran masyarakat yang mendukungnya. Pengawasan masyarakat ini dilakukan secara langsung oleh masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat dan pengaduan ke komisi ombudsmen. Pengawasan masyarakat ini merupakan pengawasan yang paling efektif dalam upaya pemberantasan korupsi. Laporan yang diajukan oleh masyarakat harus berdasar pada fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (Sina, 2008).

Daftar Pustaka

Korupsi. (n.d.). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online. Diunduh dari http://www.kbbi.web.id/
KPK periksa putra Ayin terkait kasus Buol. (2012). Diunduh dari http://www.kompas.com
KPK telusuri keterlibatan Artalyta dalam kasus Buol. (2012). Diunduh dari http://www.kompas.com
Lufsiana. (n.d.). Menciptakan pemerintahan bebas dari korupsi melalui penerapan norma hukum dan asas-asas hukum pemerintahan serta peningkatan sistem pengawasan. Jurnal.
Sina, L. (2008). Dampak dan upaya pemberantasan serta pengawasan korupsi di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia, 39-51.
Sumarwani, S. (2011). Makna dan jenis koupsi. Jurnal Hukum.
Wahyudi, I. (n.d.). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) di Malang Raya. Skripsi. Universitas Muhammadiyah, Gresik.

23 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar