Minggu, 30 September 2012
Tips-tips untuk membina rapport dan empati bagi pewawancara (Florencia Irena Salim)
Berikut adalah tips-tips yang dapat digunakan bagi para interviewer agar dapat membina hubungan yang baik dengan klien.
1. Beri Kesan Pertama yang Baik
“Anda tidak akan mempunyai kesempatan kedua untuk membuat kesan pertama” – Will Rogers
Setiap orang pasti akan langsung menilai beberapa kepribadian orang yang baru pertama kali ditemui. Sebuah kesan langsung tercipta kepada kita hanya dalam waktu beberapa saat, walaupun hanya dari penampilan. Itulah pentingnya kesan pertama. Berpakaian yang rapi, sopan dan bersih
2. Berikan citra adanya karisma yang kuat
Dengan menunjukan aura karisma yang kuat, klien akan lebih me-respect anda, dan klien pun akan lebih segan sehingga apa yang anda ucapkan akan didengarkan dengan seksama.
3. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti
Dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, interviewee akan merasa nyaman berbicara dengan kita, sehingga komunikasi yang terjalin akan menjadi lebih baik. Selain itu body languange yang kita tunjukan sangat berpengaruh, dengan menunjukan kepercayaan diri, tentunya klien akan lebih percaya kepada kita.
Body Languange yang berpengaruh, diantaranya adalah mengatur dan mengendalikan cara duduk, cara menatap lawan bicara, cara berbicara, dll
4. Tunjukan Rasa Peduli (Empati)
Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
cara menunjukan empati adalah mendengarkan dengan baik apa yang diucapkan klien, dengan itu anda akan dapat meresapi dan merasakan apa yang dialami klien.
26 September 2012
Thick That Point, Rapport and Empathy (Lina Pratiwi)
Sebagian besar manusia normal tentu hanya memiliki satu mulut, dua mata, dan dua telinga. Hal tersebut diberikan demikian oleh Sang Pencipta agar kita dapat selalu melihat dan mendengar terlebih dahulu sebelum berbicara. Agar setiap kata yang keluar bukan hal sembarangan, yang dapat menyakiti dan merugikan orang lain. Agar setiap kata yang keluar didasari dari observasi indera penglihatan dan pendengaran, baru kemudian memutuskan kata-kata yang memang sepantasnya dikatakan. Lidah tidaklah bertulang, dengan dua mata dan dua telinga pun masih banyak individu yang seenaknya berkata-kata tanpa mendengarkan dan melihat kondisi sebenarnya dengan seksama.
Sebagai seseorang yang bekerja di bidang pelayanan masyarakat; baik psikolog, konsultan, maupun pekerja sosial; perlu adanya regulasi yang baik terhadap ketiga indera sensoris itu. Mengapa? Karena dalam setiap pekerjaan kita, selalu akan ada tugas untuk membangun rapport dan kemampuan untuk berempati terhadap kondisi dan situasi yang dimiliki klien. Rapport dan empati, kedua hal yang menjadi titik ukur keberhasilan pekerjaan kita.
Melalui pembentukan rapport dan empati yang baik, klien dapat merasa diterima apa adanya dan nyaman untuk menceritakan permasalahnnya. Kualitas rapport dan empati yang kita miliki juga menentukan seberapa terbuka dan tulus klien dalam menceritakan semua hal tentang dirinya. Kejujuran dan keterbukaan klien dapat memberikan kita data yang lebih lengkap dan mendalam, sehingga membantu analisis untuk menentukan diagnosa, dan akhirnya akan memberikan pengaruh pada proses penanganannya.
Terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan untuk membangun rapport yang baik. Pertama, berikan sikap peduli dan ramah, yang membuat klien merasa dirinya diterima secara utuh. Kedua, meskipun kita berusaha untuk ramah dan peduli, tetapi janganlah “sok tahu” tentang kondisi yang dihadapi klien. Sekalipun kita pernah berada dalam situasi yang serupa dengan klien, tetapi persepsi, perasaan yang muncul, dan dinamika dari situasi tersebut dapat menjadi sangat berbeda. Apalagi bila kita memang tidak pernah berada dalam situasi tersebut, jangan bersikap seakan-akan kita pernah mengalaminya, percaya atau tidak klien dapat menyadari kepalsuan itu.
Permasalahan yang dihadapi klien tidak hanya permasalahan sehari-hari, terkadang ada permasalah klien yang dalam persepsi kita hal luar biasa, sulit dipercayai, tidak masuk akal, dan bahkan terkadang tidak sejalan dengan keyakinan kita. Dalam hal ini, untuk dapat membangun rapport yang baik, kita tidak boleh “lebay” atau berlebihan dalam merspon permasalahan yang dihadapi klien. Berikan tanggapan yang sesuai, tidak berlebihan, tetapi tidak juga tanpa ekspresi atau memberikan muka datar. Kita harus dapat meregulasi kadar respon yang akan kita berikan selama klien menceritakan permasalahannya. Hal terakhir, katakan apa yang memang perlu diungkapkan. Perhatikan perkataan yang kita pakai serta respon klien terhadap kata-kata tersebut. Gunakanlah bahasa yang sesuai dengan latar belakang klien. Penggunaan bahasa yang sesuai dengan latar belakang klien menciptakan kesetaraan dan dapat membuatnya lebih terbuka diri.
Ketika kualitas rapport yang baik terbentuk, empati juga akan mengiringinya. Kedua hal ini saling tumpang tindih satu sama lain. Kemampuan berempati yang baik dapat membimbing pada pembentukan rapport yang baik, juga sebaliknya. Sebagai seorang yang diberikan kepercayaan untuk mengatasi permasalahan yang tidak bisa ia tangani sendiri, apapun permasalahnnya kita harus dapat menerima klien secara utuh dan tanpa berusaha untuk menghakimi. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut kita harus dapat memusatkan kosentrasi selama klien menceritakan permasalahannya, ataupun ketika kita perlu menyampaikan sesuatu. Fokus yang kita berikan juga menjadi nilai tambah bagi klien, bahwa kita tidak “gampangan” dalam menangani permasalahan mereka.
Perlu ditekankan kembali disini, bahwa semua poin-poin diatas dapat menjadi efektif dalam kadar yang seimbang dan terkendali. Segala sesuatu yang berlebihan ataupun terlalu kurang tidaklah baik, begitu pula poin-poin dalam pembentukan rapport dan empati. Selain itu, ketika rapport pada satu klien telah berhasil, dan mungkin sangat berhasil, usahakan untuk selalu kritis dalam menghadapi klien kita selanjutnya. Perlu terus disadari adanya keberagaman individu dan variasi dalam proses ini.
Selamat mencoba!
27 September 2012
Building rapport and Empathy simple tips ;) (Rinda Mar)
Selamat malam Saudara sekalian .. Kita berjumpa lagi disini dengan topik yang sedikit berbeda namun masih berhubungan dengan Teknik Wawancara tentunya .. :)
Nahh sesuai dengan judulnya , kali ini saya akan berbagi pengetahuan yang saya dapatkan di kelas teknik wawancara tentang membina rapport dan empati dengan klien .. semoga bermanfaat . let's cekibrot :D
Pertama-tama, apa sih rapport itu ?
Bukan, ini bukanlah raport yang biasa kita terima ketika sekolah dulu. membina rapport disini secara simpelnya adalah membina hubungan baik dengan klien.
Nah hal-hal kecil yang sebenarnya mudah untuk dilakukan namun seringkali kita abaikan dalam membina rapport adalah berikan senyuman hangat kepada klien. Pada awal sesi pertemuan kita harus memberikan senyuman simpel yang hangat kepada klien karena hal ini akan membuat klien merasa nyaman dengan kita, sebagai psikolog.
Yang kedua adalah berikan salam. setelah memberikan salam kita bisa membuka topik dengan menanyakan pertanyaan pembuka seperti menanyakan kabar klien. Hal ini akan membuat klien sedikit demi sedikit merasa nyaman dengan kita.
kemudian yang ketiga adalah sampaikan secara singkat tujuan dari wawancara yang akan kita lakukan.
Yang selanjutnya kita harus memperhatikan tingkah laku selama proses wawancara berlangsung, seperti posisi duduk yang rileks, tatapan mata kita kepada klien serta ekspresi kita ketika mendengarkan klien.
Kelima, jadilah pendengar yang baik dengan memperhatikan dengan seksama apa yang sedang diceritakan klien, sesekali tataplah mata klien. Jangan lupa untuk men silent semua gadget yang Anda bawa agar tidak ada gangguan selama proses wawancara. Akan lebih baik jika semua gadget Anda dimatikan.
Hal yang sangat penting untuk diperhatikan, kita harus tepat waktu. Jika pada awal pertemuan saja Anda sudah tidak tepat waktu, bagaimana klien bisa mempercayai Anda sebagai psikolog yang baik? ini berhubungan dengan first impression .
Yang terakhir dan penting adalah kita harus bisa berempati dengan klien. kita harus mencoba merasakan apa yang klien rasakan supaya kita bisa mengerti apa yang dirasakan klien dan kita akan lebih baik dan tulus dalam membantu klien tentunya.
Sekian postingan dari saya, semoga bermanfaat
26 September 2012
Lanjutan Mengenai "Apa itu Wawancara". (William Kosasie)
Lanjutan Mengenai "Apa itu Wawancara".
Salam hangat pembaca, dikesempatan ini saya akan melanjutkan pembahasan mengenai wawancara. Pada pembahasan yang sebelumnya, saya telah membahas sedikit mengenai apa itu wawancara. Kali ini, saya akan berbagi sedikit tips untuk menjadi seorang pewawancara yang baik. langsung saja tidak pakai basa basi, tips tersebut yaitu adalah kemampuan untuk menerapkan rapport dan empati, apakah itu? yang pertama rapport. Rapport yang saya maksud disini bukan rapot hasil ujian yang kayak disekolah-sekolah bagikan, rapport dalam pemahaman wawancara adalah membina hubungan yang baik antara pewawancara dan subyek. Berikutnya yang ke-dua adalah empati. Saya yakin pembaca pasti tau apakah itu empati. Empati singkatnya adalah kemampuan untuk mengetahui dan merasakan perasaan orang lain. Nah, dua hal ini merupakan dasar yang sangat penting dan wajib untuk kita pahami tidak hanya dalam aplikasi berwawancara, melainkan pada seluruh aspek kehidupan kita sebagai makhluk sosial.
Pertama rapport, penting untuk kita lakukan agar subyek merasa nyaman dan dekat dengan kita sehingga subyek tidak segan untuk berbagi informasi yang kita inginkan. bagaimana sih caranya untuk membina hubungan dengan orang yang baru kita jumpai? terlebih lagi kita akan menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi dan mungkin menjadi pengalaman distress bagi seseorang. Singkatnya seperti menerima tamu dirumah, saat bertemu dengan subyek sapalah beliau dengan senyum yang ramah, menunjukan sikap yang koperatif dan bersahabat, persilahkan beliau untuk duduk, dan kemudian memulai dengan perbincangan dan basa-basi ringan seperti sharing pengalaman, kegemaran dan hobi masing-masing, kemudian bisa didalami dengan perbincangan mengenai pekerjaan, pendidikan ataupun pergaulan sosial. setelah klien sudah lebih terbuka, barulah sebaiknya untuk kita memulai bertanya pada hal-hal lebih mendalam. Selama proses rapport, kitapun harus tetap memperhatikan kata-kata yang diucapkan oleh klien, karena itupun merupakan bagian dari informasi.
berikutnya yang terakhir adalah empati. memiliki perasaan empati berguna agar kita dapat merasakan dan mengerti posisi yang sedang dialami oleh klien, sehingga selama berwawancara, kita dapat mengikuti dan mengalir bersama dengan psikis klien. Mengembangkan rasa empati dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya (1) intropeksi dan kenali diri anda sendiri,(2) belajar untuk melihat sesuatu hal dari sudut pandang yang berbeda, (3) hindari sikap egois, dan (4) belajar untuk menerima seseorang dengan apa adanya. demikian, jika pembaca memiliki ke-dua kompetensi tersebut, maka anda telah memiliki modal awal untuk menjadi seorang pewawancara yang baik. Sekian dan terima kasih.
24 September 2012
Tips Membina Rappot dan Empati yang Baik (Olga Patricia Ritung)
Dalam wawancara, kita sebagai pewawancara harus membangun suasana yang baik agar proses wawancara tersebut berjalan dengan baik dan lancar sehingga kita juga bisa mendapatkan informasi yang kita ingin ketahui. Membangun suasana sama dengan membina rapport. Membina rappot adalah kegiatan yang dilakukan untuk membuat klien merasa nyaman dengan kita saat proses wawancara berlangsung.Terdapat beberapa tips-tips membina rapport dengan baik yang akan saya share buat pembaca.
1. Membangun interaksi yang baik
Sebelum memulai proses wawancara, terlebih dahulu kita sebagai pewawancara harus memiliki inisiatif sendiri untuk membangun interaksi yang baik, hangat, dan nyaman dengan klien. Interaksi ini dapat diawali dengan senyum kepada klien, berjabat tangan, dan memberikan sambutan atau sapaan yang bersahabat dengan klien, dan juga dapat membangun percakapan kecil tentang keadaan cuaca atau lingkungan di sekitar. Interaksi awal yang baik dapat membuat kesan yang menyenangkan bagi klien. Hal ini menguntukan bagi pewawancara karena memudahkan kita sebagai pewawancara untuk menjalani proses wawancara hingga selesai.
2. Tunjukkan ekspresi yang ramah dan menyenangkan
Saat membangun interaksi yang baik tersebut, kita juga perlu menunjukkan ekspresi bahwa kita memiliki minat dalam melakukan wawancara. Jangan sampai saat melakukan proses wawancara, kita memperlihatkan raut wajah yang datar atau bosan sehingga membuat klien berpikir "yang wawancara aja mukanya seperti gitu, apa untungnya ikut proses wawancara ini". So, tunjukkan bahwa kita bersedia melakukan wawancara dan siap untuk menjalani prosesnya. Diperlukan juga eye contact selama menjalani proses. Hal ini dapat membuat klien berpikir bahwa kita masih memiliki kepedulian saat mendengarkan ceritanya.
3. Ikuti arah pembicaraan klien
Saat klien menjawab pertanyaan-pertanyaan dan menceritakan masalahnya, kita harus fokus mendengarkan apa yang dikatakan oleh klien. Kita juga harus mengerti masalah dari cerita-cerita yang klien lontarkan. Ikuti ke mana arah pembicaraan klien. Hindari penggunaan alat gadget, seperti handphone, laptop, ipad, dan lain-lainnya yang membuat klien merasa kurang nyaman. Fokus dan pahami maksud klien, tetapi bukan berarti kita menjadi 'sok tahu' jika memang kurang memahami cerita klien.
4. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
Yang sangat penting dari wawancara adalah komunikasi. Saat kita berkomunikasi dengan klien, yang kita gunakan adalah bahasa. Setiap orang memiliki bahasa masing-masing sesuai pemahaman mereka. Terkadang saat melakukan wawancara kita menemukan klien yang hanya berbicara dalam bahasa inggris atau bahasa indonesia biasa atau mungkin ada yang menggunakan bahasa daerah mereka. Sebaiknya kita sebagai pewawancara mengikuti bahasa yang mereka gunakan supaya mereka merasa nyaman saat berkomunikasi dengan kita.
Selain itu, kita yang juga adalah seorang psikolog, saat berbicara dengan klien sebaiknya perhatikan tingkat pendidikan klien. Jangan sampai kita berbicara menggunakan bahasa-bahasa psikologi padahal klien adalah orang teknik.
Setelah dapat membina rapport dengan baik, kita juga sebagai pewawancara harus memiliki empati dalam mendengarkan setiap ungkapan atau kata yang dikeluarkan oleh klien. Dengan berempati, kita dapat mengerti dan memahami setiap masalah yang dihadapi oleh klien tersebut sehingga dapat memudahkan kita untuk membantu mereka dalam menyelesaikan masalahnya. Dalam berempati, kita perlu merasakan ada yang dirasakan oleh klien saat bercerita. Merasakan apa yang dirasakan klien di sini maksudnya bukan berarti kita juga harus mengalami apa yang klien alami. Hayati setiap pengalaman dan perasaan yang klien ungkapkan. Coba terima dan pahami setiap cerita klien. Tetapi JANGAN buat penilaian atau judgement dari setiap cerita yang diungkapkan oleh klien. Fokuskan diri kita setiap saat pada klien adalah kunci di mana kita bisa berempati terhadap klien.
23 September 2012
Its all about being a nice person....(Herlina Widya)
Sekarang saya akan membahas bagaimana cara membangun rapport yang baik dengan subjek atau klien kita yang akan kita ajak wawancara, mungkin hanya akan dijabarkan beberapa tips sederhana yang practical untuk bagian ini, karena saya sendiri juga masih amatir. So, kalo kata orang Kaskus sih CMIIW alias (Correct me if I’m wrong)..
Jadi yang paling pertama terlintas di otak saya ketika Bu Henny mengatakan soal pembinaan rapport adalah bagaimana mengatur nada bicara, kata-kata yang keluar dari mulut, dan mood kita sendiri. Saya rasa, ini adalah tentang menjadi seseorang yang menyenangkan di mata subjek. Menurut pengalaman saya sendiri, berbicara dengan orang yang menyenangkan akan lebih mudah membuat kita “membuka” cerita-cerita tentang diri kita, dan itu juga yang akan memudahkan jalan kita sebagai seorang psikolog untuk mewawancari klien.
Di samping itu, mungkin kita harus sedikit banyak membaca riwayat hidup si klien ini, dan menyelidiki apa saja hal-hal yang disukai dan tidak disukai klien, karena berbicara tentang hobi yang sama adalah salah satu kata kunci untuk membangun sebuah hubungan komunikasi yang baik. Sangat aneh jika kita berbicara tentang hal yang tidak di sukai si klien, apalagi kalau hal tersebut diulang terus menerus, maka sedikit banyak akan mempengaruhi cara klien melihat dan akan menahan informasi yang harusnya kita dapatkan.
Empati juga menjadi hal yang penting dalam membina sesuatu yang disebut rapport, tanpa empati tentu kita tidak dapat merasakan apa yang klien rasakan dan cenderung ber ekspresi flat, lurus- lurus saja seolah tidak memiliki perasaan, tetapi tidak baik juga jika terlalu larut dalam kesedihan si klien sehingga ketika klien bercerita, kita juga ikut menangis saking berempati nya. Kita harus ikut merasakan, harus mengerti dan paham posisi dan permasalahan yang dialami klien, tetapi kita juga harus tetap berdiri sebagai seorang psikolog yang akan menyembuhkan.
Cara membangkitkan empati yang paling saya mengerti adalah membayangkan bagaimana rasanya menjadi si klien, membayangkan jika mengalami masalah yang dia alami, apa yang akan kita lakukan, cara seperti apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut? Hal-hal tersebut akan membuat kita merasa ingin membantu menyelesaikan masalahnya dengan terapi-terapi yang kita berikan. Berhubung saya suka membaca cerita hidup seseorang, lagi-lagi saya menyarankan untuk membaca riwayat hidup si klien, mengapa masalah tersebut terjadi, apa sebabnya, apa akibatnya, sehingga kita dapat lebih memahami masalah si klien bukan hanya dari satu sudut pandang saja..
Well this is all I can share, ilmu saya masih belum terlalu banyak, mungkin nanti jika ada informasi atau ilmu yang dapat saya bagikan di blog ini, saya tidak akan pelit-pelit untuk menulis. Thanks for visiting my blog, xoxo.
22 September 2012
First step to be a good interviewer (Meilinda Taslim)
Apa yang mau saya sampaikan di posting kali ini berkaitan erat dengan dua posting sebelumnya, yaitu kemampuan wawancara yang baik. Saya akan membahas dua hal yang sangat penting dan dapat dikatakan landasan dasar yang diperlukan bagi interviewer agar proses wawancara dapat berjalan dengan lancar.
Pertama, membina rapport. Membina rapport sederhananya diartikan sebagai membina keakraban. Hal ini dilakukan guna membuat klien merasa nyaman berbicara dengan kita sehingga Ia dapat jujur serta terbuka dalam menyampaikan informasi. Kedua, berempati. Hal ini memang tidak mudah karena melibatkan perasaan kita. Empati jauh lebih dalam daripada simpati. Kedua hal ini wajib dimiliki interviewer, khususnya psikolog atau konselor. Berikut ini beberapa tips yang dapat digunakan untuk membina rapport dan berempati.
Menepati janji yang telah dibuat bersama klien.
Buatlah janji bertemu dengan klien dan tepatilah janji Anda. Datanglah tepat waktu dan jangan biarkan klien menunggu Anda. Jika Anda melakukan hal ini berarti Anda menghargai klien dengan waktu yang telah diluangkannya untuk Anda. Hal ini sederhana, namun terlalu sering terlupakan. Terlambat bahkan telah dicap sebagai budaya, masyarakat telah mentoleransi hal ini. Sungguh mengecewakan. Sebagai seorang yang ingin dikatakan profesional, seharusnya kita dapat memperhatikan hal ini dengan saksama.
Bicarakan hal-hal yang diminati klien.
Sebagai permulaan, anda sebaiknya menanyakan hal-hal umum terlebih dahulu. Anda dapat menanyakan kabar, pekerjaan, ataupun hobi mereka. Setelah itu, Anda juga dapat membicarakan topik ringan dan yang disukai klien sebelum Anda benar-benar masuk ke dalam wawancara. Jika Anda mengetahui klien berasal dari daerah tertentu, Anda juga dapat menyinggung hal yang berkaitan dengan daerah asalnya; bahkan jika Anda dapat berbicara bahasa daerah asalnya, lakukanlah karena hal itu akan membuat klien senang. Ini adalah salah satu trik yang dapat membuat klien merasa cocok dan nyaman dengan Anda. Persamaan membuat klien merasa dekat, apalagi berkaitan dengan budaya. Anda juga dapat mengobrol mengenai hobi klien, apabila Anda memiliki pengetahuan yang cukup mengenai hobi tersebut, klien pun akan merasa cocok dengan Anda.
Jelaskan tujuan wawancara.
Hal ini sangat penting. Anda harus jelaskan maksud kedatangan Anda, tujuan wawancara, dan ingin digunakan untuk apa, di mana, serta oleh siapa. Beritahukan klien bahwa data yang didapat dijaga kerahasiaannya. Anda harus menjaga baik-baik privasi klien. Anda harus menaati kode etik dengan benar.
Fokus pada apa yang disampaikan oleh klien.
Siapkan diri Anda baik-baik. Ponsel dapat dimatikan agar tidak mengganggu proses wawancara. Jangan biarkan diri Anda memikirkan hal lain selain yang berkaitan dengan wawancara. Hormati orang yang berada di depan anda, pusatkan perhatian anda padanya.
Menjadi pendengar yang baik.
Sebagai pewawancara, tentunya Anda harus lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, sebab informasi atau data yang diperlukan berasal dari klien atau lawan bicara Anda. Tuhan memberikan dua telinga dan satu mulut tentu ada tujuannya, yaitu lebih banyak mendengarkan. Berikan kesempatan bagi klien untuk menyampaikan informasi yang Anda butuhkan. Anda boleh saja berkomentar, namun seperlunya saja.
Body language dibutuhkan.
Yang mau saya tekankan di sini adalah eye contact. Menurut saya pribadi, kontak mata memberikan energi tersendiri dan dengan adanya kontak mata inilah lawan bicara atau klien Anda dapat merasa bahwa Anda benar-benar memperhatikan apa yang mereka katakan. Gerakan tubuh lainnya juga diperlukan ketika mendengarkan klien. Gerakan mengangguk ketika setuju, misalnya. Posisi tubuh juga perlu diperhatikan. Jaga posisi tetap santai dan mengarah kepada klien. Menopang dagu atau posisi tubuh terlalu menyender dengan kursi kurang dianjurkan.
Pandai menempatkan diri.
Hal ini berkaitan erat dengan empati. Saat mendengarkan kisah klien, posisikan diri anda seolah-olah anda juga mengalami hal tersebut. Jika Anda melainkan hal ini, Anda Akan mengerti mengapa klien bertingkah laku demikian sehingga Anda tidak menilai klien buruk dan mengadilinya. Dengarkan klien tanpa judgement. Ketika klien memiliki nilai yang berbeda dengan Anda, posisikan diri Anda sebagai pendengar. Hargai apa yang dianutnya tanpa berusaha untuk mengadilinya. Anda tidak perlu menyetujui pernyataan klien, namun Anda wajib menghargainya.
Demikian sedikit tips dari saya mengenai membina rapport dan empati. Semoga bermanfaat bagi pembaca semua. Selamat mencoba dan good luck for us!
16 September 2012
Tips Membina Rapport dan Empati yang baik (Jennifer Jesslyn)
Saat kita melakukan wawancara, alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu membina hubungan yang baik dengan klien atau narasumber yang akan kita wawancara (membina rapport). Tujuannya membina rapport ini, agar pada saat wawancara berlangsung kita dapat lebih menikmati wawancara tersebut karena sudah terjalin hubungan yang baik dengan klien atau narasumber. Selain itu juga, kita harus memiliki rasa empati yang besar kepada klien atau narasumber kita. Berikut ini adalah tips-tips untuk membina rapport dan rasa empati yang baik dengan klien:
• Ramah
Usahakan pada saat pertama berjumpa kita awali dengan memberikan senyuman kepada klien, berjabat tangan, mengucapkan selamat pagi/siang, mengucapkan apa kabar dan mempersilahkan klien untuk masuk atau duduk. Dan saat selesai melakukan wawancara, jangan lupa untuk mengucapkan terimakasih.
• Perhatikan ekspresi wajah
Jaga ekspresi wajah saat wawancara berlangsung. Jika gembira, usahakan tidak menampilkan ekspresi yang berlebihan. Jika kaget, usahakan tdk menunjukan dengan ekspresi yang tidak enak, seperti mengangakan mulut. Usahakan ekspresi wajah netral saat kaget tersebut.
• Perhatikan posisi duduk
Posisi duduk saat wawancara harus secara nyaman, agar saat wawancara berlangsung tidak membuat banyak gerakan untu mencari posisi yang enak, karena akan mengganggu klien. Kemudian posisi duduk juga harus terlihat sopan. Tidak bisa sambil angkat kaki atau sambil memasang posisi santai.
• Bahasa tubuh
Bahasa tubuh yang baik, haruslah yang tidak menyinggung klien, seperti tidak menunjuk saat berbicara.
• Tata bahasa
Bahasa yang digunakan harus bahasa indonesia yang baik dan benar. Tidak menggunakan bahasa yang terlalu sulit dimengrti seperti penggunaan istilah-istilah psikologi, karean tidak semua klien mengerti dan tidak semua klien datang dari latar pendidikan yang tinggi.
• Mengikuti alur klien
Jika klien bercerita tidak berurutan, tidak usah dipotong, karena itu bisa membuat klien tersinggung. Tapi ikuti sampai dimana klien bercerita. Jika telah selesai baru kita membuat kesimpulan yang berurutan dari hasil wawancara tersebut.
20 September 2012
Selasa, 25 September 2012
Perempuan Bekerja, Mengapa Tidak? (Lupita Sari Dewi)
ketika mendengar kata perempuan apa yang terlintas di kepala rata-rata masyarakat Indonesia?
feminin?
keluarga?
anak?
paradigma-paradigma seperti itu masih menghantui masyarakat bahkan di dunia modern seperti ini.
apakah salah? tentu saja tidak.
di sini kita tidak berbicara mengenai salah atau benar.
ini adalah pilihan dan jalan hidup masing-masing manusia.
namun perlu dilihat, bahwa tidak semua perempuan "merdeka" dengan pilihannya sendiri untuk bekerja.
alasan "kodrat", suami, perintah orang tua dan keluarga seringkali menjadi hambatan dalam perempuan untuk meniti karirnya.
ditambah lagi excuse yang biasanya mengekor perjalanan hidup perempuan seperti nyeri haid dan kehamilan.
perusahaan-perusahaan seringkali kurang melakukan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Uang dan profit berbicara lebih keras dibandingkan undang-undang yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak perempuan.
apakah hal-hal tersebut layak dijadikan alasan untuk penghambat karir perempuan?
faktanya, perubahan zaman menuntut perempuan untuk mandiri.
kemandirian yang dimiliki oleh perempuan dapat menambah kepercayaan diri dan harga diri.
so, perempuan bekerja? mengapa tidak?
24 September 2012
Menikah-Bercerai (Susanti Amelia)
Menikah?? Hampir setiap individu jika umurnya sudah menginjak 22 atau 25 khususnya wanita pasti sudah memikirkan untuk menikah atau diharuskan sudah mempunyai pasangan hidup. “jaman sekarang mah enak cari pasangan sendiri sesuai kitanya cocok apa ga, coba dulu boro-boro, jaman Siti Nurbaya yang orangtua saling menjodoh-jodohkan”. Banyak orang yang dijodohkan itu cocok, tapi ada juga yang tidak cocok.. Yang tidak cocok itulah cenderung timbul adanya kekerasan fisik maupun verbal yang mengakibatkan adanya kata yang terlontar ingin bercerai atau berpisah. Senang jika sekarang kita melihat orangtua kita yang semakin umurnya bertambah semakin tetap mesra, atau melihat kakek nenek kita yang masih saling memberi semangat bersama-sama, karena kebanyakan jaman sekarang menikah bercerai itu seperti hobi baru. Padahal oaring-orang itu pada saat menikah masing-masing ditiap kepercayaan agama, sudah mengucapkan sehidup semati, susah senang, suka duka di jalani bersama, tapi kenyataannya janji itu hanya sebuah “omongan” yang diingkar begitu saja.
Ada beberapa orang yang berpacaran lama dan pada saat sudah dekat dengan hari pernikahan “eh mala di batalin”. Contohnya saja seorang artis yang bernama Ayu Dewi yang gosipnya sudah lama berpacaran dengan pasangan artisnya dan sebentar lagi menjelang resepsi prianya membatalkan begitu saja dan tidak jadi menikah. Dan ada satu lagi teman saya punya saudara, pacaran sudah 5 tahun dan sudah mempersiapkan pernikahan yang akan dilangsungkan pada bulan Desember ini, prianya membatalkan pernikahannya karena sudah jenuh terlalu lama berpacaran. Terkadang kata orang “pacaran lama itu supaya bisa tau satu sama lain, ada juga yang bilang kalo terlalu lama mala jenuh”. Jadi, pintar-pintarlah dalam memilih pasangan hidup dan kita juga harus yakin bahwa ia dapat membahagiakan kita kelak.
23 September 2012
PERNIKAHAN (Shanti Leli Umboh)
Setiap orang menginginkan sebuah pernikahan dalam hidupnya. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan di dalamnya terdapat tanggung jawab yang lebih besar serta berbeda dibanding dengan masa pacaran. Sebuah pernikahan tidak hanya mengenai memiliki keturunan, tetapi mengenai juga sebuah komitmen untuk bisa terikat dengan seseorang sekali seumur hidup. Apabila sebuah komitmen tidak bisa tercapai, maka kemungkinan pernikahan yang telah dijalani tidak akan berjalan dengan lancar.
Adapun beberapa orang yang memilih untuk tidak menikah dengan berbagai macam alasan. Hal tersebut pun haruslah dimengerti dan dihormati. Banyak hal yang mungkin telah mereka pertimbangkan sehingga mereka memilih untuk tidak masuk ke dalam dunia pernikahan. Setiap orang pun bebas untuk memilih apakah ia akan menikah atau tidak.
Kesakralan pernikahan terkadang dinodai oleh perceraian, di mana seseorang memutuskan ikatan pernikahan baik dilakukan oleh suami ataupun istri. Perceraian tidak dapat terjadi begitu saja, tetapi ada beberapa faktor yang mendukung seseorang untuk mengambil tindakan tersebut. Contohnya perkelahian antar suami dan istri yang berkepanjangan, ketidakcocokan, serta kekerasan dalam rumah tangga. Dengan berbagai alasan tersebut, seseorang akan melakukan perceraian dan mengalami berbagai keterpisahan.
Pada akhirnya, setelah bercerai seseorang tetap memiliki permasalahan dalam hidupnya, seperti suami dan istri memperebutkan pengasuhan anak, pembagian harta, dan lain sebagainya. Perceraian bukanlah sebuah jalan keluar yang efektif dan baik untuk mencari solusi dari suatu permasalahan dan keputusan bercerai janganlah terlalu cepat diambil. Berpikirlah dengan baik dan secara matang penyelesaian dari suatu masalah dalam pernikahan.
Persiapan untuk menikah sangat dibutuhkan, baik persiapan dari segi umur, mental, keuangan, dan sebagainya, agar pernikahan dapat berjalan dengan baik. Serta pergunakan masa pacaran dengan baik untuk dapat mengenal dengan jelas seseorang yang nantinya akan dinikahi agar tidak ada lagi alasan untuk bercerai karena ketidakcocokan atau belum mengetahui sifat orang tersebut.
Marriage is not a noun; it’s a verb. It isn’t something you get. It’s something you do. It’s the way you love your partner every day.
-Barbara De Angelis
23 September 2012
Menikah atau Melajang? (Deverinto Luhur)
Menikah atau melajang? Saya pikir sebagian besar akan menjawab untuk hidup menikah dibanding melajang. Ya, karenahidup menikah dan mempunyai keluarga merupakan impian dari setiap manusia, khususnya di Indonesia. Bahkan, menikah terkesan merupakan sebuah hal wajib untuk dijalankan oleh manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan fenomena yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika seseorang yang berusia 25 tahun ke atas, yang memiliki pasangan akan ditanya kapan hubungan tersebut diresmikan, atau bagi yang belum memiliki pasangan akan ditanya “kapan punya pacar?”.
Bagi sebagian laki-laki, di usia 25 tahun (max s.d.35 tahun) bukanlah sebuah masalah besar jika belum memiliki pasangan hidup ataupun belum menikah. Namun, bagi sebagian perempuan, ketika memasuki usia 25 tahun dan belum memiliki pasangan hidup, dapat menjadi sebuah masalah besar. Memang dari segi usia, usia 25-30 tahun merupakan usia yang paling tepat untuk melansungkan pernikahan. Hal ini juga didukung dengan teori perkembangan psikososial Erickson, di mana usia 20-30 tahun seesorang individu dipercaya sedang menjalani sebuah tahap perkembangan Intimacy vs isolation. Di tahap tersebut, seseorang mempunyai kapasitas untuk berkomitmen dan menjalin hubungan yang dekat, sehingga di masa ini merupakan momen yang paling tepat untuk menikah. Selain usia, tentu ada faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan menikah.
Namun bagaimana dengan mereka yang berada di usia 25 tahun ke atas dan belum/tidak menikah? Saya yakin orang-orang tersebut baik laki-laki atau perempuan akan dihujani berbagai pertanyaan ataupun nasihat agar mereka segera memiliki pasangan hidup dan menikah. Bagi yang memang ingin menjalani sebuah pernikahan, maka mereka akan berusaha mencari pasangan hidup bahkan sebagian menurunkan ‘standard’ pasangan yang dikehendaki. Lalu, bagaimana dengan mereka yang memutuskan untuk hidup melajang? Hal ini bukanlah sebuah keputusan yang dapat diterima begitu saja oleh masyarakat. Berbagai komentar baik yang positif dan negatif pasti akan dilontarkan terhadap individu tersebut.
Sebenarnya apapun keputusan kita, baik hidup menikah ataupun melajang, keduanya mempunyai posisi yang sama. Ketika memutuskan untuk hidup menikah, berbagai aspek perlu disiapkan secara matang, khususnya komitmen baik komitmen terhadap diri sendiri, dengan pasangan, ataupun dengan relasi lainnya. Begitu juga dengan keputusan hidup melajang, banyak hal yang perlu disiapkan, karena hidup melajang diperlukan kemandirian yang tinggi. Dan satu hal yang harus digarisbawahi dalah ketika individu memutuskan untuk hidup melajang, bukan berarti individu tersebut akan kehilangan kasih sayang atau tidak mempunyai relasi yang intim, karena ada pepatah “alone doesn’t mean I’m lonely”.
Jadi apa keputusan Anda? Menikah atau melajang? Renungkan dan persiapkanlah dengan baik, supaya keputusan apapun yang diambil dapat membuat Anda mendapatkan kebahagiaan di hari kelak.
23 September 2012
Love is Not Only About You and Me (Yohana Fabiola)
Cerita cinta adalah cerita yang paling disukai oleh semua orang. Bahkan ketika kecil, kita juga selalu mendengar dongeng2 tentang putri cantik yang hidup menderita. Kemudian putri yang cantik itu diselamatkan oleh seorang pangeran, dan mereka hidup bahagia selamanya. Yah, seperti itulah cerita cinta yang kita ketahui sejak kecil.
Akan tetapi, saat kita mulai beranjak dewasa, kita tahu bahwa kehidupan cinta tidak semudah dan sesempurna itu. Terkadang kehidupan cinta penuh dengan tetesan air mata dan kesedihan. Yah, memang seperti itulah kehidupan cinta yang sebenarnya. Tidak hanya penuh dengan suka, tetapi juga duka.
I Love You. Aku Cinta Kamu. Wo Ai Ni. Perkataan seperti itu tidaklah asing terdengar di antara berbagai pasangan yang tengah jatuh cinta. Tapi, sering kali perkataan ini terucap tanpa ada penghayatan akan makna yang sesungguhnya. I Love You. Aku Cinta Kamu. Wo Ai Ni. Semua itu hanya seperti mantra resmi yang harus ada dalam sebuah relasi cinta.
Kedua anak manusia yang masih muda belia dan tidak menyadari arti cinta sesungguhnya, memutuskan untuk menikah, berjanji di depan altar untuk saling setia dan menjaga hingga akhir. Tepuk tangan bahagia dan ucapan selamat menempuh hidup baru, mewarnai hari bahagia mereka. Semuanya terlihat sempurna dan baik-baik saja.
Tapi, benarkah demikian adanya??
Hari demi hari berlalu, minggu demi minggu, bulan demi bulan terlewati, hingga tibalah tahun-tahun suram. Masalah demi masalah terjadi, percekcokan, kecemburuan, perselingkuhan, ketidakpuasan ekonomi dan seksual, keinginan berpoligami, semuanya mewarnai kehidupan berumahtangga. Masalah sepele bertumbuh dengan pesat, hingga akhirnya menghasilkan buah atom. Buah atom yang kecil ini akan cepat membesar dan akhirnya meledak. Ledakan itulah yang disebut perceraian.
Ketika keinginan bercerai terlontar dan kebencian terhadap pasangan pun berkobar.. Maka tak ada lagi yang tersisa dari cerita cinta yang indah. Semuanya telah hancur. Tak ada lagi kepingan cinta yang tersisa, yang ada hanya kebencian membara. Ironis bukan?
Kehidupan cinta terkadang memang terlampau sulit untuk dijalani. Godaan dan hambatan akan tetap ada mengiringi setiap kehidupan berumah tangga...
Tidak ada manusia yang terlampau sempurna, untuk berkata bahwa dirinya yang benar dan pasangannya yang bersalah.
Yang satu memiliki kekurangan, yang satu akan melengkapi dengan kelebihannya.
Istri menjadi penolong suami dan suami menjadi pelindung bagi istri.
Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia.
Berjanji setia di depan altar, bukanlah janji kepada orangtua, mertua, teman, kerabat, dan saudara.
Berjanji setia di depan altar adalah janji kudus kepada Tuhan.
Tidak ada masalah yang lebih besar yang tidak mampu dihadapi oleh pasangan suami istri manapun..
Tidak ada masalah yang terlampau rumit sehingga menjadi alasan mereka bercerai..
Tidak akan ada masalah demikian bagi setiap pasangan suami istri yang membangun rumah tangganya di dalam Tuhan..
Kehidupan cinta hendaknya bukan hanya dilakoni oleh dua orang.. Dua anak manusia memang menjalaninya, tetapi di atasnya ada Tuhan yang menaungi mereka..
Dengan demikian, kehidupan cinta sempurna yang dimimpikan semua orang akan terwujud dengan mengundang kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi dasar utama dalam suatu rumah tangga.
23 September 2012
Marriage and Divorce (Reberta Oktavela)
Setiap insan manusia tentu menginginkan adanya satu pernikahan di dalam hidupnya. Berawal dari pertemanan, membuat komitmen, mengikat janji, dan sampai ke tahap yang disebut pernikahan. Bukan hanya itu, pernikahan bukan hanya dijadikan sebuah status resminya suatu hubungan yang sah di mata Tuhan maupun sah secara hukum yang tertulis, di dalam suatu pernikahan ada tujuan lain yang sangat penting dari sebatas kata pernikahan. Yaitu: membangun sebuah keluarga, mempunyai keturunan, dan membagikan setiap momen berharga dengan semua anggota keluarga.
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat penting. Sehingga biasanya calon pengantin sangat bersemangat untuk menyiapkan segala sesuatu demi tercapainya sebuah acara pernikahan yang istimewa. karena momen pernikahan adalah momen yang dilakukan seumur hidup sekali, banyak orang yang mengeluarkan biaya tidak sedikit untuk suatu pernikahan. Pada dasarnya kualitas dari sebuah pernikahan tidak dinilai dari mewah atau tidaknya acara tersebut, melainkan dinilai dari seberapa besar pertanggungjawaban dua pasangan ini dalam menjalani hubungan sesuai dengan janji pernikahan, sampai akhir hayat.
Dewasa ini, banyak orang-orang yang tidak bisa mempertanggungjawabkan janji pernikahan, sehingga terjadi sebuah perceraian. Perceraian saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pasangan yang sudah menikah. Apabila perceraian sudah terjadi, maka semua momen yang dulu sangat indah ketika mempersiapkan sebuah pernikahan hilang sudah, seolah lupa ingatan, mereka yang melakukan perceraian tidak lagi mementingkan janji yang pernah diucapkan dihadapan Tuhan dihadapan keluarga, yang terpenting bagi mereka adalah berpisah tentu akan lebih baik.
Setiap masalah tentu mempunyai jalan keluar, namun perceraian bukanlah jalan keluar, bisa saja perceraian justru akan memasukkan kita ke dalam jurang yang lebih dalam. Itulah sebabnya alangkah lebih baik apabila pernikahan tidak dilakukan secara terburu-buru, pernikahan akan lebih baik dilakukan apabila masing-masing pasangan sudah siap. Siap dalam segi umur, keuangan, mengetahui resiko, dan sudah benar-benar bisa memegang tanggung jawab yang penuh.
"Marriage is not about the wedding, the wardrobe, the presents, the parties, and the honeymoon. It is a serious life-changing commitment" -Unknow-
23 September 2012
Siapkah untuk Menikah? (Priska Aprilla)
Secara singkat, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral, di mana dua pribadi yang berbeda menjadi satu dan memulai kehidupan baru. Menurut saya, karena pernikahan bersifat sakral, maka pernikahan merupakan hal yang seharusnya dilakukan satu kali dalam hidup. Oleh karena pernikahan seharusnya dilakukan satu kali, maka proses sebelum memutuskan untuk menikah sangat berperan penting. Berapakah waktu yang dibutuhkan sampai seseorang siap untuk menikah? Enam bulan, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, atau berapa? Bagaimanapun, waktu yang lama tidak dapat menjamin bahwa pernikahan dapat bertahan dan harmonis.
Jika demikian apa saja yang menentukan kelangsungan kehidupan pernikahan? Tentu saja komunikasi di antara kedua pihak yang menikah, juga seberapa dalam mereka saling mengenal dan memahami pribadi satu sama lain menjadi faktor penting. Banyak contoh yang kita dapat temui, terutama di kalangan selebriti, di mana pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai dengan alasan banyak ketidakcocokan. Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi apabila sebelum menikah mereka telah saling mengenal satu sama lain secara mendalam. Hubungan pacaran merupakan kesempatan untuk mengenal kelebihan maupun kekurangan yang dimiliki oleh pasangan, maupun kebiasaan-kebiasaan serta pandangan-pandangan yang dimiliki oleh pasangan dalam menyikapi berbagai hal. Hal itulah yang seringkali terlupakan, sehingga hubungan yang dijalin sebelum menikah hanya dihabiskan untuk bersenang-senang bersama.
Selain itu komitmen dari pribadi masing-masing juga sangat berperan, di samping masih banyak hal-hal penting lainnya yang dapat mempengaruhi pernikahan. Bayangkan jika dalam pernikahan, orang yang menjalaninya tidak memiliki komitmen, apakah yang akan terjadi? Mungkin yang ada dalam pikiran kita adalah akan banyak masalah yang muncul. Harus diakui di mana ketika seseorang menikah maka akan ada berbagai tanggung jawab yang harus dipikul. Jika tidak memiliki komitmen tentu tidak akan sanggup untuk melakukan semua tanggung jawab tesebut.
Intinya, bagi yang ingin menikah persiapkanlah diri dan pasangan sebaik-baiknya, karena pernikahan bukanlah permainan yang dapat dimulai dan diakhiri kapan saja. Lalu tanyakan pada diri Anda sendiri “siapkah untuk menikah?”.
22 September 2012
Mempertahankan Pernikahan atau Bercerai ? (Dionysius Ardi Nugroho)
Siang itu saya menghabiskan makan ditemani oleh kedua teman perempuan saya, sebut saja namanya A & B. Di tengah angin yang bertiup sangat kencang, kami bertiga memulai suatu perbincangan. B menanyakan kepada saya mengenai topik dan metode skripsi. Saya mengatakan bahwa bidang klinis dewasa yang menjadi topik pilihan saya, sesuai dengan bidang profesi(S2) yang akan saya pilih . B tertarik dengan metode campuran, tetapi saya cukup satu metode. Lalu saya bergurau “haha yang penting lulus”. Ternyata A memiliki pikiran sama dengan saya yaitu yang penting lulus. B mengatakan,”Ya iyalah, lagian setelah lulus S1, lu kan ngga lanjut S2, tapi langsung nikah”. Kami semua tertawa. Saat saya memasuki ruang audio visual ternyata materi yang dibahas adalah keputusan menikah & bercerai pada wanita. Materi yang dibahas memiliki sedikit hubungan dengan obrolan siang tadi. Kelompok menjelaskan bahwa perempuan menikah untuk melengkapi tahapan proses kehidupan. Dengan menikah diharapkan hidup perempuan menjadi lengkap & bahagia. Bu Henny menambahkan bahwa menikah bukan hanya karena bosan & ingin meninggalkan rumah tetapi merupakan keputusan yang diambil untuk melanjutkan tahapan perkembangan. Kemudian diskusi dilanjutkan dengan membahas keputusan perempuan untuk bercerai. Setelah kelompok selesai presentasi, pertanyaan mengenai kekerasan dalam rumah tangga cukup banyak, karena sebagian besar perceraian disebabkan oleh hal tersebut. Bu henny memberi penjelasan bahwa pada saat pacaran, perempuan bisa melihat dari body language laki-laki. Misalnya melihat saat menyetir dan menanggapi masalah. Seorang teman perempuan berkata kepada saya bahwa perlu juga melihat laki-laki yang dapat berpegang teguh pada ucapannya agar dapat dipercaya. Lalu saya bertanya, “Jika seorang pasangan bercerai karena jika tetap bersama akan selalu ada pertengkaran, apa hal itu salah?”. Kelompok menjawab jika memang tidak dapat bersatu, perceraian merupakan solusi. Lalu bu henny menambahkan bahwa perceraian bukanlah sebuah solusi, lebih baik pisah rumah. Kalau menurut kamu, apakah perceraian itu perlu dilakukan?
23 September 2012
Cantik Itu Apa Sih? (Dionysius Ardi Nugroho)
Pada hari senin 10 september 2012, kelas psikologi perempuan menonton film dokumenter berjudul “Science of Beauty”. Film ini menceritakan bagaimana arti ‘cantik’ di setiap negara. Pada film itu, ada seorang perempuan pemimpin redaksi dari sebuah majalah. Perempuan itu berjalan ditengah keramaian kota dan mencari seseorang yang friendly, punya senyum yang indah, & cukup tinggi untuk dijadikan model. Pada akhirnya, perempuan itu melihat seorang perempuan yang tinggi dan ramah. Keramahannya terlihat saat perempuan itu diajak berbicara oleh perempuan pemimpin redaksi. Negara Jepang memiliki filosofi yang unik mengenai kecantikan. Seorang perempuan Jepang merasa cantik apabila berpenampilan Geisha. Baju geisha akan menutupi bentuk tubuh, lalu wajah perempuan itu akan dirias & diberi benda seperti sanggul. Dalam film ini dikatakan bahwa kecantikan seseorang terlihat dari bentuk wajah yang simetris. Kecenderungan untuk memilih pasangan karena wajah yang hampir mirip juga dijelaskan di sini. Seorang ilmuwan mencoba mengubah wajah perempuan, dibentuk lebih maskulin dan ternyata mirip. Hal yang menarik dari film ini yaitu keadaan iklim membentuk rupa (paras seseorang). Perempuan yang tinggal di daerah afrika memiliki kulit hitam sebagai bentuk adaptasi dari cuaca yang panas. Perempuan yang tinggal di daerah Asia (China dan sekitarnya) memiliki kulit putih dan mata sipit karena cuaca yang dingin. Perempuan di benua Amerika dan Eropa memiliki kulit agak kemerah-merahan karena memiliki dua musim yaitu musim panas dan dingin. Setelah film selesai ditonton, Bu Henny membuka diskusi mengenai kapan perempuan Indonesia dikatakan cantik? Setiap kelompok mengemukakan pendapatnya masing-masing. Menurut saya perempuan Indonesia dikatakan cantik jika mereka memiliki sikap sopan, percaya diri & dapat menggunakan pakaian pada tempatnya. Saya akan menjelaskan maksudnya. Misalnya pada saat ke kampus, perempuan menggunakan pakaian yang sesuai dengan ketentuan yang ada di sana. Pada saat pesta perempuan menggunakan pakaian pesta seperti gaun. Pada saat bekerja perempuan menggunakan rok atau celana yang sesuai & blazer, hal itu membuat perempuan terlihat cantik. Bagi saya perempuan yang percaya diri dengan penampilannya (meski badannya tidak proporsional) akan terlihat cantik dan jika nada bicaranya sopan & jelas, akan memberikan poin tambah terhadap kecantikan orang itu. Lalu bagaimana definisi cantik menurut kamu?
23 September 2012
Life is a Choice, Get Married or Not is Up to You (Kusbandiyah Chandrawati)
Pernikahan...
Pada umumnya semua orang tentunya ingin merasakan pernikahan khususnya perempuan. Hingga saat ini, pernikahan masih dianggap sebagai salah satu hal yang penting bagi kehidupan seorang perempuan. Biasanya seorang ibu akan merasa tenang jika anak perempuannya telah menikah. Pernikahan juga menjadi saat bahagia yang biasanya sangat dinantikan oleh perempuan.
Keputusan seseorang untuk menikah, hendaknya didasari oleh berbagai alasan yang positif. Dengan begitu, kehidupan setelah pernikahan akan membawa kebahagiaan bagi kedua pihak. Salah satu alasan utama agar pernikahan dapat menjadi bahagia adalah tentu harus didasari oleh rasa cinta antara keduanya. Jika salah satunya merasa terpaksa tentu akan menjadi persoalan baru di kemudian hari. Dalam hal ini yang sering kita dengar adalah bahwa perempuan-lah yang merasa terpaksa untuk menikah karena tuntutan dari lingkungan sekitarnya. Jika memang tidak saling mencintai kenapa harus dipaksakan? Pernikahan karena unsur pemaksaan tentu akan merusak kebahagiaan hidup perempuan.
Meski zaman terus berkembang dan semakin modern, namun keputusan perempuan yang memilih untuk tidak menikah masih menjadi hal yang dianggap tabu dalam masyarakat, khususnya di Indonesia. Jika seorang perempuan telah menginjak usia di atas kepala dua, maka orang-orang di sekitarnya sering bertanya “kapan nikah?”. Seolah-olah perempuan itu hidup hanya untuk menikah, padahal perempuan juga memiliki hak memilih atas kehidupannya sendiri. Tidak sepantasnya lingkungan yang mengatur hidup seseorang, karena yang akan melaksanakan kehidupan adalah individu itu sendiri bukanlah lingkungannya.
Meskipun bertentangan dengan lingkungannya, namun tidak sedikit perempuan yang pada akhirnya memilih untuk tidak menikah. Hal ini tentunya telah menjadi pertimbangan yang matang atas hidupnya sendiri. Walau demikian, mereka yang memutuskan untuk tidak menikah banyak yang belum berani mengungkapkan alasannya sehingga pada akhirnya menerima saja tuntutan dari lingkungannya. Hal yang perlu diingat, seperti kutipan dari Christopher Robin :
“You are stronger than you seem, braver than you believe, and
smarter than you think you are.”
Oleh sebab itu, kenapa harus takut mengungkapkan pilihanmu? Jika memang alasan tidak menikah tersebut postif maka jangan takut untuk mengungkapkannya. Perempuan memiliki kekuatan untuk membuat pilihannya, memiliki keberanian untuk menolak asumsi masyarakat, dan memiliki akal sehat untuk berpikir akan segala keputusannya termasuk tidak menikah.
Satu hal yang tentu perlu diingat, penyesalan selalu datang belakangan. Jangan sampai pilihan tersebut menjadi bumerang pada akhirnya. Menikah memiliki konsekuensi, begitu pula dengan tidak menikah, juga akan memiliki konsekuensinya tersendiri. Oleh sebab itu, pikirkan dengan baik pilihan mana yang akan diambil. Jangan pedulikan perkataan orang, yang terpenting adalah hati nurani diri sendiri. Terkadang pilihan yang dianggap salah ternyata menjadi baik pada akhirnya.
“Sometimes the wrong choices bring us to the right places”
23 September 2012
Semua itu Pilihan (Gisela Aliyansari)
Menjadi wanita menikah atau wanita single atau wanita yang bercerai itu semua adalah pilihan. Itu semua dikembalikan lagi ke masing-masing wanita untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Masa depan ada di tangan kita sendiri bukan di tangan orang lain. Sehingga ketika seorang memutuskan untuk menikah, kurang lebih ia telah dapat melihat masa depan pernikahannya, misalnya pernikahan yang bahagia. Tetapi manusia hanya bisa berencana dan ketika rencana manusia tidak seindah yang diimpikan maka mereka akan cenderung memilih jalan pintas untuk keluar dari masalah tersebut. Salah satu jalan pintas dari masalah pernikahan adalah perceraian. Salah satu alasan yang paling banyak dikemukakan oleh pasangan jika ingin bercerai adalah ketidakcocokan yang terjadi di antara mereka. Menurut pendapat saya, perceraian bukanlah satu-satunya jalan keluar dari suatu masalah dalam pernikahan. Masih ada 1001 solusi dalam memecahkan masalah-masalah pernikahan, di antaranya saling intropeksi diri masing-masing, menghormati pasangan, menghargai segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, konsultasi pada konselor pernikahan, atau mereka bisa pisah rumah hingga suasana dapat dikendalikan.
Yang jadi pertanyaan, seelama pasangan tersebut pacaran mereka itu ngapain saja, hingga baru menyadari ketidakcocokan di antara mereka. Mungkin ketika pacaran yang mereka keluarkan hanyalah perilaku manis saja. Yang perlu diperhatikan saat berpacaran adalah restu dari orang tua. Orang tua lebih mengetahui mana yang lebih baik untuk anaknya. Jika orang tua tidak merestui suatu hubungan pastilah ada alasan di balik itu. Orang tua lebih banyak makan asam garam kehidupan maka dari itu mereka sudah paham gelagat pacar dari sang anak. Ketika mereka sudah disatukan dalam ikatan suci pernikahan, berulah sifat asli mereka barulah keluar. Dan barulah mulai tumbuh masalh satu demi satu.
Tetapi jikalau perceraian tersebut akhirnya terjadi juga tak jadi masalah asalkan pasangan telah mendiskusikan masalah mereka dan cuma ada satu jalan dari masalah yang ada yakni perceraian. Asalkan ketika mengajukan cerai tidak termakan oleh emosi dan telah dipertimbangkan masak-masak. Wanita yang memutuskan untuk bercerai pasti juga telah memiliki gambaran masa depan yang lebih baik daripada ia harus bertahan dengan suaminya. Jika terjadi perceraian yang jadi masalah adalah anak-anak (bagi yang telah memiliki anak). Jika si anak diasuh oleh ibu, maka bagaimana orang tua dapat mengatur waktu agar si anak tidak kehilangan sosok ayah dan ibu mereka. Saya sangat kagum dengan orang tua yang bercerai tetapi masih dapat mejaga komunikasi dengan baik. Mereka mengeyampingkan ego mereka dan mendidik anak bersama-sama walaupun tidak dalam ikatan pernikahan. Saya pernah dengar, kalau mantan istri dan mantan suami itu ada, tetapi mantan ibu mantan ayah atau mantan anak itu tidak ada.
Wanita single yang memutuskan untuk tidak menikah tetapi bukan biarawati, pasti telah memiliki gambaran masa depan juga. Mereka memiliki alasan sendiri untuk memutuskan untuk tidak menikah. Walaupun terkadang orang-orang di sekitarnya sulit untuk memahami keputusannya tetapi wanita single tetap pada keputusan untuk tidak menikah. Di Indonesia anggapan wanita single yang memutuskan untuk tidak menikah masih dianggap sebagai "perawan tua". Banyak orang tua yang dari generasi nenek saya dan sekitarnya masih belum bisa menerima jika wanita tidak menikah. Ibarat kata, wanita single yang memutuskan untuk tidak menikah seperti menentang arus.
Apapun yang menjadi pilihan seorang wanita, menjadi wanita yang menikah, menjadi wanita yang bercerai, atau menjadi wanita single yang memutuskan untuk tidak menikah adalah pilihan dari wanita itu sendiri yang patut dihormati. Apapun yang menjadi pilihan mereka asalkan hidup menjadi lebih bahagia untuk dijalani kenapa tidak. Daripada menjadi wanita menikah, wanita bercerai, ataupun wanita single tetapi tidak bahagia. Karena bahagia tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata, tidak dapat dibeli, dan hanya hati yang dapat merasakan keberadaan sang bahagia tersebut.
23 September 2012
The Only Marriage in Life (Sylvia Kristiani)
Keputusan untuk menikah merupakan sebuah keputusan yang cukup penting di dalam hidup. Keputusan tersebut bukanlah sebuah keputusan yang mudah karena akan mempengaruhi sisa hidup seseorang setelah keputusan tersebut dibuat. Ketika ingin mengambil keputusan untuk menikah, banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan mengenai keadaan diri pasangan, seperti latar belakang keluarga, pendidikan, keadaan ekonomi, kepribadian, dan hal-hal lainnya. Tidak hanya itu, kehidupan yang mungkin terjadi setelah menikah pun juga ikut dipertimbangkan. Misalya saja, bagaimana kondisi keluarga yang akan dibentuk, bagaimana keadaan ekonomi keluarga nantinya, dan bagaimana pasangan tersebut menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi.
Walaupun demikian, tidak jarang seseorang menikah hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti seorang perempuan yang dipaksa menikah dengan orang-orang tertentu oleh orangtuanya hanya untuk melunasi hutang-hutang dan memperbaiki keadaan ekonomi keluarga mereka. Meskipun begitu, ada juga orang yang menikah tanpa mempertimbangkan keadaan ekonomi pasangannya. Walaupun memiliki ekonomi yang kurang baik, tetapi mereka tetap menikah. Mereka berpikir bahwa asalkan mereka dapat hidup bahagia itu sudah cukup.
Setelah menikah, seorang perempuan akan memiliki peran yang berbeda. Ia akan memiliki peran sebagai seorang istri. Setelah itu ia akan memiliki anak dan berperan sebagai ibu. Peran-peran tersebut harus berjalan dengan seimbang agar keadaan keluarga dan pernikahan tersebut tetap harmonis. Jika ia hanya mengutamakan perannya sebagai istri tanpa memperhatikan kebutuhan anak-anaknya dalam perannya sebagai ibu, maka hal tersebut akan mempengaruhi perkembangan anak-anaknya yang dapat mengarah pada perkembangan yang kurang baik. Selain itu, dapat pula mempengaruhi hubungan di antara ibu dan anak yang dapat berakibat pada hubungan yang kurang dekat atau kurang akrab, bahkan dapat menimbulkan pertikaian-pertikaian di antara mereka. Begitu juga jika perempuan hanya memperhatikan perannya sebagai seorang ibu tanpa memperhatikan perannya sebagai seorang istri. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik yang mungkin muncul dari masalah-masalah kecil yang dapat terus menjadi besar, bahkan dapat menimbulkan perceraian.
Meskipun begitu, perceraian dapat terjadi tidak hanya karena perempuan yang kurang memperhatikan perannya sebagai seorang istri, tetapi dapat pula disebabkan karena faktor-faktor lainnya, seperti faktor ekonomi, tidak adilnya pembagian tugas antara suami dan istri, kurangnya komunikasi, timbulnya rasa curiga, merasa tidak lagi cocok karena banyaknya perbedaan-perbedaan prinsip atau pendapat, dan masih banyak lagi hal-hal lainnya yang dapat menimbulkan perceraian. Seperti halnya dengan pernikahan, perceraian juga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan dan banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama mengenai siapa yang akan merawat anak. Bahkan bagi agama tertentu, perceraian sama sekali tidak diizinkan untuk dilakukan.
Sebenarnya setiap orang mengharapkan pernikahan yang bahagia tanpa adanya perceraian. Oleh karena itu, sebelum menikah kita harus benar-benar mempertimbangkannya dengan baik agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari. Bagi saya, keputusan untuk menikah adalah keputusan yang dibuat hanya satu kali dan berlaku sepanjang hidup sampai Tuhan yang akan memisahkan.
22 September 2012
Tetap Bertahan atau Tinggalkan? (Claudia Deini Irawan)
Pernikahan bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang di impi-impikan terutama bagi kaum hawa. Pada umumnya, kaum hawa atau perempuan membayangkan bahwa pernikahan adalah sebuah pembentukan keluarga baru yang di dalamnya terdapat keharmonisan dan kasih sayang dari sang suami dan juga anak-anak. Hanya hal-hal yang indah-indah saja mengenai pernikahan yang di lihat, namun bagaimanakah dengan sisi gelap dari pernikahan itu sendiri?
Dewasa ini, marak terjadi kasus perceraian dan juga kasus kekerasan dalam rumah tangga yang banyak menjadikan perempuan sebagai korbannya. Pada kasus perceraian, seringkali pasangan suami istri memutuskan untuk bercerai karena merasa tidak cocok lagi, tidak sayang lagi, dan lain sebagainya. Jika masalahnya demikian, apalah gunanya mereka menikah? Karena menurut saya pribadi, hal-hal semacam itulah yang di namakan tantangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Apalagi bagi masyarakan yang menganut agama non-Muslim seperti Katolik atau Kristen yang sangat menentang perceraian. Namun, lain halnya jika salah satu di antara pasangan (baik suami ataupun istri) ada yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Bagi pasangan yang rumah tangga nya di warnai dengan kekerasan, dimungkinkan untuk bercerai atau tinggal secara terpisah dari suami maupun istrinya. Apalagi jika yang mengalami kekerasan adalah istri, maka menerut saya, istri dan anak-anak seharusnya tinggal secara terpisah saja dengan suami sampai sang suami sadar akan perbuatannya atau sampai dengan suami menyelesaikan program terapi dengan ahlinya.
Kekerasan yang di lakukan oleh suami kepada istri baik secara fisik maupun mental dapat mengganggu atau merusak mental istri. Contohnya saja, jika sang istri secara terus menerus mendapatkan tekanan atau kekerasan psikologis dari sang suami, seperti di salahkan terus menerus oleh suami, mengalah yang terus menerus, dan sebagainya dapat menyebabkan istri menjadi stress atau depresi yang dapat berujung dengan keadaan schizophrenia. Jika sang istri sudah menjadi schizophrenia, maka siapa yang akan mengurus anak-anaknya? Sedangkan ayah dari anak-anaknya saja "tidak beres". Pada kekerasan fisik, yang terluka bisa saja bukan hanya fisiknya, namun juga psikologisnya. Kekerasan fisik ini, juga dapat berakibat fatal, seperti kematian istri.
Menyedihkan memang melihat fakta bahwa kasus-kasus ini sering terjadi di dalam menjalani kehidupan pernikahan. Mari, kita yang belum menikah, harus memikirkan matang-matang mengenai baik dan buruk pernikahan itu sendiri sebelum memutuskan untuk menikah. Pasangan yang kira-kira memiliki arah yang jelas untuk melakukan kekerasan sebaiknya ditinggalkan saja sebelum terlambat, daripada kita harus menjalani seumur hidup kita dengan kekerasan.
22 September 2012
Tidak Ada Kata Terlambat ...(Anita Lusiana)
Pernikahan merupakan hal yang sakral, yang menyatukan dua insan manusia. Dalam pernikahan tersebut akan membentuk sebuah keluarga. Membentuk sebuah keluarga harmonis memang tidak mudah seperti yang di pikirkan oleh kebanyakan orang. Pasangan yang telah lama berpacaran juga tidak menjamin keharmonisan keluarganya kelak. Keharmonisan dalam hubungan keluarganya nanti di jaga melalui kejujuran, komitmen, komunikasi, serta kesetiaan. Melalui hal yang kita anggap sederhana itulah, yang sebenarnya merupakan kunci dalam menjalani sebuah hubungan. Seberapa banyaknya uang yang kita miliki, kita tidak akan dapat membayar keharmonisan keluarga jika salah satu pasangan tidak memiliki kejujuran, komitmen, kesetiaan dan komunikasi yang baik antar sesama pasangannya.
Beberapa pasangan yang telah menikah, banyak yang memutuskan untuk bercerai. Baik yang menikah baru seumur jagung, maupun yang sudah menikah bertahun-tahun lamanya. Padahal sebelum ada kesepakatan untuk menikah, mereka terlebih dahulu telah berpacaran, melakukan masa penjajakan, mengenal satu sama lain secara mendalam. Tetapi, yang terjadi akhirnya adalah perceraian. Perceraian itu sendiri juga dikemukakan dengan beragam alasan. Ada yang mengatakan, "kami sudah tidak sejalan", "kami sudah berbeda prinsip", "kami sudah tidak ada kecocokan" , dan "pernikahan kami sudah tidak dapat di pertahankan lagi" , kalimat-kalimat demikian keluar dengan mudah dari salah satu mulut pasangan, yang pasti akan menyakiti hati pasangannya.
Jika waktu dapat diputar kembali, pasangan yang menikah itu telah mengikat janji sehidup semati di depan para pemuka agama serta di depan banyak orang. Namun, karena tidak memiliki komitmenlah yang menyebabkan salah satu pasangan dapat mengatakan " kita bercerai". Tidak sampai di situ, terkadang permusuhan pun terjadi antara kedua belah pihak karena memperebutkan harta, memperebutkan hak asuh anak, dan lain sebagainya.
Dengan adanya hal ini, dimaksudkan agar pasangan dapat lebih teliti untuk memilih pasangan hidup. Jika, memang selama berpacaran tidak ada sisi positif yang dapat di ambil atau kurang merasa cocok, maka hubungan tersebut lebih baik di pikirkan kembali
"Selama dalam masa berpacaran, tidak akan ada kata terlambat untuk mengakhiri suatu hubungan, bahkan yang telah lama berjalan sekalipun yang memang dasarnya sudah berjalan kurang baik".
21 September 2012
Happily Ever After but Nothing Lasts Forever? (Aska Dzumalin)
Pernikahan merupakan fase kehidupan penting umat manusia. Banyak perempuan yang memimpikan pernikahan indah seperti di dongeng dengan seorang prince charming dan hal-hal indah lainnya.
Menurut saya, mencari pasangan hidup memang bukan hal yang mudah, terkadang dikatakan “sulit-sulit gampang” sama seperti mencari sahabat. Jodoh ada di tangan Tuhan, tapi bila manusia tidak berusaha untuk mencarinya atau hanya berdiam diri saja, juga tidak akan tercapai dengan sendirinya. Banyak perempuan yang single karena belum menemukan pria yang cocok, malah dikatakan terlalu picky (pilih-pilih atau selektif). Padahal menurut saya, menjadi seorang perempuan tidak ada salahnya untuk selektif terhadap calon pasangan hidup, namun jangan berlebihan dan jangan terlalu melihat dari segi fisik dan materi saja, karena semua manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan, dari segi bibit, bebet, dan bobot (nobody's perfect).
Pacaran memang seharusnya menjadi masa perkenalan karakter, masa training untuk kita mempelajari karakter, menyeimbangi, menerima, dan toleransi kepada pasangan kita. Untuk masuk ke jenjang pernikahan, tiap pasangan harus benar-benar matang atau siap, sehingga segala rintangan yang terjadi dalam pernikahan dapat diselesaikan dengan baik dan dengan cara yang dewasa. Dalam pernikahan kedua pasangan harus dapat mencintai dan menerima pasangan dengan apa adanya.
Biasanya sebelum menikah menurut saya, perempuanlah yang lebih memilih untuk menjalani masa pacaran dengan serius dibandingkan pria, karena banyak pria yang terkadang takut dengan komitmen, sehingga menikah merupakan komitmen besar untuk mereka. Bahkan mereka takut untut serius dalam pacaran karena mereka masih ingin bebas, bermain dengan teman-temannya, dan sebagainya. Hal ini yang sering mengecewakan para perempuan, karena disaat perempuan merasa sudah cocok dengannya, tetapi ternyata pria tersebut sulit untuk diajak maju ke jenjang berikutnya. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan “putus”, dan para perempuan kembali mencari calon pasangan hidup dari awal lagi.
Pada masa pacaran, bisa saja dapat berakhir dengan putus karena banyak hal yang diperdebatkan. Sedangkan pada masa pernikahan, dapat berakhir dengan perceraian. Semua manusia bisa berubah, dari yang awalnya sayang, bisa berubah menjadi benci. Jadi, sebaiknya kita menikmati, menghargai dan mensyukuri setiap moment bahagia, hal-hal yang kita miliki saat ini, kehidupan bahagia yang dapat kita rasakan saat ini, karena hal-hal tersebut sangat berharga. Jika sedang dihadapkan dengan keadaan yang sulit ada baiknya kita juga menerima hal tersebut sebagai proses pembelajaran yang berarti. Semua orang menginginkan kehidupan yang bahagia (happily ever after) tapi tidak menutup kemungkinan kebahagiaan bisa berakhir untuk sementara, karena tidak ada yang kekal di dunia ini (nothing last forever).
“The best way to pay for a lovely moment is to enjoy it”- Richard Bach.
21 September 2012
Wanita dan Menikah (Dini Puspita Ayati Sofyan)
Menikah adalah salah satu tujuan hidup kebanyakan orang. Setiap orang tentunya menginginkan pernikahan yang hanya terjadi sekali seumur hidup dan bahagia sampai maut memisahkan. Untuk mencapai tujuan pernikahan tersebut, setiap orang yang akan melakukan pernikahan haruslah memahami apa tujuan ia menikah dan dengan siapa ia akan menikah.
Pada saat ini, banyak wanita yang kurang memahami apa sebenarnya tujuan ia menikah. Wanita-wanita tersebut bahkan banyak yang masih muda untuk memutuskan menikah dengan pasangannya. Banyak dari mereka berpikir bahwa dengan rasa sayang yang ia rasakan terhadap pasangannya, membuat mereka siap untuk mendampingi pasangan mereka dalam ikatan pernikahan. Tetapi mereka kurang berpikir panjang mengenai kehidupan seperti apa yang harus mereka hadapi ketika mereka sudah menikah.
Menikah bukanlah suatu keputusan yang tidak tepat. Menikah akan menjadi suatu keputusan yang tidak tepat jika keputusan tersebut diambil sebelum seseorang siap melakukannya. Atas dasar rasa sayang saja tidak cukup untuk memutuskan menikah. Setiap pasangan seharusnya juga mempertimbangkan keadaan ekonomi, psikologis, dan lain sebagainya sebelum menikah. Bagaimana suatu pasangan dapat membina rumah tangga jika ia belum mapan dalam segi ekonomi? Dan bagaimana suatu pasangan dapat membina rumah tangga jika emosional dari individu masing-masing belum siap untuk membina rumah tangga.
Banyak wanita yang memutuskan untuk menikah muda tanpa kesiapan yang matang. Hal tersebutlah yang membuat banyak pasangan menikah akhirnya mengakhiri pernikahannya. Mereka belum benar-benar memahami dengan siapa mereka menikah dan juga mereka belum benar-benar siap dalam segi psikologis untuk membina rumah tangga.
Maka dari itu saya menyarankan kepada setiap wanita yang ingin menikah, coba renungkan apakah Anda benar-benar siap untuk menikah? Siapkah Anda dan pasangan Anda dalam segi ekonomi untuk membiayai kehidupan rumah tangga? Siapkah kondisi psikologis Anda dan pasangan Anda dalam menjalani kehidupan rumah tangga? Dan apakah Anda sudah benar-benar memahami dengan siapa Anda menikah? Karena pernikahan bukanlah suatu permainan yang kita dapat hentikan di tengah-tengah kehidupan dan memutuskan untuk bercerai jika kita memiliki masalah. Suatu pernikahan seharusnya menjadi pernikahan yang terjadi sekali dalam seumur hidup dan bahagia di dalamnya.
22 September 2012
Ada Apa dengan Komitmen (Joshua Sandjaja)
Sore hari setelah mencoblos tadi pagi, saya mencoba duduk untuk menuliskan sedikit buah pikiran mengenai komitmen. Kita sering mendengar kata “komitmen” dalam kehidupan sehari-hari. Bagi beberapa orang, kata komitmen masih memiliki makna yang dalam. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan berubahnya jaman, kata komitmen mulai kehilangan kepentingannya. Berkaitan dengan komitmen, ada satu hal yang mungkin masih bisa dikaitkan dengan komitmen, yaitu pernikahan. Hal yang menarik dari sebuah pernikahan adalah kebanyakan orang lebih fokus pada acara atau pesta pernikahannya daripada hari-hari yang harus dilalaui oleh passangan tersebut.
Kita banyak melihat di televisi, kaum selebriti Indonesia yang mungkin lumayan “hobi” bercerai. Semua komitmen saat awal menikah hilang begitu saja berganti dengan “ketidakcocokan”. Dalam kehidupan sehari-hari pun rasanya banyak ditemukan masalah keluarga yang cukup sering mengorbankan anak. Kebetulan saya bekerja di lingkungan pendidikan anak dan sangat terasa bahwa konflik orang tua sangat berdampak pada anak.
Ada apa dengan komitmen? Menghilang begitu saja saat ada masalah datang. Semua kenangan saat pacaran atau awal menikah sudah tak berbekas. Entah untuk pria atau wanita, hubungan yang tidak didasari komitmen akan sangat menguras kondisi psikologis dan sangat mungkin fisik. Di mana letak kesalahannya?
Sejak awal, perlu diperhatikan dengan siapa kita berkomitmen dan komitmen macam apa yag kita jalani nanti. Seiring perkembangan usia, kita semakin matang dan harus semakin bijak. Jangan sampai mengorbankan waktu dan hidup kita hanya demi sebuah kesalahan berkomitmen. Pernikahan maupun hubungan lainnya bisa menjadi sangat indah dan meningkatkan kualitas hidup seseorang. Komitmen kembali harus menjadi salah satu landasan terpenting dalam hubungan.
20 September 2012
Perempuan dan Pilihannya (Elvandari Armen)
Sebagai seorang perempuan yang sudah menginjak usia dewasa dan sudah memiliki calon pasangan hidup, tentunya sering dihadapkan oleh pertanyaan-pertanyaan tertentu dari orang di sekitarnya. Salah satunya adalah kapan ia menikah. Memutuskan untuk menikah tentunya membutuhkan pertimbangan yang matang, mulai dari kesiapan mental sampai keadaan finansial, bukan semata-mata hanya cinta. Tidak jarang perempuan yang sudah lama berpacaran menjadi bimbang ketika harus memutuskan apakah pasangannya saat ini memang suami yang tepat bagi dirinya.
Semakin maraknya pemberitaan di media massa mengenai kekerasan rumah tangga dan meningkatknya angka perceraian, dapat membuat para wanita lebih ingin menunda menikah. Penundaan pernikahan dilakukan dengan alasan agar ia lebih mengenal pasangannya. Wajar apabila wanita mengharapkan upacara pernikahannya hanya satu kali dan tidak berakhir pada perceraian.
Pria dan wanita memang diciptakan berpasangan. Untuk lebih mengenal satu sama lain, tentunya mereka perlu melewati tahap pacaran. Dalam tahap ini, hendaknya mereka saling membuka diri mengenai kepribadian, keadaan, dan kebiasaannya. Selain itu, pada masa inilah mereka mencoba belajar untuk saling memahami dan melihat sejauh mana batas toleransi pribadi terhadap kesalahan yang dibuat pasangan. Yang terpenting adalah seberapa banyak informasi yang kita peroleh mengenai pasangan, bukan lamanya masa pacaran. Lamanya masa pacaran tidak menjamin kelanggengan sebuah hubungan.
Pasangan yang melakukan kekerasan pada masa pacaran, tidak perlu dipertahankan. Mengapa? Pada masa pacaran saja sudah menunjukkan kekerasan, apa lagi jika sudah menikah? Potensi-potensi kekerasan yang dilakukan pacar, harus dijadikan bahan pertimbangan sebelum menentukan langkah yang lebih serius.
Terdapat empat kekerasan yang terjadi pada masa pacaran, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan kekerasan psikologis. Kekerasan fisik mencakup tentang segala aktivitas yang dilakukan ketika pasangan sedang marah kepada kita, seperti memukul, menendang, menapar, dan sebagainya. Kekerasan seksual terjadi ketika kita tidak dapat mentoleransi terhadap tingkat kontak fisik yang dilakukan pasangan terhadap kita. Kekerasan ekonomi terjadi ketika pasangan selalu meminta kita mengeluarkan materi secara berlebih. Kekerasan psikologi terbagi menjadi dua, yaitu kekerasan verbal dan sosial. Kekerasan verbal terjadi ketika ucapan-ucapan pasangan sering menyakiti kita, seperti kata-kata yang kasar, kotor, atau merendahkan kita, sedangkan kekerasan sosial terjadi ketika pasangan sangat membatasi luang lingkup sosial kita, seperti hubungan pertemanan dan keluarga.
Perempuan berhak memilih, perempuan berhak memutuskan. Menikah, menunda menikah, atau tidak menikah memang diri sendirilah yang menentukan. Ketika perempuan membuat pilihan, ia pasti sudah mempertimbangkan apa yang memang dibutukannya saat ini dan di masa yang akan datang. :)
20 September 2012
Marriage and Divorce (Leni Kopen)
Marriage and Divorce
Menjadi seorang wanita haruslah pandai. Jadilah buku bagi suamimu, dan jadilah buku yang tidak akan habis dibaca oleh suamimu, maka suamimu akan terus penasaran dan akan selalu memperhatikanmu...
Tuhan tidak pernah mengharapkan manusia untuk bercerai sebab yang Ia rancang adalah pernikahan. Bagi Tuhan, pernikahan itu membuat dua manusia menjadi satu daging. Satu daging berarti tak mungkin dipisahkan lagi, sudah menyatu seutuhnya. Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral dan mengandung unsur tanggung jawab yang besar di dalamnya. Pilihan seseorang untuk menikah ataupun tidak menikah seharusnya adalah sebuah hak yang mutlak.
Pernikahan dikatakan cukup sukses jika kenangan-kenangan yang ada sebagian besar merupakan kenangan indah. Sebaliknya, jika lebih banyak kepahitan yang dirasakan selama menikah maka pernikahan tersebut tidaklah berhasil. Sebelum melakukan pernikahan tentunya ada perkenalan terlebih dahulu yang biasa disebut dengan pacaran. Pacaran merupakan proses saling mengenal, memahami, dan belajar berbagi satu sama lain. Apabila dalam pacaran saja sudah banyak terjadi kekerasan atau rasa tidak nyaman dalam hubungannya, alangkah baiknya hubungan tersebut diakhiri saja daripada dilanjutkan dengan akhir yang tidak menyenangkan dan luka yang mendalam. Sebelum memutuskan untuk menikah, pikirkan dengan matang langkah yang akan anda ambil. Dimulai dari persiapkan secara materi, lahir dan batin, dan komitmen yang tinggi tentunya. Jangan sampai anda melanggar sumpah janji yang telah mengikat anda nantinya. Seperti yang dikatakan oleh ibu Henny, “bukan berapa lamanya pacaran, tapi apa yang didapatkan dari pacaran tersebut”. Dalam arti, kita berpacaran harus bisa mengenal satu sama lain (kelebihan dan kekurangan masing-masing dari pasangan) dan benar-benar tunjukkan dirimu yang sesungguhnya. Sehingga pada saat menikah kita tidak perlu kaget lagi jika pasangan kita berperilaku seperti itu dan harus bersikap seperti apa.
Untuk menjaga keharmonisan rumah tangga, ada baiknya dimulai dari diri kita masing-masing atau self centered. Sifat egois yang sedemikian besar dan tidak dapat melembut tentu saja akan berakhir dalam sebuah pernikahan yang hancur berantakan. Sebaliknya, pernikahan yang harmonis dan bertahan lama terbentuk dari dua pribadi yang sabar, saling mengayomi, mendewasakan, dan mengalah satu dengan yang lain. Saya pernah melihat sepasang kekasih yang masih mesra di masa tuanya. Ketika saya berjalan di jalur busway, saya melihat seorang kakek dan nenek sedang bersandar sambil melihat ke arah jalan raya. Saya pikir mereka ingin bunuh diri bersama sambil memegang tangan pasangannya dengan mesra. Namun, apa yang saya pikirkan ternyata salah total. Untuk meyakinkan, saya berbalik kembali melihat kakek dan nenek tersebut. Apa yang terjadi? Kakek itu meraih tangan nenek dan menciumnya dengan mesra. Hati saya pun lega dan saya senang melihatnya ternyata masih ada pasangan yang mesra hingga masa tuanya. Serasa dunia hanya milik mereka berdua. Kemesraan yang mereka jaga akan berakhir dengan indah seperti di akhir cerita cinderella, “and they live happily ever after”. Oh, so sweet :)
Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Perceraian mungkin menyelesaikan beberapa masalah dalam perkawinan, namun tidak akan menyelesaikan semua masalah dengan cepat dan mungkin menciptakan masalah baru. Memang rasanya berat jika pernikahan yang sudah dibangun ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Namun kalau ternyata memang kenyataan tidak seindah impian, Anda tidak harus terus mempertahankan kenyataan itu. Perceraian sering menimbulkan tekanan batin bagi tiap pasangan tersebut. Anak-anak yang terlahir dari pernikahan mereka juga bisa merasakan sedih bila orangtua mereka bercerai. Kadang perceraian bisa terjadi hanya karena hal-hal kecil, contohnya hanya karena masalah odol saja seseorang bisa mengugat cerai atau karena masalah sepele bisa mengucapkan kata ‘cerai’. Sebaiknya, dalam berumah tangga harus bisa saling menghargai, diskusi, dan berbagi dengan pasangan kita. Jangan sampai asal ucap kata ‘cerai’ ketika kita sudah berjanji sampai maut memisahkan.
19 September 2012
Think Twice, Act Wisely! (Catherine Prana)
“mana calonmu?” “kapan mau nikah?” pertanyaan-pertanyaan demikian seringkali dilontarkan pada wanita berusia dewasa muda, sekitar 20-25 tahun.. Bagi masyarakat pada umumnya, pernikahan lama kelamaan seperti menjadi sebuah kewajiban yang harus dan mutlak bagi perempuan.. entah perempuan itu sebenarnya siap atau tidak, mau atau tidak..
Kalau membahas pernikahan itu sendiri, saya pribadi mempunyai pandangan tersendiri mengenai pernikahan.. Pernikahan itu membutuhkan kesiapan dalam berbagai hal.. Pertama, kesiapan mental untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru sebagai seorang istri.. Peran dan tanggung jawab ini mencakup arti yang luas.. Seorang perempuan tidak lagi bebas ketika telah mengucap janji pernikahan, sehidup semati dengan pasangannya… Ia telah dimiliki oleh orang lain dan harus tunduk pada suaminya.. Kedua, kesiapan materi dalam artian bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, karena pernikahan tidak hanya makan cinta saja kan? Hehe…
Memang hanya 2 macam kesiapan yang diungkapkan disini, tapi kedua hal itu sangat sulit dilakukan, tidak semudah yang dibayangkan… Setelah siap menikah pun, masih banyak hal-hal maupun tantangan-tantangan yang akan diperhadapkan pada seorang perempuan ketika ia telah menikah yaitu mempertahankan pernikahan itu sendiri.. Ada pepatah yang berbunyi ” lebih sulit mempertahankan daripada memulai suatu hubungan”.. Mungkin dalam masa pacaran, sepertinya everything runs well, even very well… Tapi setelah menikah, kok banyak hal-hal yang terjadi yang tidak sinkron dengan pada waktu masa pacaran dan akhirnya banyak yang memutuskan untuk bercerai…
Pada kelas psikologi perempuan tanggal 17 September, topik yang dibahas adalah mengenai pernikahan serta perceraian… Saya yakin seyakin-yakinnya tidak ada orang yang mau menikah untuk bercerai pada akhirnya… Untuk itulah masa pacaran sangat penting untuk mendapatkan informasi yang detail mengenai pasangan kita agar jangan sampai jatuh pada pilihan yang salah.. Saya pernah mendengar lelucon mengenai pernikahan… Ada seorang perempuan mengenakan cincin pernikahan di jari yang salah.. Temannya bertanya “kenapa kamu pakai cincin pernikahan itu di jari yang salah?” ia menjawab “biarin ajalah, orang saya juga menikah dengan orang yang salah” Memang terdengar konyol, hehehe,,, tetapi fakta menunjukkan banyak perempuan yang tidak merasa puas dalam pernikahannya, mereka menganggap diri mereka salah memilih pasangan…
Masalah yang seringggg sekali saya dengar adalah masalah kekerasan dalam rumah tangga.. Ibu Henny menjelaskan bagaimana untuk melihat cara seseorang mengelola emosinya adalah ketika ia sedang mengemudi dan perilaku yang ia tampilkan pada hewan peliharaan.. Memang saya akui itu ada benarnya.. Terkadang orang yang kita kenal sabar, mendadak menjadi brutal ketika sedang mengemudi…
Yang perlu kita ingat adalah lamanya masa pacaran tidak selalu menentukan keberhasilan pernikahan… Yang menentukan adalah kualitas pacaran itu sendiri.. Kalau di dalamnya terdapat interaksi yang mengakar sampai ke dalam, argumen-argumen yang ditujukan untuk lebih mengenal pasangan, itu akan lebih menghasilkan pernikahan yang harmonis dan berhasil daripada hubungan yang hanya berada di “kulit luar” saja..
Mencegah lebih baik daripada mengobati, bukan? Telitilah calon pasangan anda sebelum anda menyerahkan diri untuk diikat dalam suatu komitmen pernikahan agar tidak menyesal di kemudian hari… Think twice and act wisely ;)
19 September 2012
Getting married...(Ruth Kurnia Wulan)
Pernikahan merupakan tujuan akhir yang hendak dicapai dari sebuah hubungan pacaran...Keputusan untuk menikah bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan apalagi setiap orang menginginkan pernikahan yang hanya dilakukan sekali seumur hidup. Banyak sekali hal yang menjadi pertimbangan bagi setiap pasangan yang ingin menikah. "Apakah dia jodoh saya?", "Apakah dia pasangan yang tepat bagi saya?", "Apakah saya memang sudah siap untuk menikah dengan dia?", dan "Apakah kami sudah cukup saling mengenal?", pertanyaan-pertanyaan tersebut yang seringkali terlintas di pikiran kita ketika kita hendak memutuskan untuk melangkah ke dalam sebuah hubungan yang lebih serius.
Kehidupan berpacaran dan kehidupan berumah tangga seringkali terlihat sangat berbeda. Sikap pasangan kepada kita pun terkadang akan berbeda ketika sudah menikah. Mungkin sebelum memutuskan untuk menikah kita berpikir bahwa kita sangat cocok dengan pasangan kita dan memiliki banyak persamaan dengan pasangan tetapi setelah menikah justru malah kita baru menyadari banyak sekali perbedaan ketika sudah menjalani hidup berumah tangga. Ketika merasakan adanya perbedaan sikap tersebut maka seringkali banyak pasangan yang akhirnya memutuskan untuk bercerai meskipun mereka sudah memiliki anak dan sudah menikah selama bertahun-tahun. Situasi berpacaran yang seringkali hanya memberikan suatu pengalaman yang menyenangkan terkadang membuat setiap pasangan tidak akan mampu bertahan lama dalam pernikahan.
Masa berpacaran seharusnya dijadikan sebagai ajang perkenalan dengan pasangan kita. Pada masa pacaran jadilah diri anda sendiri dan jangan pernah menutupi keburukan yang anda miliki. Ketika anda dan pasangan anda tidak dapat berperilaku sebagai diri sendiri maka anda tidak akan pernah tahu apakah anda benar-benar pasangan yang cocok dan pasangan yang benar-benar saling memahami satu sama lain. Oleh karena itu, manfaatkanlah masa berpacaran dengan baik untuk mengenal kepribadian masing-masing dan belajar menemukan perbedaan satu sama lain agar anda dapat memutuskan apakah anda ingin melanjutkan hubungan anda dengan pasangan anda ke jenjang pernikahan atau anda harus mengakhiri hubungan tersebut....
“A great marriage is not when the 'perfect couple' comes together. It is when an imperfect couple learns to enjoy their differences.”
-Dave Meurer-
19 September 2012
Teman Hidup (Maulidhya Pramono)
Menikah merupakan impian dari sebagian besar manusia di muka bumi ini. Kadang seseorang memiliki target tersendiri untuk menentukan waktu yang tepat untuk menikah, namun tetap saja Tuhan yang menentukan jodoh seseorang. “Kapan nikah?”, dalam acara kumpul keluarga pertanyaan itu sering dilontarkan dan menjadi momok tersendiri bagi wanita yang telah memasuki usia yang matang untuk menikah. Pada awalnya mereka akan dengan santai menjawab “doakan saja” tapi jika bertanyaan itu terus berulang kan capek juga. Saya pernah mendengar, katanya kalau jadi perempuan jangan terlalu pemilih. Menurut saya perempuan harus dapat memilih pasangan hidup yang tepat dan sesuai, karena suami bukan saja menjadi pasangan hidup namun juga teman berbagi suka duka di sepanjang usia. Memilih pasangan itu tidak mudah, harus tau asal usulnya, kalau kata orang jangan mau membeli kucing dalam karung. Namun yaaa.... jangan terlalu kaku dalam memilih, ingat bahwa tidak ada manusia yang sempurna. You'll never find the right person, if you don't let go the wrong one.
Pernikahan yang langgeng dan sejahtera sampai akhir hidup menjadi doa yang selalu dipanjatkan oleh pasangan suami istri. Wanita dalam pernikahan memiliki peran yang kompleks, ia berperan menjadi istri, ibu, menantu dan juga anak. Peran tersebut kadang mengakibatkan adanya perselisihan pandangan yang terjadi sehingga mengakibatkan retaknya rumah tangga. Hampir setiap hari kita mendengar di infotaiment, kehidupan para selebritis yang kawin-cerai. Kehidupan pribadi mereka diumbar ke khayalak ramai sehingga menjadi konsumsi publik. Bisa dibayangkan, jika ada masalah keluarga yang kemudian diketahui oleh tetangga saja betapa malunya keluarga tersebut, apalagi menjadi keluarga selebriti yang masalahnya diangkat dan disaksikan oleh masyarakat ramai.
Dengan banyaknya kasus perceraian yang diakhiri dengan pertengkaran antara mantan suami dengan mantan istri mengakibatkan munculnya stigma masyarakat bahwa perceraian identing dengan pertengkaran. Saya ingat ada satu kasus perceraian selebritis yang disorot media karena mereka terlihat baik-baik saja saat menghadapi persidangan, bahkan ketika hujan turun saat mereka keluar dari ruang sidang mantan suami itu membuka jaketnya dan melindungi kepala mantan istrinya dari kehujanan. Media mempertanyakan kejadian tersebut, mengapa mereka terlihat masih tetap mesra padahal perpisahan mereka sedang ditentukan oleh hakim. Mantan pasangan suami istri itu hanya berkomentar yang kurang lebih mengatakan bahwa, mengapa harus mempertanyakan dan aneh akan hubungan mereka yang damai-damai saja, apakah semua yang bercerai itu harus bermusuhan. Kenapa kita harus aneh akan sebuah kedamaian, dan terbiasa dengan permusuhan. Saya percaya pernikahan yang langgeng adalah ketika pasangan suami istri dapat menghargai satu sama lain dan menghargai pernikahan itu sendiri.
18 September 2012
keputusan menikah dan keputusan bercerai (Jenny Chiuman)
Menikah.. Siapa sih yang tidak ingin menikah? Bagi sebagian perempuan, menikah akan membuat mereka bahagia. Mereka akan segera mempunyai anak, membesarkan anak dll, suatu mimpi indah bagi para perempuan untuk menikah. Namun sayangnya menikah tidak segampang yang kita pikirkan. Kita harus memilih calon suami dengan cermat agar tidak menyesal dikemudian hari :)
Banyak pasangan yang membatalkan pernikahan mereka di hari H dengan sejuta alasan. Belum siap menjadi suami/istri ataupun masih belum siap untuk meninggalkan dunia lajang mereka (masih ingin bermain-main dengan geng mereka).
Namun yang diperlukan untuk menuju pernikahan adalah komitmen dari keduanya.
untuk keputusan bercerai saya tetap kurang setuju bila terjadi perceraian. Banyak dampak negatif dalam bercerai, seperti misalnya pada anak, ia akan kehilangan figur ayah/ibu, dll.
perebutan anak juga menjadi trend dalam kasus perceraian. Anak yang tidak mengerti apa-apa akan menjadi binggung mengapa semua ini harus terjadi..
semoga tulisan diatas bisa memberikan inspirasi bagi yang membacanya :)
17 September 2012
Beauty is you ..(Jenny Chiuman)
Konon, orang bilang cantik itu relatif, namun menurut saya semua wanita itu cantik ..
Meski demikian, penampilan itu penting karena hal utama yang dilihat laki-laki adalah penampilan, apabila mereka merasa tertarik dengan penampilanmu, maka mereka akan memutuskan untuk mengenalmu lebih jauh. jadi jagalah penampilan :)
Bukan hanya penampilan, inner beauty juga sangat berpengaruh dalam diri seseorang. Inner beauty seorang wanita terpancar dari bagaimana ia membawa diri, bagaimana ia berperilaku dan bagaimana ia bertutur kata :)
Menurut beberapa laki-laki(teman-teman saya) mereka bukan sekedar mencari perempuan cantik untuk dijadikan pasangan hidup, namun mereka lebih memilih perempuan yang 'menarik' menurut mereka sendiri.
ada sebuah lagu untuk kamu yang merasa kurang cantik.. jangan berkecil hati karena semua perempuan adalah cantik :)
beautiful by Cherry Belle
copy from lyricsalls.blogspot.com
dont cry, dont be shy
Kamu cantik apa adanya
Sadari syukuri dirimu sempurna
Jangan dengarkan kata mereka
Dirimu indah pancarkan sinarmu wo oww
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
Don't cry, don't be shy
Kamu cantik apa adanya
Sadari syukuri dirimu sempurna
Jangan dengarkan kata mereka
Dirimu indah pancarkan sinarmu wo oww
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
Tahukah dirimu berbeda istimewa
Kau bisa membuat mereka jatuh cinta
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
You are beautiful, beautiful, beautiful
Kamu cantik cantik dari hatimu
16 September 2012
About Marriage (Dwiya Novi WIjayanti)
Pernikahan. Kata itu sangat menarik bagi saya, karena banyak yang dapat kita argumentasikan atau kita perdebatkan tentang pernikahan. Pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral. Terkadang banyak orang yang menganggap sebuah pernikahan adalah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sudah banyak di zaman sekarang anak-anak muda yang telah menikah. Banyak faktor yang membuat atau mendorong mereka untuk menikah. Misalnya, perempuan dewasa muda yang melihat teman-temannya sudah menikah maka ia tergugah atau termotivasi untuk segera menikah, bisa karena faktor hamil di luar nikah maka harus segera dilangsungkan sebuah pernikahan, karena faktor calon suami sudah mapan secara materi dan mental, faktor yang dikejar oleh umur, atau bisa jadi seseorang yang telah dijodohkan oleh orang tua.
Pernikahan bukan hal yang dapat dipermainkan, karena pernikahan itu berkaitan dengan janji kepada Tuhan. Maka sebelum memutuskan untuk menikah seseorang harus melihat bibit, bebet, dan bobot dari calon pasangan kita. Dalam hal itu bukan berarti kita terlihat ingin mencari yang sempurna, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah hal yang perlu diperhitungkan. Selain itu kita juga harus mengenal secara mendalam calon pasangan yang akan kita nikahi. Itu hal yang sangat penting. Melihat kepribadiannya, kehidupan sehari-harinya, hubungan dia dengan keluarganya, hubungan dengan lingkungan sosial, dan hubungan kepada Tuhan. Sudah pasti kita menginginkan orang yang akan kita nikahi adalah yang dapat membuat kita menjadi orang yang lebih baik.
Setelah menikah kita akan mengetahui sifat asli atau kepribadian yang sebenarnya dari pasangan kita. Saling menghargai, menjaga komunikasi, dan saling jujur adalah beberapa kunci dari kesuksesan sebuah pernikahan. Maka sebelum kita menikah kita harus benar-benar tahu sifat atau kepribadian pasangan kita. Lama kita berpacaran tidak dapat menjamin bahwa kita sudah mengenal pasangan kita dengan baik dan juga tidak menjamin sebuah pernikahan yang harmonis.
17 September 2012
Pernikahan dan perceraian (Dionisius Sylvester Ferdi Weros)
Pernikahan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Ketika dua orang manusia baik itu pria dengan wanita, pria dengan pria lainnya (gay), dan wanita dengan wanita lainnya (lesbian), sama-sama bersedia untuk membagi hampir seluruh kehidupannya bersama dengan orang lain yang sebelumnya tidak dia kenal sama sekali.
Hal tersebut tentu merupakan hal yang sangat sulit sekali karena seorang manusia akan hidup bersama-sama dengan seorang manusia lainnya untuk jangka waktu yang sangat lama sekali. Pernikahan sendiri merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk diceraikan apalagi kita hidup di Indonesia yang menganggap bahwa pernikahan adalah suatu proses yang sakral. Hal ini menyebabkan terjadi suatu proses yang disebut sebagai masa pacaran (courting). Masa pacaran adalah suatu masa yang ditandai dengan usaha dua manusia untuk mengenal lebih dekat satu dengan lainnya.
Proses pacaran terjadi karena kita tidak ingin menikah (atau tinggal serumah) begitu saja dengan orang asing. Ketika kita sudah mengenal dengan orang tersebut lebih dekat, pernikahan belum tentu terjadi. Banyak sekali pertimbangan dalam suatu proses pernikahan karena konsekuensi yang diterima oleh individu tersebut saat sudah menikah. Pada intinya, ketika seseorang sudah masuk ke dalam pernikahan, individu tersebut harus bersiap dengan segala konsekuensi pernikahan yang diharapkan seminimal mungkin karena individu sudah mengenal dekat pasangannya melalui masa pacaran.
Selanjutnya, perceraian suatu proses kehidupan penting lainnya dalam kehidupan manusia. Ketika dua manusia yang dipersatukan melalui pernikahan sudah berhenti merasakan perasaan yang sama ketika memutuskan untuk menikah pada dahulu kala. Perceraian juga bukan proses yang muda karena individu yang memutuskan untuk bercerai juga harus menghadapi berbagai konsekuensi.
Salah satu konsekuensi terbesar pada perceraian adalah status yang harus disandang oleh suami istri yaitu sebagai duda dan janda. Dua status yang sama-sama tidak mudah karena akan mendapatkan banyak sekali pandangan masyarakat (meskipun menurut saya masyarakat cenderung berpandangan lebih negatif terhadap para janda). Hal ini sendiri menjadi pertimbangan tersendiri banyak orang sehingga memutuskan untuk tetap mempertahankan pernikahan meskipun sehancur apa pun.
Saya sendiri memiliki pendapat bahwa perceraian tidak perlu dilakukan, namun dapat digunakan cara lain yaitu dengan tinggal terpisah dengan pasangan. Hal ini untuk mencegah pertengkaran antar pasangan dan hal ini sangat baik untuk istri-istri yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Namun, ketika perceraian tetap harus dilakukan, kedua mantan suami-istri harus sama-sama menyesuaikan diri dengan kehidupan sebelum pernikahan namun terdapat tambahan yaitu status baru sebagai duda dan janda dan pada kebanyakan kasus yaitu adanya anak-anak.
Hal ini membuat penulis mencapai suatu kesimpulan bahwa pernikahan dan perceraian adalah suatu hal yang bertolak belakang. Namun, keduanya memiliki konsekuensi yang sama-sama harus dipertimbangkan oleh manusia yang memutuskan untuk menjalaninya.
17 September 2012
daya tarik suatu misteri...(Dionisius Ferdi Weros)
Teman: "Eh cewe itu cakep banget loh, Fer!"
Saya: "Ah biasa aja lah kalo menurut gue!"
Tulisan di atas merupakan sedikit gambaran mengenai salah satu percakapan saya dengan teman dekat saya mengenai seorang wanita cantik yang sempat lewat di depan kami beberapa hari.
Daya tarik merupakan suatu misteri sejak dahulu kala. Salah satu pertanyaan terbesar dalam benak saya adalah apa yang membuat seseorang menarik. Kalau bagi saya seorang wanita dianggap menarik ketika tingginya kira-kira di atas 175 cm, yang artinya saya hanya tetarik terhadap wanita yang memiliki postur yang tinggi. Seorang teman saya di kegiatan UKM Radio UNTAR menganggap bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang "imut" dan lucu.
Hal ini membuat saya menyadari bahwa manusia memiliki standar kecantikan yang berbeda-beda. Meskipun standar kecantikan yang berbeda-beda, terdapat satu persamaan dalam standar kecantikan setiap manusia di dunia ini yaitu kita mengharapkan pasangan yang tidak "aneh-aneh" wajahnya. Tidak "aneh-aneh" wajahnya maksudnya adalah kita mengharapkan wajah pasangan kita senormal pria atau wanita lain di dunia ini. Tentu kita tidak mengharapkan tidak ada cacat apa pun pada wajah pasangan kita.
Kenyataan ini menyebabkan banyak wanita (dan beberapa pria) untuk menggunakan produk make-up dan melakukan prosedur operasi plastik. Meskipun banyak orang tidak setuju dengan prosedur kedua, saya menganggap bahwa operasi plastik merupakan berhak dilakukan semua manusia. Untuk merasa percaya diri adalah hak setiap manusia juga. Akan tetapi, operasi plastik yang berlebihan merupakan hal yang tidak dianjurkan sama sekali. Operasi plastik harus direncanakan dengan matang.
Namun, bagi saya pada akhirnya, kita tetap mengharapkan pasangan kita adalah seorang pria atau wanita yang kepribadiannya membuat kita nyaman. Ketertarikan fisik menurut pandangan saya adalah jalan pembuka awal sebelum kita mengenal pria atau wanita tersebut lebih dalam.
17 September 2012
Jumat, 21 September 2012
Tips Praktis untuk Membina Rapport dan Empati (Theresia Syanli)
Apa yang ada dibenak kita saat mendengar kata "RAPPORT" ? Kebanyakan orang langsung teringat masa sekolah dahulu, yaitu Buku Raport. Yang dimaksud RAPPORT disini bukanlah Buku Raport sewaktu kita sekolah, tetapi RAPPORT disini yaitu membangun sebuah hubungan dan memulai komunikasi dengan efektif. Dengan membangun RAPPORT yang baik akan tercipta suatu kepercayaan dan pengertian. Berikut tips praktis untuk membina rapport serta empati :)
1. Rapport harus diciptakan dan dibangun secara berangsur-angsur.
2. Rapport penting untuk membangun dan membangkitkan empati terhadap narasumber dan selama proses wawancara buatlah agar narasumber percaya dan mau menceritakan mengenai dirinya secara keseluruhan.
3. Terlebih dahulu sebelum memulai sesi wawancara, sebaiknya matikan telepon genggam dan usahakan tidak menggangu berjalannya proses wawancara agar wawancara itu sendiri tetap terfokus dan berjalan dengan lancar.
4. Ketika wawancara juga sebaiknya jangan bersikap seperti sedang melakukan intergosasi dan jangan mengintimidasi klien dengan bersikap seenaknya.
5. Pertama-tama sebagai seorang interviewer harus mampu untuk menciptakan hubungan yang aman dan nyaman serta lingkungan sekitar lokasi wawancara harus aman dan nyaman. Lingkungan harus membuat narasumber merasa leluasa untuk membuka mengenai dirinya.
6. Persilahkan narasumber untuk duduk dan perhatikan bahwa kursi interviewer dan narasumber sejajar agar tidak menimbulkan kesenjangan. Usahakan agar tidak memasang raut wajah yang datar, menjudge, serta menjaga sikap ketika narasumber menceritakan tentang dirinya yang mungkin bukan merupakan suatu hal yang wajar, seperti misalnya ketika narasumber menceritakan bahwa dirinya pernah melakukan aborsi, usahakan untuk bersikap biasa dan jangan menilai narasumber secara sembarangan, karena hal itu dilakukan tentu dengan penyebab dan ada alasannya.
7. Perhatikan juga agar tidak sembarangan mengucapkan suatu lelucon tertentu yang mungkin dapat melukai hatinya, jangan sembarangan berbicara tanpa memerhatikan kondisi dan situasi narasumber.
8. Usahakan untuk peduli dan tertarik supaya narasumber merasa nyaman dengan sesi wawancara, akan tetapi lebih baik jika bersikap netral terhadap topik tertentu agar narasumber tidak fokus hanya terhadap topik tertentu sehingga sulit untuk menganti topik pembicaraan yang lainnya. Juga sebagai interviewer jangan bersikap ‘sok tahu’ lebih baik mengatakan, “I’ve never been in that position, so I just can only imagine how you felt.” supaya narasumber tidak merasa terintimidasi dan mengerti bahwa kita memahami perasaan atau situasinya.
9. Sebagai interviewer, kita harus memerhatikan bahasa yang dipergunakan oleh narasumber dan usahakan untuk mengikuti gaya berbahasa yang digunakan narasumber, mengatur cara berbicara. Perhatikan tingkat pendidikan narasumber. Juga jangan terlalu banyak menggunakan istilah Psikologi, akan sangat tidak nyaman jika narasumber merasa diremehkan karena interviewer berbicara mengenai istilah Psikologi dan ia tidak memahaminya.
10. Sebagai interviewer harus mampu merefleksi diri mengenai masalah ataupun perilaku yang dirasakan oleh narasumber. Akurasikan persepsi dengan afeksi narasumber. Memiliki pemahaman tentang ‘mengapa’ hal tertentu dapat terjadi kepada narasumber. Mampu menerima, mengerti, mengkonfirmasi “dunia”-nya. Tanpa memiliki judge tertentu tentang diri narasumber tersebut.
11. Interviewer harus mampu untuk membiarkan narasumber bercerita dan harus membatasi agar interviewer nya tidak terlalu banyak bicara ataupun memotong pembicaraan, misalnya terlalu banyak mengomentari ketika narasumber berbicara. Komentar untuk memperjelas dipersilahkan namun jangan menghina narasumber. Terkadang interviewer dan narasumber memerlukan jeda untuk berpikir dan ketika jeda tersebut terjadi, usahakan untuk tetap menunjukkan sikap empati secara non verbal, misalnya melakukan kontak mata.
12. Tatap mata dengan klien itu diperlukan dan jangan mengalihkan pandangan ketika wawancara (visual). Atur serta perhatikan nada dan kecepatan bicara (tone & speech rate) untuk mengindikasikan seberapa besar ketertarikan dan empati terhadap cerita klien.
14. Perhatikan tujuan pembicaraan yang ditetapkan sejak awal. Agar fokus pada tujuan awal. Pernyataan yang harus diberi perhatian khusus harus diingat dan usahakan untuk mengabaikan pernyataan yang tidak begitu penting (verbal tracking). Mengenai body language saat wawancara usahakan untuk attentive dan aunthentic serta gunakan bahasa tubuh yang jujur.
Empati dan Rapport itu PENTING !
16 September 2012
Langganan:
Postingan (Atom)