Selasa, 23 September 2014

Cohabitation (Lisa Febriani)

     Cohabitation atau yang disebut juga sebagai kohabitasi adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah menetapkan untuk tinggal bersama namun tanpa status pernikahan yang syah secara hukum dan agama. Pada beberapa negara, kohabitasi dianggap sebagai perubahan budaya, bukanlah sebagai perubahan moral. Namun pada masyarakat tertentu menganggap bahwa kohabitasi merupakan suatu tindakan yang dilarang, karena dengan adanya perempuan dan laki-laki yang tinggal satu atap tanpa surat izin apapun, dan bebas melakukan apapun layaknya pasangan suami istri merupakan tindakan yang melanggar norma asusila dan melanggar norma agama.


     Setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia akan selalu menimbulkan pro dan kontra tentunya, begitupun juga dengan kohabitasi. Di Indonesia, menurut sebagian masyarakatnya yang melegalkan adanya kohabitasi, mereka menganggap dengan kohabitasi mereka mendapatkan beberapa keuntungan, yaitu:
1. Sebelumnya menggunakan dua kamar apartemen, namun setelah tinggal berkohabitasi, laki-laki dan perempuan hanya menggunakan satu kamar saja, dan hal ini juga menghemat pengeluaran untuk menyewa kamar apartemen.
2. Jika seharusnya ingin melakukan pernikahan yang syah baik secara hukum dan agama, dan harus mengurus beberapa surat-surat, dari RT, RW, Kelurahan, hingga tibalah di KUA terdekat, bertemu dengan bidang administrasinya yang tentunya akan dikenakan biaya pada setiap prosesnya, dan jika ingin memanggil penghulu ke rumah, maka biayanya pun beda lagi. Hal ini juga sering menjadi komplein sebagian masyarakat kecil, yang menganggap bahwa biaya nikah itu sangatlah mahal. Dengan berkohabitasi hal ini tidaklah perlu dipusingkan, cukup tinggal satu atap saja semua sudah selesai.























     Jika ada kelebihan, tentulah ada kekuranganya, kekurangan dari kohabitasi adalah sebagai berikut:
1. Ketika seorang perempuan dan laki-laki sudah tinggal bersama, dan melakukan hal yang sama layaknya sepasang suami istri, hal ini tidak dibenarkan oleh agama, dan tentunya melanggar norma-norma sosial, serta pandangan yang negatif dari masyarakat tentunya kepada pasangan kohabitasi.
2. Ketika pasangan kohabitasi telah melahirkan seorang anak, bagaimana nasib selanjutnya dari anak ini yang tidak mempunyai identitas dari negara? Jika kedua orang tuanya saja tidak mengurus surat di negara, maka dari itu sang anak pun tidak  mempunyai surat-surat identitas, bagaimana cara anak tersebut masuk ke lembaga institusi pendidikan? 


3. Ketika salah satu pasangan sudah bosan? Apa yang dilakukan? Putus begitu saja? Hal ini juga akan merugikan pihak yang ditinggalkan begitu saja, karena tidak adanya komitmen yang kuat, tidak ada surat-surat, maka untuk meninggalkan begitu saja merupakan hal yang mudah. Tinggal bersama mudah, putus bersama-sama juga mudah tentunya dilakukan oleh salah satu pasangan.

     Jadi oleh sebab itu, jalin hubungan dengan baik, berkomitmen dengan pasangan, menikah secara syah secara negara dan agama, hal itu akan membuat semuanya jauh lebih indah serta tidak akan merugikan keturunan anak cucu insan manusia..

16 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar