Jumat, 17 Agustus 2012

Perangi Pemerkosaan di Indonesia (Nadia Emanuella Gideon)

7 Juni 2012


     Dalam beberapa tahun ini, Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal, maupun yang individual. Biasanya korban kekerasan tersebut ialah perempuan dan anak kecil. Hal ini didukung dengan pendapat bahwa posisi perempuan yang lemah membuat kemampuan mereka untuk melindungi diri juga lemah. Dikatakan bahwa perempuan yang berada di dalam rumah pun dapat menjadi korban kekerasan dari suaminya, perempuan di tempat kerja juga dapat memperoleh pelecehan seksual baik dari atasan maupun rekan sekerjanya. Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (dalam Faturochman, 2002) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
     Berdasarkan catatan FBI (dalam Faturochman, 2002) terdapat sedikitnya 84.000 perempuan yang melaporkan menjadi korban perkosaan dalam satu tahun. Sementara itu di Indonesia, kasus perkosaan menempati peringkat nomor 2 setelah pembunuhan. Data dari Kalyanamitra menunjukkan bahwa setiap 5 jam, ditemui 1 kasus perkosaan. Sementara itu, Yayasan Kepedulian Untuk Konsumen Anak (KAKAK) selama tahun 2000 mencatat 90 kasus
seksual yang dialami oleh anak Surakarta dan kasus perkosaan yang ada mencapai 18 orang. Hal ini menunjukkan betapa banyaknya perempuan yang menjadi korban perkosaan. Data yang tersaji pada beberapa lembaga tersebut merupakan data dari hasil penelitian maupun dari korban yang melaporkan kejadian yang mereka alami. Asumsi yang muncul dari data yang tersaji selama ini adalah bahwa data yang ada merupakan fenomena gunung es. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa data yang muncul ke permukaan hanyalah sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat. Berdasarkan pernyataan tersebut maka sebenarnya kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat saja merupakan kelipatan dari data yang ada (Faturochman,  2002).

Pengertian Pemerkosaan
     Dalam bidang hukum, perkosaan dibagi dalam 2 kategori. Pemerkosaan secara paksa dan secara hukum. Perkosaan secara paksa adalah hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukanya (secara terpaksa). Jadi, dalam pemerkosaan, terdapat paksaan, baik secara fisik maupun psikologis. Sedangkan perkosaan secara hukum adalah hubungan seksual dengan seorang yang berusia di bawah umur dewasa. Umur dewasa yang ditentukan oleh hukum-hukum negara dan biasanya berusia 18 tahun. Di Amerika, tuntutan perkosaan secara hukum dapat diajukan meskipun orang yang terlibat mengatakan bahwa ia melakukan hubungan tersebut atas kesadaran dan kehendaknya sendiri. Dengan demikian perkosaan secara hukum tidak melibatkan pemaksaan, hanya hubungan seks dengan seseorang di bawah umur dewasa yang dilaporkan ke pihak kepolisian (Kring, Davidson, Neale, & Johnson, 2007).
     Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin “rapere” yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Faturochman, 2002). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa, “barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Pada pasal ini perkosaan didefinisikan bila dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori pencabulan. Hal ini akan membawa dampak yang berbeda pada tuntutan hukuman bagi pelaku. Berdasarkan beberapa definisi mengenai perkosaan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perkosaan adalah tindakan pemaksaan hubungan seksual dari laki-laki kepada perempuan. Pemaksaan hubungan seksual tersebut dapat berupa ancaman secara fisik maupun secara psikologis. Hubungan seksual antara pelaku dan korban tidak hanya berupa penetrasi vaginal, akan tetapi meliputi pemaksaan hubungan secara anal dan oral (Faturochman, 2002).
     Keyakinan yang diterima luas adalah semua perempuan yang diperkosa berusia muda dan berpenampilan menarik. Ini merupakan mitos. Meskipun banyak korban yang sesuai dengan gambaran di atas, banyak korban lain yang tidak demikian. Usia dan penampulan fisik bukan halangan bagi beberapa pemerkosa. Mereka dapat memilih anak berusia satu tahun atau perempuan berusia 80-an. Dalam banyak kasus, perkosaan dilakukan oleh orang yang sudah sangat dikenal korban, misalnya teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru, pemuka agama, atasan, dan sebagainya. Dalam banyak kasus lainnya, perkosaan dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal dan semula nampak sebagai orang baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban ke suatu tempat. Banyak faktor yang melatarbelakangi dan berpengaruh terhadap seseorang hingga melakukan tindak kejahatan, bahkan mengulanginya sampai beberapa kali (Kring et al, 2007).

Etiologi Perkosaan
     Pertama, pemerkosaan dianggap sebagai “senjata perang.” Wanita, anak-anak, hingga orang tua menjadi sasaran oleh tentara militer dalam melumpuhkan perlawanan musuh. Dengan meniduri istri dan anak-anak dari para prajurit musuh, dapat menurunkan semangat juang dan harga diri dari prajurit musuh. Kedua, pemerkosaan sebagai  “hukuman.” Pemerkosaan juga digunakan di beberapa negara sebagai “hukuman”, misalnya di Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, dan banyak negara yang lain. Seorang perempuan bisa dijatuhkan hukuman pemerkosaan masal oleh “pengadilan suku” di desanya. Ketiga, teori biologis. Dalam teori Freud, membagi kepribadian manusia menjadi tiga bagian, id, ego, dan super ego. Id merupakan berkumpulnya dorongan-dorongan atau hasrat-hasrat yang ingin di penuhi salah satunya adalah dorongan seksual. Pemerkosaan terjadi dinilai karena dorongan id yang sangat kuat dan ketidakadekuatan ego dalam menyeimbangkanya. Keempat, adanya pengaruh alkohol dan penyalahgunaan zat. Salah satu yang bisa mendorong seseorang melakukan pemerkosaan adalah pengaruh alkohol dan pengaruh dari obat-obatan. Penyebab pemerkosaan ialah adanya penyakit atau keracunan (alkohol) atau kelainan di otak, kesalahan pada korban, dominasi laki-laki di bidang sosial, ekonomi, politik, dan adanya perbedaan kekuasaan dalam masyarakat (Kring et al, 2007).

Pelaku Pemerkosaan
     Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status (Faturochman, 2002). Ciri-ciri pelaku pemerkosaan yakni: (a) sebagian besar pelaku merupakan kenalan korban. Kebanyakan pelaku pemerkosaan adalah kerabat atau kenalan korban. Sedikit jumlah dimana seorang memperkosa orang yang tidak dia kenal atau baru dia temui; (b) adanya distorsi keyakinan terhadap perempuan; (c) adanya masalah dalam interaksi sosial; (d) memiliki harga diri yang rendah; (e) kurang memiliki empati; (f) diperkuat oleh perasaan kesepian, tidak adekuat dan ditolak; (g) adanya masalah disfungsi seksual, (h) muda, singel, dan berusia sekitar 15 sampai 30 tahun, (i) memiliki kepribadian yang antisosial, (j) memiliki tingkat agresivitas dan impulsivitas yang tinggi, dan (k) memiliki pengalaman negatif dalam hubungan interpersonal atau kekerasan seksual. Bila pelaku pemerkosa ialah perempuan, maka mayoritas menggunakan kontak psikologikal atau penekanan kontak, seperti bujukan atau manipulasi emosional daripada paksaan fisik yang dilakukan pemerkosa laki-laki. Ada tiga tipe pemerkosa, yaitu power rapist, yang dimotivasi oleh dominasi dan kontrol, anger rapist, yang menggunakan kemarahan dengan cara langsung, dan sadistic rapist, yang dimotivasi oleh fantasi seksual dan agresi (Kring et al, 2007).

Akibat Pemerkosaan Secara Umum
     Akibat pemerkosaan terhadap korban ialah terjadinya beberapa hal yakni adanya trauma, merasa takut dan menarikan diri dari lingkungan sosial, adanya ketakutan dan kecemasan secara intensif, merasa malu, tegang, dan menyalahkan diri sendiri, adanya sikap dan persepsi negatif soal seks. Dampak pada laki-laki sebagai korban perkosaan ialah sama dengan dampak pada perempuan. Namun bila laki-laki diperkosa akan lebih memalukan dan menyakitkan. Biasanya laki-laki yang diperkosa tidak menunjukkan reaksi negatif walaupun ada beberapa yang bereaksi negatif. Laki-laki yang diperkosa oleh perempuan sering kali enggan untuk mengartikan mereka sebagai korban (Kring et al, 2007).
Dampak Sosial
     Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual. Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacam-macam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban (Faturochman, 2002).
     Situasi dalam masyarakat seringkali dapat memperburuk trauma yang dialami oleh korban. Media massa juga memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut. Selama ini, para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah (Abar & Subardjono, 1998). Ada stigma di dalam masyarakat yang memandang bahwa perempuan korban perkosaan adalah perempuan yang hina. Ada pula pandangan yang mengatakan bahwa
dalam sebuah kasus perkosaan, yang salah adalah pihak perempuan. Perempuan korban perkosaan seringkali dipojokkan dengan pandangan masyarakat ataupun mitos-mitos yang salah mengenai perkosaan. Pandangan yang salah tersebut membuat masyarakat memberi “label” bahwa perempuan korban perkosaan sengaja “menggoda” dan “menantang” laki-laki dengan memakai pakaian mini, rok ketat, berdandan menor ataupun berbusana seksi, bahkan sengaja mengundang nafsu birahi laki-laki pemerkosa. Hal seperti ini akan membuat korban semakin takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Korban akan merasa bahwa dirinya telah merusak nama baik keluarga, sehingga ia cenderung akan melakukan self-blaming yang justru akan semakin memperburuk keadaannya. Seringkali rasa bersalah ini juga membuat korban enggan untuk menceritakan pengalamannya kepada orang-orang di sekitarnya karena takut menerima “vonis” dari lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Epictus yang mengatakan bahwa sebenarnya seseorang akan terganggu oleh cara dia melihat sesuatu hal. Apabila seseorang memandang suatu hal sebagai ancaman maka ia akan cenderung mengalami gangguan akibat penilaiannya tersebut. Harapan dan pikiran negatif akan mendorong seseorang untuk menjadi depresi (Faturochman, 2002).

Dampak Psikologis
     Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. Linda E. Ledray (dalam Faturochman, 2002) melakukan penelitian mengenai gambaran penderitaan yang dialami oleh perempuan korban perkosaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan mengambil data perempuan korban perkosaan di Amerika, yang diteliti 2-3 jam setelah perkosaan. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa 96% mengalami pusing; 68% mengalami kekejangan otot yang hebat. Sementara pada periode post-rape yang dialami adalah 96% kecemasan; 96% rasa lelah secara psikologis; 88% kegelisahan tak henti; 88% terancam dan 80% merasa diteror oleh keadaan. Penelitian yang dilakukan oleh majalah MS Magazine (dalam Warshaw, 1994) mengatakan bahwa 30% dari perempuan yang diindetifikasi mengalami perkosaan bermaksud untuk bunuh diri, 31% mencari psikoterapi, 22% mengambil kursus bela diri, dan 82% mengatakan bahwa pengalaman tersebut telah mengubah mereka secara permanen, dalam arti tidak dapat dilupakan. Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang symptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban (Faturochman, 2002).
     Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian. Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik korban, seperti misalnya ada gangguan pada organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik.
Dari segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma. Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Faturochman, 2002) hal ini terjadi karena manusia memiliki insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat. Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks (Faturochman, 2002).
     Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Kring, et.al, 2007). Tanda-tanda tersebut adalah: (1) sedih, suasana hati depres; (2) kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan bertambahnya berat badan; (3) kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan untuk tidur terus-menerus; (4) perubahan tingkat aktivitas; (5) hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan; (6) kehilangan energi dan merasa sangat lelah; (7) konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah; (8) sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu; (9) sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994) sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal maupun pelaku adalah orang asing. Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda-beda. Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang dialaminya. Masyarakat memiliki kepercayaan bahwa perkosaan oleh pasangan ataupun teman kencan biasanya tidak melibatkan kekerasan secara nyata seperti adanya pemukulan atau penggunaan senjata dan ancaman. Berdasarkan pandangan tersebut maka mereka menganggap bahwa trauma yang dialami oleh korban tidak seberat trauma yang dialami oleh korban perkosaan oleh orang asing (Warshaw, 1994). Akan tetapi pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikan dari pandangan tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Katz dan Burt (dalam Warshaw, 1994) ditemukan bahwa korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal oleh korban, mengalami proses penyembuhan yang lebih sedikit dibandingkan korban perkosaan dengan pelaku yang tidak dikenal korban. Penelitian ini didasarkan dengan melihat kondisi korban setelah jangka waktu tiga tahun dari peristiwa perkosaan yang dialami oleh korban. Menurut Parrot (dalam Warshaw, 1994) yang seorang pakar tentang date rape, hal tersebut dapat diakibatkan karena korban yang mengalami perkosaan oleh orang yang dikenal biasanya menyimpan kenyataan mengenai peristiwa yang mereka alami. Hal ini berbeda dengan korban dengan pelaku yang tidak begitu dikenal. Mereka cenderung dengan segera mencari pertolongan, konseling, ataupun kelompok dukungan lainnya. Dengan demikian maka korban dengan pelaku yang dikenal akan menyimpan dampak dari serangan yang dialaminya dalam jangka waktu yang lebih lama. Korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal, memiliki kemungkinan yang besar akan mengalami perkosaan secara berulang dan dalam jangka waktu yang panjang (Agaid, 2002). Pelaku sebagai orang yang dikenal bahkan orang yang dekat dengan korban sudah mengetahui dengan baik situasi untuk melakukan perkosaan. Pelaku telah merancang waktu untuk melakukan niatnya dengan baik sehingga ia yakin bahwa perbuatannya tersebut tidak akan diketahui oleh orang lain. Korban yang memiliki relasi kuasa di bawah pelaku tidak berani mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain termasuk keluarganya karena adanya berbagai alasan seperti: adanya ancaman dari pelaku, alasan menjaga kehormatan dan pemberian pengertian dari pelaku bahwa perkosaan tersebut adalah bukti kasih sayang pelaku kepada korban. Berdasarkan hal tersebut maka pelaku lebih leluasa untuk mengulang perbuatannya. Perkosaan seperti ini membuat posisi korban serba salah karena ia harus menanggung beban ganda, yaitu menjadi korban dari perkosaan yang dapat berulang setiap saat dan harus menyimpan rahasia tersebut dari orang lain. Kadangkala ketakutan yang dialami oleh korban membuat ia tidak berdaya dan lemah. Korban perkosaan mungkin akan mengalami ketakutan berada dalam situasi yang ramai atau berada sendirian. Korban dapat merasa ketakutan pada saat ia hanya berdua dengan orang lain. Posisi ini membuat korban tidak memiliki kepercayaan kepada orang lain, bahkan orang-orang yang selama ini dekat dengannya. Korban dapat pula menjadi paranoid terhadap alasan dari orang-orang yang tidak dikenalnya. Pemicu yang berhubungan dengan perkosaan seperti lagu yang didengar pada saat kejadian, bau minuman yang diminum oleh pelaku pada saat kejadian, bau parfum pelaku, ataupun melihat seseorang yang mirip dengan pelaku akan membuat korban merasa cemas dan takut (Warshaw, 1994).

Penanganan
     Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik teman, orangtua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Diharapkan dengan adanya dukungan ini maka korban akan mampu berdaya dan menjalani kehidupannya seperti sedia kala. Pada kasus-kasus perkosaan yang didampingi oleh Rifka Annisa Women’s Crisis Center, beberapa korban tidak dapat ataupun tidak mau menghubungi keluarganya dengan berbagai pertimbangan dan alasan. Korban merasa malu dan bersalah karena merasa bahwa dirinya tidak dapat menjaga nama baik keluarga. Selain itu mereka juga merasa takut jika keluarga menjadi marah dan tidak mau menerima keadaan mereka. Korban yang tidak didampingi oleh keluarga mengalami kecemasan yang tinggi, merasa lemah, sering pingsan, bahkan mengalami PTSD. PTSD ini jarang terjadi pada korban yang mendapat dukungan dan pendampingan dari keluarga. Korban yang mendapat dukungan dari keluarga pada umumnya hanya mengalami stres paska perkosaan jangka pendek dan tidak mengalami PTSD. Korban terlihat lebih cepat pulih dengan adanya dukungan dari keluarga. Bahkan ada seorang anak yang pada saat kejadian dia sangat shock akan tetapi dengan pengertian dari keluarga serta dukungan yang diberikan ia mampu mengatasi perasaan tersebut dan mau melanjutkan kegiatannya seperti biasa. Salah satu korban dititipkan di rumah neneknya di luar Jawa karena pelaku perkosaan tersebut adalah ayah tirinya. Masing- masing keluarga memiliki cara sendiri di dalam memberi dukungan terhadap anggota keluarga mereka yang menjadi korban perkosaan.  
     Program terapi untuk para pemerkosa lebih banyak ditujukan untuk mengubah kognitif dari para pelau pemerkosaan. Komponen program tersebut antara lain teknik-teknik kongnitif yang bertujuan meluruskan distorsi keyakinan dan mengubah sikap yang tidak benar terhadap perempuan (seperti keyakinan pada dasarnya ingin diperkosa). Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan empati, manajemen kemarahan, meningkatkan harga diri dan upaya pengontrolan penggunaan alkohol dan zat. Sedangkan terapi untuk korban pemerkosaan yaitu pemberian konseling, mendorong agar korban tidak menarik diri dari pergaulan (menutup diri), dan intervensi kongnitif untuk mengurangi kecemasan (Kring et al, 2007).

Kesimpulan
     Perkosaan secara paksa adalah hubungan seksual dengan orang yang tidak bersedia melakukanya (secara terpaksa). Dalam pemerkosaan, terdapat paksaan, baik secara fisik maupun psikologis. Pelaku perkosaan pun tidak mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan, demikian pula dengan korban. Sedangkan dampaknya kepada korban ialah secara fisik dan psikologis yang harus dialami seumur hidup bila tidak ditangani oleh pihak yang berpengalaman. Secara psikologi dampaknya ialah trauma, merasa takut dan menarikan diri dari lingkungan sosial, adanya ketakutan dan kecemasan secara intensif, merasa malu, tegang, dan menyalahkan diri sendiri, adanya sikap dan persepsi negatif soal seks.
Saran
     Pemerkosaan merupakan perilaku yang harus kira perangi karena melihat bahwa dampaknya terhadap korban tersebut. Dampak yang dialami oleh korban adalah dari fisik dan psikologis sehingga sangat menghancurkan korban sebagai seorang manusia. Dengan melihat dampak-dampak yang dialami korban, diharapkan para pembaca lebih memahami dan mengerti bagaimana korban-korban pemerkosaan menjalani hidupnya kembali. Dan juga, melihat para korban tidak dari sisi negatif namun terus memberikan dukungan positif sehingga para korban dapat bangkit kembali. Diharapkan pula bagi para pelaku pemerkosa agar menghentikan tindakan pemerkosaan tersebut dan menjalani hidup dengan lebih menghargai orang lain, khususnya wanita yang lebih sering menjadi korban pemerkosaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ekotama, Pudjiarto, dan G. Widiartana. 2001. Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan          Perspektif Victimologi Kriminologi dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Faturochman, E. S. (2002). Dampak sosial psikologis perkosaan pdf. Buletin Psikologi, 1, 9-23.   Diambil 4 Juni 2012, dari http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNALDampakSosial    PsikologisPerkosaan.pdf.
Harkrisnowo, H. (2000). Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan            Indonesia. Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.           Http://psi.ut.ac.id/Jurnal/102harkristuti.htm
Haryanto. (1997). Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita.           Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.
Idrus, N. I. (1999). Marital Rape (Kekerasan Seksual dalam Perkawinan). Yogyakarta:     Universitas Gadjah Mada.
Kring, A. M., Davidson, G. C., Neale, J. M., & Johnson, S. L. (2007). Abnormal     psychology      (10th ed.). New York: John Wiley& Sons.
Soerodibroto, S. (1994). KUHP dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. Jakarta: PT Raja            Grafindo Persada.
Warshaw, R. (1994). I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and           Communication, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar