Minggu, 26 Agustus 2012

First Meeting on Women Psychology Class (Sylvia Kristiani)



Sebelum memulai kelas Psikologi Perempuan, saya sempat bertanya-tanya mengapa ada pelajaran Psikologi Perempuan, tetapi tidak ada pelajaran psikologi laki-laki. Kemudian hal tersebut saya tanyakan pada salah seorang senior dan ia mengatakan mengapa tidak ada psikologi laki-laki karena psikologi sendiri adalah laki-laki. Pada saat itu saya tidak mengerti apa yang dibicarakannya. Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut karena keterbatasan waktu dan saat itu jam sudah menunjukkan pukul satu siang yang berarti saya harus memulai kelas Psikologi Perempuan. 
Pada awal kuliah, Ibu Henny, dosen mata kuliah Psikologi Perempuan, memberikan penjelasan kepada kami yang mengikuti mata kuliah tersebut mengenai mengapa ada psikologi perempuan tetapi tidak ada psikologi laki-laki. Beliau menjelaskan bahwa pada dasarnya psikologi itu laki-laki. Penelitian-penelitian psikologi dilakukan pada laki-laki, khususnya laki-laki kulit putih dan hasilnya diterapkan pada semua orang, termasuk pada perempuan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian terhadap perempuan. Pada saat itu, terjawablah pertanyaan saya mengapa ada psikologi perempuan, tetapi tidak ada psikologi laki-laki.
Selama kelas berlangsung, Ibu Henny banyak memberikan contoh-contoh mengenai pandangan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan. Setelah selesai kelas tersebut, terutama saat membuat artikel ini, saya kembali bertanya-tanya mengapa masyarakat memiliki pandangan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan? Bagaimana awal mulanya sehingga masyarakat dapat berpikir demikian? Mengapa sejak zaman dahulu perempuan dipandang sebagai makhluk yang memiliki kedudukan yang lebih  rendah dibandingkan laki-laki? Di kerajaan-kerajaan misalnya, seorang pewaris kerajaan haruslah anak laki-laki. Selain itu, pada suatu budaya atau suku tertentu, garis keturunan akan dianggap putus apabila tidak ada keturunan laki-laki. Sempat saya berpikir apakah karena manusia pertama yang diciptakan adalah laki-laki sehingga timbul pandangan-pandangan seperti itu.
Bagi saya, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut masih perlu dicari dan diketahui. Mungkin suatu saat saya dapat menemukan jawabannya. Tetapi, apapun jawaban atau alasannya, saya tetap bersyukur karena pada akhir-akhir ini mulai muncul usaha-usaha untuk menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan dan kesetaraan tersebut mulai terlihat pada kehidupan sehari-hari di masyarakat, mulai dari hak untuk bekerja, misalnya supir bus Transjakarta dan kondektur bis dengan jenis kelamin perempuan, perempuan yang menjadi pengusaha; hak untuk berpendidikan, misalnya adanya perempuan yang memiliki gelar pendidikan yang cukup tinggi bahkan sampai sekolah di luar negeri; sampai hak untuk berpolitik, salah satunya adalah perempuan yang pernah menjadi presiden Indonesia.
Namun, dengan adanya keadaan tersebut bukan berarti kita sebagai generasi muda bersikap tenang-tenang saja dan duduk berpangku tangan. Kita harus tetap memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut dapat dimulai dari lingkungan terdekat kita, bahkan dari diri kita sendiri, yaitu dengan menghargai perempuan.

25 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar