Bagi perkembangan teknologi dunia
yang sudah semakin canggih, rasanya tidak heran lagi jika televisi
menjadi media hiburan yang akrab menemani hidup manusia, terutama bagi
yang tinggal dikota. Selain biaya menonton televisi yang relatif murah
(hanya modal beli televisi dan bayar tagihan listrik), berbagai macam
hiburan dan informasi ditayangkan di televisi. Apalagi bagi anda yang
hidup di Jakarta, jika tidak terlalu penting rasanya malas untuk keluar
rumah karena kemacetan yang menyusahkan (bahkan ada anekdot bahwa hidup
di Jakarta itu tua di jalan). Tidak heran, televisi menjadi media murah
meriah bagi setiap individu.
Hal yang sama juga terjadi pada
anak-anak. Sulitnya perekonomian di era modern ini membuat ibu pun juga
harus ikut bekerja membantu sang suami mencari nafkah. Imbasnya, anak
dititipkan kepada kerabat atau baby sitter. Perhatian dari orang tua tentu akan berbeda dengan perhatian dari kerabat dan baby sitter,
sehingga bagi mereka yang penting adalah sang anak diam dan tidak
berulah. Cara yang paling ampuh untuk membuat anak diam dan tidak
berulah adalah memberikan mereka tontonan televisi. Tidak sulit untuk
membuat sang anak menonton televisi. Cukup buka televisi, cari channel yang
dapat menarik perhatian anak, biarkan anak menonton sampai
terbengong-bengong, lalu tinggalkan sang anak terhipnosis dalam layar
televisi sendirian. Cara yang mudah, murah, dan meriah untuk membuat
anak kecil terdiam.
Sayangnya, tayangan-tayangan televisi
tidak selalu mendidik. Bahkan sering kita dengar kritikan-kritikan baik
dari konsumen layanan televisi maupun pengamat media yang mengkritisi
tayangan-tayangan yang tidak mengandung nilai edukasi. Penulis masih
mengingat sekitar tahun 2000an awal ketika puluhan ibu-ibu melakukan
aksi protes kepada salah satu channel TV swasta mengenai
tayangan kartun Cr*yon Shinch*n yang tidak layak untuk anak. Jelas saja
menuai protes, karena di Jepang (negara pencipta kartun Cr*yon
Shinch*n), kisah Shinch*n tersebut ditujukan untuk segmen penonton di
atas 15 tahun. Di negara ini, film Crayon Shinch*n ditayangkan di hari
Minggu pagi, gimana anak gak ikut nonton?
Salah satu hal yang cukup menarik
perhatian penulis adalah pengaruh tayangan-tayangan televisi mengenai
identitas gender. Jika kita menonton tayangan seorang waria yang beraksi
iseng dan kocak, mungkin kita akan tertawa terbahak-bahak, minimal
tersenyum karena aksinya yang menghibur. Tapi bagaimana bagi anak? Orang
dewasa mungkin akan meniru aksi sang waria dengan tujuan lucu-lucuan semata
atau iseng, tapi bagaimana dengan anak? Tayangan lain yang masih
teringat di benak penulis adalah kartun C*rdcaptor S*kura, dalam
tayangan tersebut dikisahkan ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada
kakak kelasnya yang juga seorang laki-laki! Bagaimana jika ditonton oleh
anak yang sudah mulai mengenal kata “naksir”?
Itu baru beberapa saja, masih banyak
tayangan-tayangan lainnya yang membuat penulis khawatir akan pengaruhnya
terhadap pembentukan gender anak. Secara hiburan, tayangan tersebut
mungkin lucu dan mengundang tawa, tetapi tayangan-tayangan tersebut
seringkali ditayangkan pada jam-jam anak kecil dapat menontonnya, dan
mayoritas dalam bentuk kartun! Beberapa jenis film yang sempat membuat
penulis merasa khawatir akan dampaknya terhadap pembentukan gender anak
adalah:
1. Tayangan Waria dan Tomboy
Bagi kita, tayangan-tayangan yang diperankan oleh perempuan jadi-jadian atau
waria mungkin mengundang tawa dan menghibur. Tapi bagaimana jika
tayangan ini ditonton oleh anak kecil yang sedang dalam pembentukan
identitas gender-nya? Tidak hanya laki-laki menjadi perempuan, tayangan
yang mengisahkan seorang tomboy (perempuan menjadi laki-laki) juga ada.
Masih ingat film K*cil-K*cil J*di M*nten? Dikisahkan
Rohaye, seorang gadis yang berkepala botak dan gemar bermain sepakbola
layaknya bintang idolanya, David Beckham. Dalam tayangan yang sama juga
ada Ongky, seorang anak laki-laki penjual bakmi yang bertingkah layaknya
perempuan. Mengerikannya, tayangan tersebut disiarkan pada jam yang
dapat ditonton oleh anak! Mengapa saya tahu? Karena film tersebut pernah
saya tonton saat saya masih kecil dulu, dan kalau tidak salah disiarkan
pada pukul 19.00 WIB dan saat itu saya diwajibkan tidur oleh orang tua
saya pada pukul 21.00 WIB.
2. Tayangan Kartun dengan Muatan Homoseksual
Tayangan ini bagai musuh dalam selimut!
Mengapa? Karena tayangan kartun yang ditayangkan pada jam-jam anak
seharusnya memiliki muatan edukatif, tetapi ini justru mengandung muatan
negatif. Salah satunya adalah kisah seorang pemuda bernama Tomoyo yang
jatuh cinta pada kakak kelasnya yang juga seorang laki-laki bernama
Yukito dalam film kartun C*rdcaptor S*kura. Dalam tayangan tersebut,
secara eksplisit sekali digambarkan bahwa wajah Tomoyo selalu merah
padam karena malu bertemu dengan Yukito. Dalam edisi valentine kartun
tersebut, Tomoyo juga memberikan coklat kepada Yukito, bahkan sampai
memimpikannya dalam tidur. Selain itu, beberapa film kartun lainnya
seperti Sp*ngebob Squ*repants dan T*l*tubbies juga sempat diisukan
mengandung muatan homoseksual. Benar atau tidaknya penulis tidak dapat
menglarifikasi karena penulis tidak sering menonton kedua tayangan
tersebut. Tapi setidaknya dari sini bisa kita dapatkan gambaran bahwa
betapa mengerikannya tayangan-tayangan kartun yang selama ini kita
anggap cocok bagi anak!
Dampak dari Tayangan-Tayangan Tersebut
Sudah jelas, karena tayangan-tayangan
yang sudah penulis jelaskan tadi bermuatan waria (laki-laki
berpenampilan dan berkelakuan layaknya perempuan), tomboy (perempuan
berpenampilan dan berkelakuan layaknya laki-laki), juga homoseksualitas;
maka dikhawatirkan anak kecil akan meniru tingkah laku tersebut.
Apalagi anak kecil adalah makhluk yang paling senang meniru sekitarnya.
Saya tidak terlalu kaget ketika seorang anak yang masih berusia 10 tahun
bertanya kepada saya, “Why gay is forbidden here? In TV, these gays are
so funny and they harm nobody.” Saya yang kebingungan harus menjawab
apa, berusaha menjelaskan sesederhana mungkin dengan berkata, “You must
follow your religion’s rule. In the religion, becoming a gay is a sin.”
Anak tersebut kembali bertanya, “Why should us follow that rule? Gays
never harm us, they are funny.” Saya hanya bisa terdiam dan bergumam
dalam hati, “Televisi benar-benar bikin anak ngerti hal-hal
buruk terlalu cepat.” Saya juga khawatir jangan-jangan nantinya anak
tersebut menerima gay dan nanti menjadi gay akibat tayangan-tayangan
televisi tersebut.
Gender Identity Disorder
Sesuai dengan namanya, gender identity disorder atau
GID merupakan gangguan pada identitas gender, dalam hal ini mengenali
jenis kelamin diri sendiri, laki-laki atau perempuan. Bagi penderita
GID, mereka seringkali menganggap lahir dalam tubuh yang salah, sehingga
menolak jenis kelaminnya saat ini dan mencari cara untuk mengubahnya,
entah dengan berpenampilan seperti jenis kelamin yang ia inginkan atau
melakukan operasi kelamin.
DSM-IV-TR, sebuah buku panduan mengenai
gangguan kejiwaan yang diterbitkan oleh American Psychiatric
Association, menuliskan kriteria gangguan GID seperti berikut:
(a) identifikasi yang kuat dan lama terhadap gender lain,
(b) tidak nyaman dengan jenis kelamin yang dimiliki atau perasaan tidak sesuai dengan peran gender yang dimiliki,
(c) diagnosis tidak berlaku jika individu juga memiliki karakteristik interseks fisik, dan
(d) ketidaknyamanan klinis atau gangguan dalam bekerja, situasi sosial, atau area-area hidup yang penting lainnya secara signifikan.
(b) tidak nyaman dengan jenis kelamin yang dimiliki atau perasaan tidak sesuai dengan peran gender yang dimiliki,
(c) diagnosis tidak berlaku jika individu juga memiliki karakteristik interseks fisik, dan
(d) ketidaknyamanan klinis atau gangguan dalam bekerja, situasi sosial, atau area-area hidup yang penting lainnya secara signifikan.
Dengan kata lain, gender identity disorder merupakan
gangguan berupa penolakan terhadap jenis kelamin yang dimiliki saat ini
hingga mengganggu kehidupannya secara signifikan.
Homoseksual
Homoseksual sempat menjadi salah satu
dari gangguan kejiwaan dalam DSM, sebuah buku yang memuat
kategori-kategori gangguan kejiwaan beserta diagnosisnya. Tetapi
kemudian gangguan tersebut dihapuskan pada DSM-IV-TR (yang kini dipakai)
dan dianggap sudah umum.
Secara psikologis, mungkin homoseksual
sudah tidak dianggap gangguan, setidaknya untuk di Amerikasana. Tetapi
secara agama dan sosialIndonesia, menjadi seorang homoseksual dianggap
aib. Dalam agama, menjadi seorang homoseksual adalah sebuah dosa, untuk
urusan ini penulis tidak ingin berkomentar lebih jauh karena penulis
yakin pembaca sudah mengerti mengenai hal ini. Secara sosial, menjadi
homoseksual berpotensi mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap
aneh dan menyimpang. Bahkan mungkin bisa “diadili” oleh sesepuh di
daerah setempat.
Penulis sendiri tidak berani memberikan
justifikasi mengenai homoseksualitas. Penulis hanya bisa membahas
homoseksual secara singkat berdasarkan sisi psikologis, agama, dan
sosial diIndonesia. Terima atau tidak merupakan pilihan masing-masing
individu. Tetapi penulis menggunakan pola pikir seperti ini, “Kalau
benar anda menerima homoseksualitas, bersediakah anda jika adik atau
anak anda mengaku kepada anda bahwa ia adalah seorang homoseks dan
meminta izin untuk menikah dengan pasangan homo-nya kepada anda?” Jika
jawaban anda ya, berarti anda dapat dikatakan menerima homoseksualitas
J.
Bagaimana Mengatasinya?
Temani anak anda menonton! Itu sudah
jelas sekali. Dampingi dan awasi anak saat menonton. Pilihkan tontonan
yang layak dan tidak mengandung nilai negatif. Setelah menonton bersama,
lakukan diskusi ringan dengan anak mengenai film yang ditonton sehingga
anak bisa mengambil nilai-nilai positif dan membuang nilai-nilai
negatif dalam tayangan tersebut.
Bagaimana jika kedua orang tuanya bekerja
dan tidak sempat untuk mendampingi anak menonton TV? Diskusikan
tayangan anak di malam hari saat santai dan pekerjaan sudah selesai.
Mulai dengan bertanya kepada anak, ”Adik tadi nonton apa?” Berikan
kesempatan kepada anak untuk bercerita mengenai tayangan yang ia tonton
sehingga anda dapat mengambil garis besar dari cerita tersebut beserta
nilai-nilainya, kemudian diskusikan kepada anak dan berikan penjelasan
bahwa nilai-nilai positif dari tayangan tersebut dapat diambil sedangkan
nilai-nilai negatif dalam tayangan tersebut harus dibuang jauh-jauh.
Lalu ingatkan anak untuk menjauhi tayangan tersebut dan informasikan
juga kepada pengasuhnya agar mengawasi anak untuk menjauhi tayangan
tersebut.
Tayangan TV kini semakin beragam.
Beberapa di antaranya memiliki nilai negatif terhadap perkembangan
identitas gender anak dan mungkin anak anda menonton tayangan tersebut.
Maka itu, mulailah dari sekarang sadari pengaruh media TV terhadap
identitas gender anak anda, dan dampingi anak anda! Sebelum terlambat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar