Jumat, 17 Agustus 2012

Pengaruh Media terhadap Perkembangan Gender Anak (Garvin Goei)

Bagi perkembangan teknologi dunia yang sudah semakin canggih, rasanya tidak heran lagi jika televisi menjadi media hiburan yang akrab menemani hidup manusia, terutama bagi yang tinggal dikota. Selain biaya menonton televisi yang relatif murah (hanya modal beli televisi dan bayar tagihan listrik), berbagai macam hiburan dan informasi ditayangkan di televisi. Apalagi bagi anda yang hidup di Jakarta, jika tidak terlalu penting rasanya malas untuk keluar rumah karena kemacetan yang menyusahkan (bahkan ada anekdot bahwa hidup di Jakarta itu tua di jalan). Tidak heran, televisi menjadi media murah meriah bagi setiap individu.
Hal yang sama juga terjadi pada anak-anak. Sulitnya perekonomian di era modern ini membuat ibu pun juga harus ikut bekerja membantu sang suami mencari nafkah. Imbasnya, anak dititipkan kepada kerabat atau baby sitter. Perhatian dari orang tua tentu akan berbeda dengan perhatian dari kerabat dan baby sitter, sehingga bagi mereka yang penting adalah sang anak diam dan tidak berulah. Cara yang paling ampuh untuk membuat anak diam dan tidak berulah adalah memberikan mereka tontonan televisi. Tidak sulit untuk membuat sang anak menonton televisi. Cukup buka televisi, cari channel yang dapat menarik perhatian anak, biarkan anak menonton sampai terbengong-bengong, lalu tinggalkan sang anak terhipnosis dalam layar televisi sendirian. Cara yang mudah, murah, dan meriah untuk membuat anak kecil terdiam.
Sayangnya, tayangan-tayangan televisi tidak selalu mendidik. Bahkan sering kita dengar kritikan-kritikan baik dari konsumen layanan televisi maupun pengamat media yang mengkritisi tayangan-tayangan yang tidak mengandung nilai edukasi. Penulis masih mengingat sekitar tahun 2000an awal ketika puluhan ibu-ibu melakukan aksi protes kepada salah satu channel TV swasta mengenai tayangan kartun Cr*yon Shinch*n yang tidak layak untuk  anak. Jelas saja menuai protes, karena di Jepang (negara pencipta kartun Cr*yon Shinch*n), kisah Shinch*n tersebut ditujukan untuk segmen penonton di atas 15 tahun. Di negara ini, film Crayon Shinch*n ditayangkan di hari Minggu pagi, gimana anak gak ikut nonton?
Salah satu hal yang cukup menarik perhatian penulis adalah pengaruh tayangan-tayangan televisi mengenai identitas gender. Jika kita menonton tayangan seorang waria yang beraksi iseng dan kocak, mungkin kita akan tertawa terbahak-bahak, minimal tersenyum karena aksinya yang menghibur. Tapi bagaimana bagi anak? Orang dewasa mungkin akan meniru aksi sang waria dengan tujuan lucu-lucuan semata atau iseng, tapi bagaimana dengan anak? Tayangan lain yang masih teringat di benak penulis adalah kartun C*rdcaptor S*kura, dalam tayangan tersebut dikisahkan ada seorang pemuda yang jatuh cinta kepada kakak kelasnya yang juga seorang laki-laki! Bagaimana jika ditonton oleh anak yang sudah mulai mengenal kata “naksir”?
Itu baru beberapa saja, masih banyak tayangan-tayangan lainnya yang membuat penulis khawatir akan pengaruhnya terhadap pembentukan gender anak. Secara hiburan, tayangan tersebut mungkin lucu dan mengundang tawa, tetapi tayangan-tayangan tersebut seringkali ditayangkan pada jam-jam anak kecil dapat menontonnya, dan mayoritas dalam bentuk kartun! Beberapa jenis film yang sempat membuat penulis merasa khawatir akan dampaknya terhadap pembentukan gender anak adalah:
1. Tayangan Waria dan Tomboy
Bagi kita, tayangan-tayangan yang diperankan oleh perempuan jadi-jadian atau waria mungkin mengundang tawa dan menghibur. Tapi bagaimana jika tayangan ini ditonton oleh anak kecil yang sedang dalam pembentukan identitas gender-nya? Tidak hanya laki-laki menjadi perempuan, tayangan yang mengisahkan seorang tomboy (perempuan menjadi laki-laki) juga ada. Masih ingat film K*cil-K*cil J*di M*nten? Dikisahkan Rohaye, seorang gadis yang berkepala botak dan gemar bermain sepakbola layaknya bintang idolanya, David Beckham. Dalam tayangan yang sama juga ada Ongky, seorang anak laki-laki penjual bakmi yang bertingkah layaknya perempuan. Mengerikannya, tayangan tersebut disiarkan pada jam yang dapat ditonton oleh anak! Mengapa saya tahu? Karena film tersebut pernah saya tonton saat saya masih kecil dulu, dan kalau tidak salah disiarkan pada pukul 19.00 WIB dan saat itu saya diwajibkan tidur oleh orang tua saya pada pukul 21.00 WIB.
2. Tayangan Kartun dengan Muatan Homoseksual
Tayangan ini bagai musuh dalam selimut! Mengapa? Karena tayangan kartun yang ditayangkan pada jam-jam anak seharusnya memiliki muatan edukatif, tetapi ini justru mengandung muatan negatif. Salah satunya adalah kisah seorang pemuda bernama Tomoyo yang jatuh cinta pada kakak kelasnya yang juga seorang laki-laki bernama Yukito dalam film kartun C*rdcaptor S*kura. Dalam tayangan tersebut, secara eksplisit sekali digambarkan bahwa wajah Tomoyo selalu merah padam karena malu bertemu dengan Yukito. Dalam edisi valentine kartun tersebut, Tomoyo juga memberikan coklat kepada Yukito, bahkan sampai memimpikannya dalam tidur. Selain itu, beberapa film kartun lainnya seperti Sp*ngebob Squ*repants dan T*l*tubbies juga sempat diisukan mengandung muatan homoseksual. Benar atau tidaknya penulis tidak dapat menglarifikasi karena penulis tidak sering menonton kedua tayangan tersebut. Tapi setidaknya dari sini bisa kita dapatkan gambaran bahwa betapa mengerikannya tayangan-tayangan kartun yang selama ini kita anggap cocok bagi anak!
Dampak dari Tayangan-Tayangan Tersebut
Sudah jelas, karena tayangan-tayangan yang sudah penulis jelaskan tadi bermuatan waria (laki-laki berpenampilan dan berkelakuan layaknya perempuan), tomboy (perempuan berpenampilan dan berkelakuan layaknya laki-laki), juga homoseksualitas; maka dikhawatirkan anak kecil akan meniru tingkah laku tersebut. Apalagi anak kecil adalah makhluk yang paling senang meniru sekitarnya. Saya tidak terlalu kaget ketika seorang anak yang masih berusia 10 tahun bertanya kepada saya, “Why gay is forbidden here? In TV, these gays are so funny and they harm nobody.” Saya yang kebingungan harus menjawab apa, berusaha menjelaskan sesederhana mungkin dengan berkata, “You must follow your religion’s rule. In the religion, becoming a gay is a sin.” Anak tersebut kembali bertanya, “Why should us follow that rule? Gays never harm us, they are funny.” Saya hanya bisa terdiam dan bergumam dalam hati, “Televisi benar-benar bikin anak ngerti hal-hal buruk terlalu cepat.” Saya juga khawatir jangan-jangan nantinya anak tersebut menerima gay dan nanti menjadi gay akibat tayangan-tayangan televisi tersebut.
Gender Identity Disorder
Sesuai dengan namanya, gender identity disorder atau GID merupakan gangguan pada identitas gender, dalam hal ini mengenali jenis kelamin diri sendiri, laki-laki atau perempuan. Bagi penderita GID, mereka seringkali menganggap lahir dalam tubuh yang salah, sehingga menolak jenis kelaminnya saat ini dan mencari cara untuk mengubahnya, entah dengan berpenampilan seperti jenis kelamin yang ia inginkan atau melakukan operasi kelamin.
DSM-IV-TR, sebuah buku panduan mengenai gangguan kejiwaan yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, menuliskan kriteria gangguan GID seperti berikut:
(a) identifikasi yang kuat dan lama terhadap gender lain,
(b) tidak nyaman dengan jenis kelamin yang dimiliki atau perasaan tidak sesuai dengan peran gender yang dimiliki,
(c) diagnosis tidak berlaku jika individu juga memiliki karakteristik interseks fisik, dan
(d) ketidaknyamanan klinis atau gangguan dalam bekerja, situasi sosial, atau area-area hidup yang penting lainnya secara signifikan.
Dengan kata lain, gender identity disorder merupakan gangguan berupa penolakan terhadap jenis kelamin yang dimiliki saat ini hingga mengganggu kehidupannya secara signifikan.
Homoseksual
Homoseksual sempat menjadi salah satu dari gangguan kejiwaan dalam DSM, sebuah buku yang memuat kategori-kategori gangguan kejiwaan beserta diagnosisnya. Tetapi kemudian gangguan tersebut dihapuskan pada DSM-IV-TR (yang kini dipakai) dan dianggap sudah umum.
Secara psikologis, mungkin homoseksual sudah tidak dianggap gangguan, setidaknya untuk di Amerikasana. Tetapi secara agama dan sosialIndonesia, menjadi seorang homoseksual dianggap aib. Dalam agama, menjadi seorang homoseksual adalah sebuah dosa, untuk urusan ini penulis tidak ingin berkomentar lebih jauh karena penulis yakin pembaca sudah mengerti mengenai hal ini. Secara sosial, menjadi homoseksual berpotensi mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap aneh dan menyimpang. Bahkan mungkin bisa “diadili” oleh sesepuh di daerah setempat.
Penulis sendiri tidak berani memberikan justifikasi mengenai homoseksualitas. Penulis hanya bisa membahas homoseksual secara singkat berdasarkan sisi psikologis, agama, dan sosial diIndonesia. Terima atau tidak merupakan pilihan masing-masing individu. Tetapi penulis menggunakan pola pikir seperti ini, “Kalau benar anda menerima homoseksualitas, bersediakah anda jika adik atau anak anda mengaku kepada anda bahwa ia adalah seorang homoseks dan meminta izin untuk menikah dengan pasangan homo-nya kepada anda?” Jika jawaban anda ya, berarti anda dapat dikatakan menerima homoseksualitas J.
Bagaimana Mengatasinya?
Temani anak anda menonton! Itu sudah jelas sekali. Dampingi dan awasi anak saat menonton. Pilihkan tontonan yang layak dan tidak mengandung nilai negatif. Setelah menonton bersama, lakukan diskusi ringan dengan anak mengenai film yang ditonton sehingga anak bisa mengambil nilai-nilai positif dan membuang nilai-nilai negatif dalam tayangan tersebut.
Bagaimana jika kedua orang tuanya bekerja dan tidak sempat untuk mendampingi anak menonton TV? Diskusikan tayangan anak di malam hari saat santai dan pekerjaan sudah selesai. Mulai dengan bertanya kepada anak, ”Adik tadi nonton apa?” Berikan kesempatan kepada anak untuk bercerita mengenai tayangan yang ia tonton sehingga anda dapat mengambil garis besar dari cerita tersebut beserta nilai-nilainya, kemudian diskusikan kepada anak dan berikan penjelasan bahwa nilai-nilai positif dari tayangan tersebut dapat diambil sedangkan nilai-nilai negatif dalam tayangan tersebut harus dibuang jauh-jauh. Lalu ingatkan anak untuk menjauhi tayangan tersebut dan informasikan juga kepada pengasuhnya agar mengawasi anak untuk menjauhi tayangan tersebut.
Tayangan TV kini semakin beragam. Beberapa di antaranya memiliki nilai negatif terhadap perkembangan identitas gender anak dan mungkin anak anda menonton tayangan tersebut. Maka itu, mulailah dari sekarang sadari pengaruh media TV terhadap identitas gender anak anda, dan dampingi anak anda! Sebelum terlambat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar