Jumat, 17 Agustus 2012

Aborsi, ya atau tidak? (Lerenz Rheiz)

June 3, 2012 at 4:06pm

Aborsi, sebuah kata yang kerap kita dengar, tetapi jarang dibahas secara terbuka. Bukan apa, aborsi memang nyaris selalu dikaitkan dengan perilaku seks bebas. Pelaku aborsi bisa dari berbagai kalangan, mulai remaja, sampai dewasa madya yang sudah tidak mau memiliki anak tapi masih "jadi" juga. Alasannya tentu beragam pula, mulai dari usia, kesehatan, ekonomi, dan yang acapkali dibahas, 'insiden'. Perizinannya pun tidak mudah, Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memberikan pengecualian terhadap larangan aborsi hanya dalam 2 kondisi berikut:
1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan
2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Selain itu, aborsi hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis. Aborsi juga hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat dari menteri kesehatan.

"Dari 2,5 jutaan pelaku aborsi tersebut, 1 - 1,5 juta di antaranya adalah remaja. Remaja sudah bisa aktif secara seksual, namun sulit memperoleh alat kontrasepsi. Akibatnya terjadi kehamilan yang tidak diinginkan," kata Sudibyo Alimoesa, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN.
"Saya rasa angka aborsi pada remaja tidak sampai sebesar itu. Sebagian besar kasus aborsi juga bisa disebabkan karena kegagalan kontrasepsi pada pasangan menikah. Pada remaja kasusnya mungkin hanya beberapa ratus ribu," kata Julianto Witjaksono, Deputi KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat. Begitu pula menurut Inne Silviane, Direktur Eksekutif PKBI Pusat yang melihat justru pelaku aborsi paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah yang program KB-nya gagal. Data studi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan bahwa 73-83 persen wanita yang ingin aborsi adalah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi. Sedangkan aborsi pada remaja bahkan tidak sampai 20 persen.

  Banyak cara untuk aborsi, mulai dari jamu-jamuan, Obat anti prostaglandin(memicu kontraksi), makan nenas muda, pepaya muda dan ragi (belum ilmiah memang, tapi sering jadi pantangan ibu hamil), memasukkan batang pohon ke vagina, biasanya menggunakan batang singkong, sampai loncat-loncat dan minum soda. Sementara untuk aborsi legal bisa menggunakan obat ataupun teknik kuret. Jadi untuk yang secara hukum dilarang, pilihannya adalah pergi ke dukun, atau aborsi bawah tangan, tahun 2008 ada kabar bahwa di Malaysia bisa melakukan aborsi dengan biaya yang relatif terjangkau secara legal. Entah bagaimana di Indonesia, tetapi beberapa tahun lalu memang marak terdengar klinik-klinik yang digrebek aparat karena melakukan praktek aborsi ilegal.

Untuk yang legal, sebagian besar memang memiliki alasan kuat, dari sudah memiliki banyak anak sampai alasan resiko cacat. Lantas bagaimana dengan yang ilegal? Yang konon disebabkan oleh maraknya perilaku seks bebas di kalangan remaja hingga dewasa sendiri. Mari kita mengesampingkan rasa kasihan terhadap jabang bayi sejenak. Katakanlah si ibu muda yang hamil tersebut tidak aborsi dan memilih untuk melahirkan kemudian membesarkan anak bersama dengan si ayah jabang bayi tersebut. Akankah kita yakin dengan kesiapan mereka untuk membesarkan si bayi tersebut? Padahal jangankan secara psikologis, secara ekonomi saja mereka belum tentu siap. Di-aborsi artinya kita menghilangkan nyawa seorang manusia, tetapi bukankah jika kita membesarkan mereka dengan tidak sepenuh hati dan tanpa kesiapan, bukankah kita malah membesarkan seorang manusia, dengan tidak manusiawi? Tidakkah itu membuka kemungkinan yang sangat besar bahwa manusia tersebut akan tidak berkontribusi maksimal terhadap masyarakat? Sering terdengar bahwa pelaku kejahatan berasal dari keluarga yang tidak harmonis, lalu bagaimana kita bisa memaksa keluarga yang tidak siap, kalau bukan tidak ingin untuk membesarkan bayi mereka?

Memang sering terdengar, bahwa aborsi melanggar HAM, tetapi sebatas janinkah yang kita perjuangkan? Lantas bagaimana setelah mereka lahir ke dunia? Masih adakah yang berteriak-teriak, bahwa mereka harus mendapat kasih sayang? Bahwa mereka perlu susu untuk diminum, nasi untuk dimakan? Dengan sesama manusia yang tampak di depan muka saja kita masih sering tidak perduli, lalu benarkah kita perduli dengan janin yang 'tidak nampak'? Atau hanya sekedar ucapan agar seolah kita adalah manusia yang manusiawi. Jika memang perduli, tidakkah lebih baik kita memastikan, bayi-bayi yang akan lahir mendapatkan tempatnya di dunia ini? Orang tua asuh, panti asuhan, pendidikan dan kesehatan gratis, lapangan pekerjaan yang cukup, bukankah itu hal yang lebih nyata kita lakukan, daripada sekedar mengecam pelaku aborsi tapi tidak memberikan solusi.


Still, say no to free sex and abortion.. At least, safe sex and take responsibility..

Better world for our children? Why not better children for world instead?

1 komentar: