Selasa, 25 Februari 2014

The First Day of Learning about the Theory of the Interview (Lisa Febriani)


     Selasa, 18 Februari 2014, hari ini saya mempelajari beberapa hal mengenai wawancara, konseling, dan psikoterapi. Wawancara itu sendiri sudah sering saya lakukan, karena memang ada beberapa mata kuliah saya yang memberi tugas untuk memewawancarai subyek tertentu guna mendapatkan informasi-informasi yang lebih kaya lagi mengenai tema pembahasan yang akan dibahas dalam wawancara tersebut. Wawancara adalah aktivitas tanya jawab yang paling dasar dilakukan untuk mengetahui beberapa informasi dan bisa menjadi cara untuk menolong seseorang. Wawancara dimulai dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang ringan, seputar aspek demografi seseorang, seperti menanyakan nama, alamat, dll. Wawancara cenderung bersifat short term, karena wawancara biasanya dilakukan dalam satu atau dua sesi pertemuan saja.  


     Ketika wawancara dilakukan, mungkin akan terlihat seperti halnya melakukan percakapan biasa, namun hal ini harus diperhatikan! Wawancara berbeda dengan melakukan percakapan biasanya. Perbedaan yang paling jelas terlihat adalah wawancara dilakukan secara jelas, dan terarah, contohnya adalah pengalaman saya sendiri. Waktu saya mengambil mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif, saya dan kelompok mencari subyek yang berkaitan dengan tema penelitian saya saat itu, yakni “Pengambilan Keputusan Pada Wanita Dewasa Muda Yang Menjalin Hubungan Sesama Jenis”, banyak dari teman-teman saya yang meragukan bahwa apakah ada subyek yang memang benar seperti itu yang ingin diwawancarai? Sebenarnya, sebelum saya mengusulkan topik tersebut kepada teman-teman saya, saya sudah mengetahui banyak cerita-cerita dari teman-teman saya sewaktu saya SMA mengenai teman-temannya yang memang “ada” yang seperti itu. 
     Sebelum wawancara dilakukan, saya dan teman-teman saya sudah mengetahui siapakah subyek yang ingin diwawancari, bagaimana gambaran singkat mengenai cerita dari subyek tersebut, hal-hal apa sajakah yang ingin kelompok saya tanyakan kepada subyek tersebut guna mendapatkan informasi dari subyek tersebut, dan mengatur jadwal pertemuan saya dengan subyek yang ingin diwawancarai. Sebut saja subyek dalam penelitian kualitatif saya ini adalah “subyek Ini”, pada saat saya dan “subyek Ini” bertemu, hal-hal yang saya tanyakan tidak langsung masuk pada tema pembahasan yang saya ingin gali pada “subyek Ini”, melainkan pertanyaan-pertanyaan dasar seputar nama, alamat, tanggal lahir, hobi, serta aktifitas kesehariannya, dan pertemuan saya dengan “subyek Ini” terjadi hanya dalam satu sesi pertemuan saja yakni selama kurang lebih 30 menit (WAWANCARA).
     Dalam hal ini, wawancara dilakukan secara jelas dan terarah. Berbeda dengan percakapan biasanya, contohnya adalah pengalaman saya sendiri yang memang menyadarkan saya bahwa secara kasat mata memang wawancara dan percakapan biasa terlihat sama, namun jika hal ini dilakukan dengan benar, maka akan terlihat bahwa memang kedua hal tersebut berbeda. Ketika saya bertemu dengan teman saya di suatu tempat, yang memang tidak direncanakan sebelumnya, saya langsung menegurnya dan menanyakan kabarnya tidak perlu untuk kembali menanyakan “siapa nama kamu?” atau “kamu anak keberapa dari berapa bersaudara?”, hal ini tidak perlu dilakukanpada saat melakukan percakapan sehari-hari, dan setelah itu teman saya pun bertanya juga kepada saya bagaimana kabar saya, ketika teman saya memberitahu kabar terbaru mengenai hal pribadinya, saya pasti akan bertanya-tanya mengenai hal tersebut, dan terkadang perbincangan yang saya lakukan tidak hanya membahas satu topik saja, hal sekecil apapun yang saya lihat sewaktu berbicara dengan teman saya pun, pasti akan saya bicarakan dengan teman saya ini(PERCAKAPAN BIASA).
     Agar wawancara dapat berjalan dengan baik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi pewawancara yang ingin mewawancari seseorang, yang pertama yaitu awareness yakni menyadari bahwa setiap individu pasti memiliki nilai-nilai, asumsi, serta pola pikir yang berbeda dengan individu yang lain, dan hal ini sering kali dapat mengakibatkan bias. Terdapat 3 bias yang dapat dilakukan oleh seoranginterviewer, yakni halo effect yaitu menyimpulkan sikap seseorang padahal belum tentu seseorang yang disimpulkan itu memang benar memiliki sikap yang seperti disimpulkan; kedua adalah confirmatory bias yaitu interviewer mengarahkan seorang interviewee untuk menjawab sesuatu sesuai dengan kesimpulan yang disimpulkan oleh interviewer untuk interviewee; ketiga adalah primacy effect yaituinterviewer memandang interviewee memiliki tingkat pendidikan atau penampilan fisik yang lebih tinggi baik dibandingkan dengan interviewer, sehingga hal tersebut menyebabkan kurangnya konsentrasi interviewer saat mewawancarai interviewee.
     Kembali pada pengalaman saya dengan “subyek Ini”, sewaktu saya diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian saya dalam suatu acara, dan pada sesi pertanyaan, ada salah seorang mahasiswi dari Universitas Negeri di Indonesia yang tertarik pada penelitian saya dan kelompok saya, dan bertanya kepada saya “Kalau boleh tahu bagaimana contoh pertanyaan yang diberikan kepada subyek anda saat itu?”, dan saya menjawabnya “Contohnya adalah seputar pertanyaan mengenai alasan apa yang membuat ia seperti itu, jadi seperti ini, Kalau boleh tahu apakah yang menyebabkan anda seperti ini? Apakah ada pengalaman sebelumnya yang pernah anda alami atau bagaimana?”, saat itu juga mahasiswi yang bertanya kepada saya memberikan masukan kepada saya bahwa seharusnya pertanyaan yang saya ajukan itu tidak boleh seperti mengarahkan subyek untuk menjawab pertanyaan yang membenarkan kesimpulan saya kepadanya. Hal yang saya lakukan tersebut termasuk ke dalam contoh confirmatory bias dan seharusnya hal ini tidaklah dilakukan oleh seorang interviewer.
     Hal kedua hal yang harus diperhatikan bagi pewawancara yang ingin mewawancari seseorang adalah knowledge, yakni seorang interviewer harus mengenal dan memperlajari budaya dari interviewee, serta diperlukan adanya saling menghargai dan menghormati budaya apapun, dan budaya juga sangat berpengaruh pada berbagai kehidupan interviewee, atau klien (dalam proses terapuetik). Ketiga adalah skills, yakni keterampilan untuk berempati pada seseorang dan kemampuan untuk menyesuaikan bahasa klien sesuai dengan budayanya.

**Cuplikan 2 gambar tersebut tidak berkaitan dengan contoh pengalaman dari penelitian yang telah saya ceritakan

23 Feb 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar