Sabtu, 22 Februari 2014

A Little Thought On Love (Cardia Ivana)

Setelah mengikuti kelas pertama mata kuliah Perilaku Seksual (Senin/10-01-2014), saya sedikit banyak berpikir tentang apa yang saya sudah dapatkan dari materi yang telah disampaikan. Well frankly speaking, I’m not that good in pouring my thoughts into words. Sometimes words never mean what we want them to mean, but alas I’ll try my best shot.


Hal pertama yang menangkap perhatian saya adalah kalimat ‘We love because we think we love’.
Ini adalah sebuah penyataan yang dilontarkan berdasarkan sudut pandang teori kognitif. Sebetulnya konsep ini pernah melintas dalam pikiran karena saya pernah membaca sebuah buku yang kurang lebih mengargumentasikan tentang sumber eksistensi cinta, namun membaca kalimat tersebut di layar proyektor ruangan kelas (sungguh unexpected), saya jadi kembali banyak merenung mengenai hal ini. Dalam buku yang saya baca, Everything Is Illuminated karya Jonathan Safran Foer (I really devoured it by the way it is an enjoyable thoughtful book), salah satu tokoh utama dalam buku itu menyimpulkan bahwa seringkali cinta itu sebetulnya ‘tidak ada’. Yang sesungguhnya ada adalah ide kita (pikiran kita) akan cinta itu sendiri. Seringkali kita tidak sesungguhnya mencintai namun kita pikir kita sudah mencintai (We don’t actually love them. We think we love them). 

Love does exist, but rarely so. What we often love is our love for love, not the persons themselves. Untuk mendukung refleksi pemikiran saya mengenai cinta dari sudut pandang kognitif, berikut saya kutip sebuah bagian dari buku tersebut:
                  
            “… And when Yankel said he would die for Brod, he certainly meant it, but that thing he would die for was not Brod… but his love for her. And when she said, Father, I love you, she was neither naïve nor dishonest, but the opposite: she was wise and truthful enough to lie. They reciprocated the great and saving lie: that our love for things is greater than our love for our love for things… willfully playing the parts they wrote for themselves, willfully creating and believing fictions necessary for life”. (Jonathan Safran Foer, 2002).

Pandangan teori kognitif juga membawa saya berpikir bahwa kita juga seringkali jatuh cinta dengan ide dan khayalan kita sendiri. Kita pikir kita mencintai orang itu, padahal kenyataannya yang kita cintai adalah konsep kita mengenai orang itu. Kognisi kita membangun citra seseorang menjadi sedemikian rupa dalam pandangan kita, padahal orang tersebut belum tentu sedemikian adanya di realita sebenarnya.

A quote from the TV series, White Collar.

Hal kedua yang menangkap perhatian saya yaitu mengenai cinta dalam relationship. Pernyataan bahwa passion hanya hadir di awal hubungan namun inevitably akan memudar  merupakan hal yang wajar dan normal. Kita tentu bisa mengharapkan hubungan yang menyenangkan, namun menginginkan kepastian bahwa gairah akan selalu ada sepanjang hubungan berlangsung merupakan harapan yang terlalu muluk. Passion memang salah satu elemen yang paling penting, namun apabila tidak diiringi intimacy dan komitmen untuk menjalani hubungan maka dapat dipastikan hubungan itu akan kandas seiring dengan memudarnya passion.

Kita sering salah mengartikan excitement sebagai cinta. Excitement is not loveAll the fun and reckless silly things we do when we’re in love surely are exciting, but truth is you can’t make a relationship based only on the excitement tingles. We can always love someone but we can’t always be in love with them. We need to feel safe and secure to bare our true colors open in front of our partner, which is profound in working on a relationship out. You certainly can’t do this if your partner could only excite you physically but never could understand you as you truly are. I believe we all want our relationship to be fun, but we don’t want it to be just for fun, right?

Quoted from www.brainpicking.org 

The last but not the least, we know that communication is also one of the most important aspects of a healthy and satisfying relationship. Komunikasi seharusnya tidak hanya dilakukan untuk membicarakan hal-hal yang baik saja, namun juga dilakukan untuk membicarakan masalah yang ada. Jangan mengesampingkan masalah yang belum terselesaikan dengan baik hanya karena ‘wedon’t feel like talking about it’. NoNo, we should never turn our back on the-so-called little problems. Menganggap remeh dan mengesampingkan masalah-masalah sepele dalam hubungan bisa diibaratkan seperti menumpuk laundry kotor di bawah kolong ranjang. Lama-kelamaan tumpukanlaundry ini akan mengeluarkan bau yang tidak enak, sama seperti tumpukan masalah ‘sepele’ yang malah berkembang menjadi masalah-masalah lain yang lebih besar.

Mengkomunikasikan konflik bukanlah hal yang mudah apalagi menyenangkan. Giving advices is something that anyone could do. Acting on it is what matters. Susah untuk membicarakan masalah secara baik-baik saat kedua belah pihak sedang naik pitam. Lebih susah lagi jika salah satu pihak memang tidak koperatif dalam berkomunikasi: pasif dan tidak ada keinginan untuk menyelesaikan masalah. Make sure you’re in a relationship with someone who has the willing and efforts to work on things with you.

Saat kita merasa tersinggung oleh tindakan pasangan kita, maka hal yang bijaksana untuk dilakukan adalah memberitahu dia secara baik-baik bahwa memang kita tidak suka. Katakan tidak suka saat kita tidak suka. Katakan suka saat kita memang suka. Jangan berdiam diri dalam ilusi bahwa entah bagaimana caranya pasangan kita itu tahu bahwa kita sedang marah. Bentuk delusi yang paling sederhana adalah saat kita berharap seseorang bisa mengetahui penyebab kemarahan kita hanya dengan melihat kita diam seribu bahasa. Pasangan kita berhak mengetahui apa yang kita rasakan dan kita berhak mengungkapkan apa yang mereka perlu ketahui

Well it's about time I quit my rattling, thank you for keeping up with me

14 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar