Pada kamis, 20 Februari 2014 lalu saya mendapatkan presentasi yang sangat bermanfaat dari Ka Tasya mengenai Penerapan wawancara, kelebihan dan kekurangan wawancara dsb. Pada presentasi ini Ka Tasya juga menekankan pentingnya memperhatikan kode etik dalam melakukan wawancara. Contohnya ketika kita mewawancarai seseorang dan bertanya mengenai peristiwa-peristiwa negatif di masa lalu, hal tersebut secara tidak langsung akan mengorek luka lama individu tersebut. Seringkali kita sebagai pewawancara hanya mementingkan data yang kita dapatkan, namun tidak memperhatikan perasaan dari subjek yang kita wawancarai. Subjek yang kita wawancarai tentunya akan merasa tertekan secara psikologis karena harus mengingat kembali peristiwa-peristiwa negative tersebut. Apabila hal ini tidak ditindaki lebih lanjut, maka subjek tersebut akan kembali depresi bahkan keadannya dapat jauh lebih buruk dari keadaan awal. Maka dari itu penting bagi kita untuk menyadari akan kesalahan ini, setidaknya kita dapat memberikan nasihat-nasihat yang dapat membuat dirinya jauh lebih baik. Kita sebagai pewawancara harus menutup kembali lubang yang telah kita gali selama wawancara.
Terdapat salah satu aspek yang terpenting ketika memulai wawancara yaitu membangun rapport. Rapport dalam konteks ini yaitu salah cara untuk membangun suatu hubungan dan memulai komunikasi dengan baik. Bila seorang psikolog dapat membangun rapport yang baik maka akan tercipta suatu kepercayaan klien dan klien akan terbuka dalam menceritakan permasalahannya. Ketika seorang psikolog gagal membangun rapport, maka klien cenderung mengembangkan rasa ketidakpercayaan. Ketika hal tersebut terjadi, maka keberhasilan konseling dan terapi pun akan terhambat. Maka dari itu ketika memulai wawancara sebaiknya pewawancara tidak langsung to the point pada permasalahan yang dialami klien. Pewawancara sebaiknya terlebih dahulu melakukan perkenalan dan berbicara mengenai hal-hal yang ringan sehingga klien akan merasa nyaman terhadap kondisi konseling.
Selama proses wawancara banyak hal yang dapat terjadi, salah satunya adalah subjek wawancara mengatakan hal-hal yang tidak benar dan tidak akurat (berbohong). Lalu bagaimana cara mendeteksi kebohongan ? Terdapat satu hal yang harus diperhatikan, pewawancara harus memiliki kepekaan mengenai apa yang dikatakan oleh subjek wawancara. Kebohongan dapat ditandai dengan ketidakonsistenan pernyataan yang disampaikan oleh individu. Pewawancara harus melihat konsistensi perkataan klien dari satu pertemuan dengan pertemuan yang lain, apabila di antara kedua pertemuan tersebut terdapat hal yang tidak sama atau tidak konsisten maka dapat diindikasikan bahwa subjek wawancara tersebut berbohong.
Terdapat banyak hal yang terkait dengan teknik wawancara. Wawancara dapat dikatakan suatu hal yang tidak mudah dilakukan namun dapat dipelajari. Bagi kalian yang ingin meningkatkan keterampilan wawancara, kalian dapat mulai latihan melakukan wawancara dengan teman, pacar, ataupun orang-orang terdekat kalian!
24 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar