Selasa, 25 Februari 2014

Interview: An Introduction (Tie Elisabeth Gouwtama)

    Sebagai mahasiswa/i jurusan psikologi, kita tentu sudah tidak asing dengan kata wawancara. Banyak sekali tugas yang diberikan oleh dosen yang mengharuskan kita, mahasiswa/i psikologi, untuk melakukan wawancara. Sebut saja, tugas dosen kelas perkembangan, dosen kelas pendidikan, dosen kelas kualitatif, dosen kelas sosial, dosen kelas wawancara, dll. Satu pertanyaan penting yang perlu kita refleksikan pada diri kita sendiri adalah apakah kita sudah melakukan wawancara dengan benar.

     Wawancara bukanlah suatu percakapan, meskipun ketika kita melakukan wawancara kita pasti akan bercakap-cakap. Definisi wawancara yang saya simpulkan dari pertemuan kedua adalah suatu kegiatan berkomunikasi antara dua orang atau lebih yang memiliki tujuan, dimana satu pihak akan bertanya dan pihak lain akan menjawab. Wawancara sendiri bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang diri klien, tentu saja informasi yang saya maksud disini bukan hanya informasi demografis. Informasi yang saya maksud adalah informasi tentang masalah apa yang dihadapi klien, bagaimana cara klien memandang masalah tersebut, cara coping yang klien lakukan, dll. Wawancara tidaklah selalu bertanya tentang hal-hal yang positif dan menyenangkan, oleh karena itu kita (sebagai pewawancaraharus peka dalam membuat dan ketika melontarkan sebuah pertanyaan. 

Terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan ketika akan melakukan wawancara. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan wawancara adalah:
A. Membina rapport. Membina rapport adalah hal yang penting ketika kita sedang melakukan wawancara. Rapport berguna agar klien merasa nyaman sehingga dapat berbicara dengan lebih bebas dan terbuka tentang hal-hal yang dialami. Bentuk-bentuk rapport yang dapat diberikan adalah senyuman hangat, jabatan tangan bersahabat, percakapan-percakapan kecil, dll (perhatikan budaya klien).
B. Berempati. Rasa empati dapat ditunjukkan dengan menerima dan memahami klien tanpa membuat penghakiman tentang apa yang dilakukan atau tentang apa yang sedang ia rasakan.
C. Attending behavior. Kunci penting dari attending behavior adalah kita (sebagai interviewer) memberikan klien waktu untu berbicara tentang diri mereka. Kita tidak mungkin dapat mengetahui masalah yang dihadapi oleh seseorang, jika kita adalah pihak yang terus menerus berbicara. Well, unless you’re a psychic. Lol.
D. Kemampuan bertanya (open or closed question). Kemampuan kita dalam membuat pertanyaan ternyata juga mempengaruhi wawancara. Apakah pertanyaan yang kita buat berjenis open klien bebas mengekspresikan jawaban) atau bersifat closed (interviewer mengarahkan jawaban klien).
E. Kemapuan mengobservasi. Kemampuan untuk melihat bagaimana raut wajah, gestur tubuh, nada suara dari klien ketika menjawab pertanyaan. 

     Meskipun banyak informasi yang dapat kita peroleh ketika menggunakan metode wawancara, namun kita tetap harus berhati-hati agar tidak terjadi bias ketika melakukan wawancara. Contoh-contoh bias yang dapat terjadi ketika melakukan wawancara (dilihat dari sisi pewawancara atau interviewer bias) adalah:
A. Halo effectHalo effect adalah bias yang terjadi ketika kita menarik kesimpulan dari sedikit impresi umum yang kita peroleh. Misalnya, saya (pewawancara) melihat B, saya merasa B juga melihat saya, akan tetapi B langsung memalingkan muka. Saya langsung menarik kesimpulan bahwa B adalah orang yang sombong, meskipun saya hanya memiliki sedikit informasi tentang B.
B. Confirmatory biasConfimatory bias adalah suatu bias yang terjadi ketika kita memiliki dugaan tentang seseorang dan hanya menanyakan pertanyaan yang meperkuat praduga kita saja. Misalnya, saya memiliki dugaan bahwa A adalah penderita bipolar, saya kemudian hanya akan menanyakan kepada A pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-gejala bipolar saja yang dapat memperkuat praduga saya. 
C. Primacy effect.  Primacy effect dapat terjadi ketika kita mewawancarai seseorang yang memiliki kemampuan di atas kita, kita terpengaruh pada infromasi yang sebelumnya telah ada (primary information) dibandingkan dengan proses.
     Jika dilihat dari sisi yang diwawancarai, bias dapat terjadi ketika yang diwawancarai berusaha untuk menutup-nutupi kebenaran, menyampaikan hal-hal yang baik saja, menyampaikan data yang tidak akurat.

    Penjelasan-penjelasan yang saya tulis dalam blog ini tidaklah sepenuhnya hasil mendengarkan di kelas. Penejelasan tentangattending behavior atau primacy effect yang saya tulis dalam blog ini, itu merupakan hasil dari menyontek materi slide yang telah diberikan. Satu hal yang saya sadari dari pertemuan kelas wawancara minggu lalu adalah meskipun saya cukup sering mendapatkan tugas yang mengharuskan saya untuk melakukan wawancara, saya ternyata cukup sering melakukan bias (please don’t judge me). Saya ternyata cukup sering memberikan pertanyaan yang ‘mengarahkan’. Selain itu, saya juga ternyata cukup sering memberikan pertanyaan yang memperkuat dugaan saya terhadap apa yang terjadi pada orang tersebut (saya melakukan confirmatory bias).FranklyI’d love to say, i’m one of the interviewer that do what a good interviewer need to do. But, then again, i knew it’d be big, fat, and ugly lie.

Quotes of the day: Do the best until you know better. Then when you know better, do better. -Maya Angelou

Quotes hari ini saya dedikasikan untuk diri saya sendiri dan untuk orang lain yang selama ini masih melakukan kesalahan ketika melakukan wawancara. Marilah kita belajar dari kesalahan kita dan melakukan wawancara dengan lebih baik lagi. Cheers


 












23 Feb 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar