Senin, 16 Juni 2014

Wawancara dalam Setting Pendidikan (O' Candhy Marshieldfer)


Ternyata, wawancara tidak hanya digunakan dalam setting klinis dan industri/organisasi, tetapi juga dalam setting pendidikan. Ketika saya melihat rekan-rekan melakukan presentasi mengenai wawancara di setting PIO dan pendidikan, saya merasa tertarik dengan dua setting ini. Akan tetapi, saya lebih mengutamakan pendidikan karena saya memiliki pengalaman tidak menyenangkan saat saya bersekolah dulu. Saya ingin siswa/i zaman sekarang tidak merasakan apa yang saya rasakan saat saya sekolah dulu. Oleh karena itu, saya senang sekali berada dekat dengan siswa/i bahkan jika keberadaan saya mampu membuat mereka nyaman dan bahagia. Berdasarkan presentasi rekan-rekan saya timbul pertanyaan apakah subyek mereka pernah menangani kasus kekerasan, baik di rumah maupun di sekolah? Bagaimana cara subyek mereka menangani kasus tersebut? Ada rekan-rekan yang menanyakan hal tersebut dan ada yang tidak. Sebenarnya hal ini penting untuk ditelusuri, guna mengetahui bentuk dari wawancara yang dilakukan oleh pihak terkait. Alasan saya menyukai PIO adalah saya suka jam kerja yang teratur, mengadministrasi alat tes, mengamati perkembangan pekerja, dan sebagainya.


Praktisi PIO biasanya bekerja di bidang HRD (Human Resource Development) yang pada umumnya memiliki cabang atau departemen sendiri. Praktisi PIO dapat berasal dari lulusan psikologi, ekonomi, dan hukum, sedangkan praktisi pendidikan dapat berasal dari lulusan psikologi. Di awal saya mengatakan bahwa saya memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan saat saya bersekolah dulu. Ceritanya begini:
Dulu saat saya duduk di bangku kelas 1 SD, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Senin hingga Sabtu, ayah selalu mengantar saya ke sekolah, katanya untuk belajar, well, what kind of learning? Menurut saya, sekolah pada saat itu seperti penjara di mana orang asing berkeliaran dan saya merasa diasingkan. Saya hanya duduk di kelas, membaca dan mencatat. Setiap harinya sepulang sekolah, ayah selalu menunggu saya selesai mencatat materi pelajaran terakhir. Saat itu pula saya hanya tinggal berdua dengan guru, sementara anak-anak yang lain sudah pulang. Sementara ayah dan guru bercakap mengenai saya, saya melanjutkan mencatat sambil merasakan kesal, malu, dan sedih. Tak seorangpun tahu tentang hal yang saya rasakan. Parahnya setiap kali diabsen, saya tidak tahu bahwa nama saya disebut guru hingga salah seorang teman sekelas berkata, “angkat tanganmu.” Anggota keluarga saya tidak pernah menyebutkan nama lengkap saya, mereka memanggil saya dengan nama panggilan. Saya semakin merasa terasing dan terpuruk. Guru pun tidak memahami apa yang terjadi pada saya, hanya mengomentari dan melontarkan kata-kata yang tidak harus dikatakan seorang guru.
Tangan saya pernah disenggol seorang guru pria dengan kakinya ketika saya sedang menulis di lantai dekat papan tulis. Wajar saya rasa karena saya memang lambat dan hal tersebut menyebabkan beliau kesal. Akan tetapi, perlu kah beliau berkata kasar terhadap anak didiknya? I’m trying my best to finish it quickly, Sir, but you don’t understand me, I’m crying inside. Bukan itu saja, wali kelas saya pun tidak pernah memberikan saya perhatian yang saya inginkan. Contohnya, siswa pandai di kelas tiba-tiba batuk, kemudian beliau berkata, “Kamu batuk ya? Minum obat ya nak biar cepat sembuh.” Sementara saya yang batuk malah tidak direspon apapun. So sad, right? Tidak ada mata pelajaran yang menjadi favorit saya selama tiga tahun pertama saya di SD. Selama tiga tahun itu juga saya merasa useless, diabaikan, dan saya tidak berharga di sekolah.
Ayah mengeluh tentang saya, kemudian menuduh dan memarahi ibu saya karena saya tidak dididik untuk belajar. Yah, mereka bertengkar, saya yang mendengar pertengkaran mereka tidak mampu melakukan apapun, hanya menangis. Kemurkaan dan kepasrahan orangtua saya mengalami puncaknya ketika saya tidak naik ke kelas 4. Mereka bertengkar lagi dan saya pun terdiam tanpa suara meratapi nasib saya saat itu. “Mengapa aku begitu bodoh hingga akhirnya seperti ini? Papa mama bertengkar. Saya juga dicemooh oleh sepupu dan teman-teman,” pikir saya saat itu. Sejak saat itu dan selama liburan, saya diberi soal berhitung setiap hari oleh kedua orangtua saya. Saya tidak ingin diperlakukan seperti ini karena saya capek harus mengerjakan soal-soal ini setiap hari. Yah sejak saat itu saya berikrar tidak ada yang mengakui saya, jadi saya harus rajin belajar dan meningkatkan nilai saya. Saya ingin mereka melihat dan mengakui saya ada dan saya bisa lebih dari yang mereka bayangkan. Alhasil, saya memperoleh kepercayaan wali kelas untuk tidak mengikuti bimbel lagi karena nilai saya sudah baik. Saat penerimaan rapor kelas tiga yang kedua, ayah saya orang pertama yang tersenyum lebar, sementara ibu saya terharu.

Demikian pengalaman saya yang konyol tentang pendidikan saya di tiga tahun pertama di tingkat SD. Lalu apa hubungannya dengan topik ini?? x_x Saya mau bertanya, apakah Anda membutuhkan seseorang yang dapat memahami dan membantu Anda ketika menghadapi masalah? Pasti, bukan? Nah, hal tersebut yang akan saya bahas dalam artikel ini. Seseorang yang saya maksud berprofesi dalam bidang konseling di sekolah, sebut saja guru bimbingan konseling (disingkat guru BK). Biasanya psikolog pendidikan juga dapat melakukannya, akan tetapi jarang ada psikolog berada di sekolah. Lalu, apa yang dapat dilakukan guru BK dalam membantu siswa? Pertanyaan itu yang mungkin muncul di pikiran Anda. Sebelum memberi konseling kepada siswa, guru BK memerlukan informasi yang jelas tentang permasalahan yang dialami siswa melalui wawancara. Apa bedanya wawancara dengan konseling? Wawancara merupakan komunikasi yang digunakan untuk memperoleh suatu informasi dari narasumber. Sedangkan konseling merupakan proses di mana konselor atau guru BK memberikan bantuan terhadap siswa. Jadi, bedanya wawancara digunakan untuk memperoleh informasi dan konseling digunakan untuk memberikan bantuan, seperti penyuluhan, bimbingan, dan penerangan kepada siswa. Sebelum wawancara, konselor atau guru BK harus dapat membina rapport kemudian menjelaskan maksud dan tujuan dari wawancara tersebut. Kenapa? Supaya siswa yang memiliki masalah mau terbuka dan menceritakan apa yang dialaminya sehingga konselor memperoleh informasi mengenai masalah siswa tersebut. Namun wawancara tidak dapat diterapkan pada semua siswa karena ada siswa yang cenderung tertutup (introvert) dan tidak ingin menceritakan pengalamannya. Kasus yang dihadapi guru BK atau konselor tidak hanya kekerasan, tetapi juga kasus akademik, seperti pengalaman saya dan penjurusan (baik di SMK/SMA maupun perguruan tinggi).

Guru BK atau konselor memiliki peranan penting dalam menangani permasalahan siswa. Selain memberi konseling, guru BK atau konselor mendampingi siswa yang bermasalah. Kemudian berkoordinasi dengan wali kelas dan orangtua untuk memantau perkembangan siswa. Berdasarkan pengalaman dosen saya, guru BK atau konselor juga mendaftar siswa yang terlambat dan mendata biodata siswa (kasus yang pernah dilakukan, teman dekat, dsb.). Wow! Menurut saya, sangat menyenangkan bila menjadi konselor atau guru BK yang dapat membantu siswa menghadapi kesulitan dalam hal apapun. Saya tidak ingin hal yang saya alami terjadi terhadap anak-anak lain yang seharusnya sudah berprestasi sejak awal. J


Past is history, learn from it, don’t make the same mistake twice. When you aware there’s something wrong, control and terminate it before it’s too late..

12 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar