Senin, 16 Juni 2014

Jadi Interviewer (Elaine Magracia Wingardi)


Mata kuliah teknik wawancara membuat adanya program pembelajaran dalam bentuk role play menjadi interviewer, interviewee, dan juga observer. Role play ini terdiri dari tiga setting, yakni setting pendidikan, PIO, dan klinis. Ketiganya sudah berhasil saya lalui dengan cukup baik. Penulisan blog ini hanya bertujuan untuk sharing mengenai apa saja yang telah saya dapatkan dari role playtersebut.

Pertama-tama, saya menjadi paham bahwa seorang interviewer memang harus bisa menjaga ekspresi dan gerak-gerik tubuhnya agar tidak mengganggu klien saat sedang bercerita. Maksudnya, kalau klien menceritakan hal-hal yang sedih dan menangis,interviewer tidak boleh turut menangis, walaupun hatus tetap menunjukkan empati. Misalnya saja dengan memegang tangan klien atau memberikan tatapan mengerti akan cerita klien. Namun tetap tidak boleh sok tahu dengan apa yang dirasakan oleh klien. Saya rasa, saat role play, saya berhasil menyesuaikan ekspresi diri dengan situasi dan kondisi wawancara.
Kemudian, saya paham kalau tidaklah mudah bagi seorang interviewer untuk tidak menggunakan leading question. Karena ada masa di mana ketika seorang interviewer berhadapan dengan klien yang memang tidak banyak berbicara, sudah di berikan open-question, namun tidak mendapatkan hasil. Maka sebagai pembukaan topik, penggunaan leading question sepertinya wajar digunakan, namun jangan gunakan leading question dalam sepanjang wawancara. Itu sama saja mengarahkan jawaban klien menuju diagnosa interviewer.
Berikutnya adalah pelarangan dalam menggunakan kata “Kenapa?”. Saya setuju dalam hal ini, bahwa interviewer tidak boleh menggunakan kata “Kenapa” dalam menanyakan sesuatu pada klien. Karena kata tersebut akan membuat klien merasa seperti terhakimi dan membuat klien merasa bahwa mereka telah melakukan hal yang benar-benar salah. Ya mungkin memang benar bila hal ini bergantung pada intonasi yang diberikan oleh interviewer, namun alangkah lebih baik bila menanyakannya dengan “Apa yang membuat kamu melakukan hal tersebut?”. Terdengar lebih baik. Klien juga tidak akan merasa seperti baru saja dihakimi olehinterviewer.
Hal yang paling saya suka adalah ketika saya yang berperan sebagai interviewer menunjukkan active listening. Saya menunjukkannya dalam dua bentuk. Baik secara verbal ataupun non-verbal. Secara verbal, saya bisa memberikan jawaban seperti “Iya” dan “Hmm”. Secara non-verbal, saya menunjukkannya dengan memberikan anggukan kepala, juga dengan memberikan tatapan fokus pada klien. Namun penting untuk diingat, bahwa seorang interviewer harus selalu menunjukkan non-judgmental face. Hal ini bertujuan untuk membuat klien nyaman, sehingga klien menjadi lebih terbuka pada interviewer.
Berbicara mengenai pengalaman yang saya alami selama role play, hal yang paling unik adalah ketika saya harus berakting menghadapi klien yang berbeda-beda, dan kebetulan mereka adalah teman saya sendiri. Tentu saya harus tetap mempertahankan suasana dan tidak berubah menjadi seakan-akan ini bukan sedang dalam setting wawancara. Tapi saya telah mencoba yang terbaik, saya fokus pada peran saya, dan sejauh saya melakukan role play tidak ada satupun klien saya yang tidak mendukung peran dan setting wawancara yang telah ditentukan sebelumnya.

Melakukan pencatatan dalam suatu interview juga sangat diperlukan. menyediakan kertas dan alat tulis sebelum melakukan wawancara akan berguna untuk mencatat poin penting dari informasi yang diberikan oleh klien. Namun sebaiknya tidak terlalu sering menundukkan kepala saat menulis, karena hal ini akan membuat klien merasa tidak nyaman melihat interviewer-nya sibuk menulis dan klien terus berbicara. Tetaplah menatap wajah klien dan usahakan sesekali saja melirik ke kertas catatan untuk memastikan bahwa tulisan kita sendiri dapat dibaca. Hal ini juga berguna saat hal yang tidak diinginkan seperti rekaman interviewyang hilang terjadi.

Tidak hanya menjadi seorang interviewer, saya juga berperan menjadi seorang interviewee/klien. Sangatlah seru ketika saya mendapatkan setting wawancara yang sangat bertolak belakang dengan diri saya yang sebenarnya, namun sangat menyenangkan berakting dan membantu teman saya yang berperan menjadi interviewer agar mereka menjadi lebih mudah menyelesaikan role playtersebut. Menjadi klien sangat menyenangkan, alur cerita dan jenis jawaban ditentukan oleh klien sendiri, tentu saja dengan hal ini saya mendapatkan suatu pembelajaran, bahwa seorang interviewer harus memiliki kreativitas dalam mengolah pertanyaan. Karena jawaban-jawaban dari klien tidak dapat diprediksi. Sehingga salah satu tugas utama interviewer adalah menjaga alur wawancara agar tidak keluar dari pembahasan atau topik utama.
Selain menjadi klien ataupun pewawancara. Saya juga bertindak menjadi seorang observer. Namun yang diobservasi bukanlah klien, melainkan adalah interviewer. Hal ini bertujuan agar saya sebagai observer mengerti bagaimana menajdi seorang intervieweryang baik dan benar. Pola perilaku yang dilakukan oleh orang-orang yang saya observasi dapat menjadi pembelajaran bagi diri saya sendiri. Misalnya saja gaya duduk, ataupun jenis ekspresi waah yang disesuaikan dengan kondisi wawancara. Bila klien sedih, setidaknya wajah interviewer harus lebih berempati dan bukannya senyum-senyum sendiri. Saat klien bercerita, interviewer juga hendaknya tidak terlalu berpaku pada panduen pertanyaan. Karena saat interviewer menunduk untuk melirik panduan pertanyaan, klien mungkin akan merasa bahwa interviewer tidak benar-benar memperhatikan cerita mereka.
Perasaan senang ketika berhasil membantu seorang klien bercerita juga muncul dari dalam diri saya ketika menyelesaikan satusetting wawancara.Jadi kesimpulannya, role play menjadi tiga peran yang berbeda dalam suatu wawancara sangat bergunba untuk pembelajaran saya sendiri untuk menjadi seorang interviewer yang baik di masa depan. Saya tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan selama suatu proses wawancara berlangsung.

28 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar