Senin, 16 Juni 2014

cita – citaku (Nastashia Priscilla)

“Siapa yang percaya kalau sekarang saya jadi psikolog”, hmm itu adalah kata-kata pertama yang mungkin saya ucapkan ketika saya lulus kuliah. Tak pernah terbayangkan akan jadi apa saya ketika lulus kuliah, akan kah saya bekerja atau melanjutkan s2 atau bahkan langsung menikah dan tak menggunakan apa yang saya pelajari di fakultas saya.

Hmm namun kalau saya berangan angan saya ingin menjadi praktisi di bidang psikologi anak. Menyenangkan bisa bermain bersama anak-anak, menuntaskan kasus permasalahan, meringankan beban orangtua anak, dan yang terpenting membuat kehidupan si anak menjadi lebih baik lagi. walau memang sebuah kewajiban psikolog membantu tapi bagi saya sangat menyenangkan untuk melihat orang lain bahagia terutama anak-anak.
Di dalam kelas teknik wawancara mungkin adalah bagian dalam hidup saya sebagai langkah menuju cita-cita, bagaimana bisa seorang individu mempraktekan keahlian teorinya kedalam kehidupan jika tak pernah berlatih.
Kemarin dalam beberapa minggu saya melakukan praktek teknik wawancara, hmm memang sih tidak ada kasus anak seperti yang saya inginkan tapi ada kasus untuk anak remaja, kali itu saya menangani kasus anak yang sering telat datang ke sekolah, anak ini juga sering tertidur di kelas ditambah nilai pelajarannya dibawah rata-rata. Nah disini saya langsung berpikir saya berperan sebagai individu yang menyelesaikan masalah si anak. Menyenangkan rasanya bagi saya mendengarkan anak itu bercerita tentang masalahnya,
Tapi karna ini praktek yang disengaja klien saya anak sekolah ini langsung menceritakan dan terbuka pada saya mungkin akan lain ceritanya bila dikehidupan nyata. Mungkin akan banyak klien yang tertutup dan sulit langsung menceritakan masalahnya. Tapi di proses praktek kemarin saya mendapat pelajaran pembinaan rapport merupakan hal penting untuk membangun sebuah keintiman dan kenyamanan. Mendengarkan dan memperhatikan klien juga merupakan hal penting karna klien merasa dianggap dan dihargai sebagai manusia. Di dalam praktek ini saya jadi menyadari ternyata mendengar dan mendengarkan sangat berbeda disini saya jujur butuh konsentrasi tinggi untuk mendengarkan klien yah guna nya merangkum, mengaitkan cerita dan menggali perasaan klien.
selain berperan sebagai praktisi pendidikan yang menangani permasalahan anak remaja saya juga berperan sebagai praktisi di bidang PIO, nah disini saya menempatkan diri sebagai HRD. jujur saat praktek saya jauh lebih relax menghadapi klien yang notabenenya adalah teman kelas saya sendiri, dan mungkin juga saya merasa pada posisi yang tak terlalu sulit menghadapi klien di perusahaan. hanya pelajaran yang saya dapat dari praktek ini berbeda dari saat saya menjadi praktisi pendidikan. disini saya dihadapkan dengan orang yang sama sekali saya tidak kenal dan saya sudah langsung menjuidge diri individu tersebut layak atau tidak masuk perusahaan tempat saya bekerja. disini waktunya saya memakai keprofesionalitasan saya dan tidak melibatkan subyektifitas penampilan.
terakhir dalam praktek teknik wawancara ini saya menjadi seorang praktisi di bidang klinis. wah, disini baru saya sedikit merasakan bahwa menjadi seorang psikolog itu sulit adanya. disini saya harus tetap tenang mendengarkan masalah dari klien saya yaitu dengan permasalahan depresi kehilangan pasangan yang sangat dikasihinya karena kanker otak tanpa terlalu terbawa perasaan. yah walau saat itu hati saya juga ikut terenyuh mendengarkan kisah hidupnya. disitu saya mencoba memposisikan diri sebagai klien tanpa terlalu banyak bertanya dan membiarkan klien bercerita sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya.
setelah ketiga praktek lab yang saya jalani saya sadar harus serius dan memakai perasaan suka saya terhadap profesi yang nantinya akan menjadi profesi saya, kalau tidak semua akan menjadi terasa berat.
“Bukankah nanti di dunia nyata semua tak akan semudah ini?” -NP-
27 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar