Senin, 16 Juni 2014

Pengalaman Berarti dan Mendidik (Maria Gracia Herlyn)

    Pada kesempatan kali ini, saya mau berbagi kisah mengenai pengalaman saya dalam praktek teknik wawancara. Praktek ini dilakukan dua hari dalam dua minggu yang berbeda. Tujuan dari praktek ini, agar mahasiswa dapat memahami dan mempraktekkan langsung peran sebagai profesi psikolog (pendidikan, PIO, dan klinis), observer, dan klien. Di minggu yang pertama, kelompok saya kebagian hanya menjadi psikolog pendidikan. Di pagi-pagi buta, saya sudah mempersiapkan baju formal layaknya seorang psikolog profesional. Deg-degan, gugup, cemas, gorogi menjadi satu dalam pikiran saya. Takut dan bingung saya bisa bayangkan saat menjadi pewawancara.

    Dalam perjalanan menuju kampus, pedoman wawancara saya pegang terus. Tapi, tidak saya baca sama sekali. Sampai di kampus, psikosomatis menyerang saya. Bolak balik ke WC karena ingin buang air kecil sudah saya lakukan sebelum memulai, ditambah sakit perut yang mengganggu. Awalnya, saya menjadi observer. Saat di dalam ruangan observer yang gelap dan dingin, saya kebagian di tempat duduk yang alat pendengarnya rusak. Jadi, saya pakai insting mata saja untuk melihat teman saya yang sedang beraksi menjadi pewawancara dan klien di dalam ruangan.
    Beberpa menit setelah itu, kelompok saya kebagian menjadi pewawancara. Saya kaget, deg-degan, dan panik melanda. Mempersiapkan klien dengan alur cerita yang kelompok kami telah siapkan, untung saja kami dapat kelompok klien yang dapat bekerja sama dengan baik. Sesampainya saya di ruang wawancara, tangan saya mulai gemetaran. Saya mendapatkan ruangan yang dipojok, terang, dan dingin. Akhirnya, wawancara dimulai.
     Klien saya mengetuk pintu, saya membukakan pintu, mempersilahkan masuk, duduk, dan memberikan salam. Rapport saya berikan kepada klien, karena setting pendidikan, saya membayangkan dia memang benar-benar seorang siswi sekolah. Akhirnya, tidak terasa saya merekam percakapan sampai 11 menit. Saya kaget, kok bisa selama itu dan pedoman wawancara saat di dalam saya tidak pakai sama sekali. OKE, minggu pertama sebagai psikolog pendidikan selesai.
     Refleksi saya mengenai dibang pendidikan, karena saya lebih tertarik dibidang ini membuat saya menjadi mudah untuk melakukan probing. Kontak mata saya dengan klien saya jaga, namun sampai saya lupa untuk menulis bagian mana cerita klien yang penting. Di pertengahan wawancara, kaknya tangan saya berkurang sehingga saya mampu untuk menulis, catatan kecil mengenai wawancara. Dilanjutkan sebagai klien dan melanjutkan kelas matakuliah lainnya.
    Minggu kedua ada tanggal merah, jadi kelas tidak ada. Dan tibalah minggu ketiga, saya harus menjadi pewawancara, observer, dan klien dibidang klinis dan PIO. Seperti minggu sebelumnya saya gugup, grogi, cemas, psikosomatis, dan deg-degan melanda sesampainya saya di kampus. Akhirnya, kelas dimulai, diawali dengan bidang klinis, kelompok saya kebagian sebagai oberver. Setelah itu, langsung menjadi pewawancara, panik dan panduan wawancara yang sudah saya baca, saya hampir lupa semuanya. Tapi, saya berdoa agar Tuhan bantu saya saat mewawancara. Akhirnya, seperti di minggu pertama, wawancara berjalan mulus walaupun gugup dan deg-degan. Setelah itu, menjadi klien dan melanjutkan ke setting PIO, karena kelompok saya tidak kebagian diminggu pertama.
    Setting PIO adalah bidang yang saya kurang srek, membuat saya menjadi lebih gugup. Akhirnya, kelompok saya kebagian menjadi pewawancara, lalu klien, dan terakhir observer. SELESAI. Lega serta pusing yang saya alami. Pusing itu diakibatkan setelah pulang dari kampus. Saya harus pergi ke panti asuhan untuk melakukan wawancara sesungguhnya dengan anak panti asuhan. Refleksi saya tentang setting klinis dan PIO adalah saya harus mau mencoba untuk menyukai bidang apapun. Harus belajar dari kekurangan dan harus jeli dalam menentukan jawaban klien yang dapat saya probing-kan. Walaupun tidak dipungkiri, gugup dan deg-degan selalu muncul saat mnjadi pewawancara.
    Jadi, saat melakukan wawancara harus siapkan pedoman wawancara yang terstruktur dengan baik, agar probing mudah untuk dilakukan. Latihan juga diperlukan, agar kita kira-kira tahu jawaban apa yang akan diberikan klien, walaupun latihan dengan teman sekelompok.

 "Jangan takut untuk mencoba, karena kalo kita tidak mencoba, kita tidak tahu apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan kita dalam hal apapun."

    Itu saja berbagi kisah yang saya bisa ceritakan dan semoga bermanfaat bagi para pembaca. Thank you, and see you. :D GBu..

28 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar