Minggu, 05 Oktober 2014

Pregnant? Ready or Not? (Lily Lee)

Yellow....uppss.. Helloo!!!

Balik lagi nih, hehehe.... Oke, minggu lalu saya sudah bahas mengenai sexual appealing, nah, kali ini saya mau coba bahas mengenai kehamilan dan aborsi nih.

Sebelum mulai nulis blog ini, saya jadi keinget sama beberapa kenalan saya yang seumuran dengan saya dan sudah menikah. Bahkan, ada juga yang sudah punya anak. By the way, anaknya lucu lhoo... Hehehe...
Nah, yang saya pikirkan adalah apakah yang dirasakan oleh pihak wanita saat mereka tahu ada sebuah (atau lebih, barangkali kembar) nyawa lain yang hidup di dalam tubuhnya?
Terus saya bertanya lagi, kalau yang hamilnya "terpaksa" bagaimana ya? Apa yang mereka rasakan?
Hmmm....

Nah, yang saya mau bahas sedikit kali ini tentang persiapan kehamilan, readers. Persiapan kehamilan itu penting lho! Bagi beberapa calon ibu yang memahami hal ini pastinya telah mempersiapkan dirinya secara fisik dan mental dalam menghadapi kehamilan, kelahiran hingga membesarkan anaknya. Bahkan, calon ibu juga harus mempersiapkan diri dalam menghadapi kehilangan anaknya.
Siap menerima, juga harus siap melepas. Ya kan.

Saat hamil, banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh calon ibu. Diawali dengan mual dan muntah, perubahan bentuk tubuh (yang tadinya langsing, berubah jadi buncit), hingga mudah lelah. Sebagai calon ibu yang penuh persiapan harusnya sudah mempersiapkan dirinya dalam menyambut calon bayi. Misalnya menyiapkan diri secara fisik dengan banyak makan makanan yang bernutrisi dan berolahraga ringan. Selain itu, calon ibu juga mempersiapkan dirinya secara mental, misalnya dengan yoga dan menikmati waktu santainya dengan berkomunikasi dengan calon bayi yang masih di perut.

Itu baru pas hamil, belum lagi pas sudah dekat waktu kelahiran. Biasanya sih calon ibu yang baru pertama kali punya anak akan merasa gelisah dan cemas saat sudah dekat waktu kelahiran. Tapi selain merasa gelisah dan cemas, mereka juga excited dengan kehadiran anak mereka. Untuk mengatasi hal ini, calon ibu bisa juga ditemani oleh calon ayahnya untuk berkumpul dengan kerabat atau teman dekat yang sudah berpengalaman untuk sharing bareng. Hal ini bisa membantu calon ibu yang akan melahirkan jadi lebih tenang karena setidaknya dapat membayangkan situasi saat melahirkan. Memberikan dukungan secara emosional gituhh...

Habis melahirkan, ada juga permasalahan lainnya. Biasanya sih muncul pada ibu yang belum siap dengan perubahan fisik dan mental pasca melahirkan. Intinya belum siap punya anak. Ada yang pernah mendengar kasus seorang ibu yang membunuh anaknya dan mengaku melakukannya secara tidak sadar? Nah! itu merupakan bentuk ketidaksiapan ibu secara mental setelah melahirkan. Hal ini disebut dengan postpartum psychological psychosis. Postpartum psychological psychosismerupakan kasus terberat karena perubahan psikologis pasca melahirkan.Postpartum psychological changes umum terjadi pada ibu setelah melahirkan, tetapi yang membedakanny adalah lama periode postpartum dan tingkat keparahannya. 

Eittss.. Tapi masalah tidak berhenti sampai situ saja. Masalah juga dapat muncul setelah kelahiran bahkan akan terus muncul di sepanjang hidup. Kayak lagi main game, setiap level pasti ada problemnya. Cuma kalau dijelasin semua disini gak cukup juga. Hehehe.. Tapi yang di lihat jangan masalahnya saja, bahagianya juga ada kok :D

Balik lagi ke pertanyaan saya yang kedua, bagaimana dengan calon ibu yang tidak siap? Atau "terpaksa" jadi calon ibu? Misalnya, karena suatu hal yang kurang menyenangkan dan berakhir dengan terjadinya kehamilan.
Munculnya (hamil) saja tiba-tiba dan tidak menyenangkan, bagaimana nikmatin hamilnya?
Bagus kalau bisa akhirnya menyesuaikan dirinya buat kehamilan, kalau tidak? Bisa-bisa digugurin alias aborsi! Nah lhooo...

Saya jadi ingat dengan pemberitaan bulan lalu yakni mengenai Peraturan Pemerintah mengenai legalisasi aborsi di Indonesia. Berdasarkan PP tersebut legalisasi aborsi dilarang, kecuali untuk 2 keadaan, yakni gawat darurat medik dan kehamilam akibat pemerkosaan. Aborsi akibat pemerkosaan dapat dilakukan dengan berdasarkan pembuktian ahli dan usia kandungan tidak lebih dari 40 hari terhitung sejak hari pertama dari haid terakhir.

Yang menarik perhatian saya adalah, apakah dengan berlakunya legalisasi aborsi akibat pemerkosaan akan menjadi solusi yang baik bagi ibu yang "terpaksa" hamil?
Jangan dipikir dengan aborsi, seseorang akan merasa lebih baik. No no no.. BIG NO! 

Ya, memang setelah aborsi, si ibu akan merasa lebih lega, terhindar dari rasa malu dan takut tidak diterima karena telah "menyingkirkan" hal yang tidak diharapkannya, tetapi di lain sisi juga merasakan emosi negatif seperti rasa cemas, menyesal, hingga depresi karena merasa telah membunuh. Karena telah melawan nilai moral yang dianutnya.

Sekarang balik ke readers, menurut readers mau mendukung atau tidak. Kalau saya sih tidak setuju dengan PP tersebut, secara ujung-ujungnya membunuh juga. Lagipula, bukan lebih baik dilahirkan lalu di adopsi oleh orang lain daripada dibunuh dan menghancurkan kesempatan hidup si bayi. Lalu lebih baik lagi apabila pemerintah lebih menegaskan hukum terhadap pelaku pemerkosaan untuk menekan angka kejadiannya sehingga tidak terjadi tindak perilaku pemerkosaan. Yang salah bukan bayinya toh, tapi kenapa dia yang dibunuh. So, STOP ABORTION!

29 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar