Kamis, 01 Mei 2014

Basic & Important Things in Interview (Kartika Putri Budiyanto)


Menjadi seorang pewawancara yang baik itu tidaklah mudah, dibutuhkan keahlian khusus, bukan hanya kita bisa menanyakan suatu pertanyaan yang kritis dan itu-itu saja kepada subjek. Menjadi pewawancara yang baik itu membutuhkan banyak aspek, baik dari si pewawancara maupun yang di wawancara. Tetapi yang terutama itu adalah sang pewawancara harus bisa menyesuaikan diri dengan yang di wawancara dan harus bisa juga mengendalikan situasi, karena sang pewawancara harus dapat membuat yang di wawancara menjadi senyaman mungkin sehingga tercipta kepercayaan dan kenyamanan yang dapat membuat orang yang diwawancara dapat memberikan jawaban yang optimal dan sesungguhnya. Penciptaan suasana nyaman ini disebut dengan rapport. Dalam pembinaan rapport ini, sikap interviewer merupakan kunci dari terciptanya kenyamanan, lalu sang interviewer juga janganlah menunjukkan muka yang datar atau yang biasa disebut dengan "poker face", karena itu tidak akan memberikan kenyaman bagi orang yang diwawancara, coba saja anda bayangkan bila anda sedang di interview oleh seseorang  yang berbadan besar, tegap, kekar, berkumis seperti pak raden dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan hal personal tetapi dia mengeluarkan ekspresi muka yang datar, apakah anda akan nyaman dengan hal tersebut? tidak bukan? maka dari itu seharusnya kita menunjukkan ekspresi muka yang berbeda seperti menunjukkan rasa empati, tertarik ataupun perduli kepada jawaban dari sang narasumber sehingga itu akan membuat dia lebih merasa nyaman dan ceritanya didengarkan. Selain itu kita juga harsulah memperhatikan hal-hal kecil yang terdapat di sekitar kita, contohnya : kursi dengan tinggi yang setara supaya sang narasumber tidak merasa ia sedang diintimidasi oleh kita, kita juga harus memusatkan perhatian kita pada klien supaya ia dapat merasa bahwa ia sedang didengarkan, oleh karena itu kita harus menjaga sikap kita di depan klien. kita juga harus berusaha menempatkan kita dalam posisi sang klien tetapi jangan terlalu berlebihan dan sok-tahu. Kita boleh sedikit menyelipkan humor diantara percakapan tersebut tetapi jangan teralu berlebihan, karena dapat menyinggung perasaan klien karena kita seperti tidak menghargai dan mengerti kondisi klien, pemakaian bahsa juga sebaiknya di perhatikan dan diawasi penggunaannya, jangan menggunakan bahasa yang teralu formal tetapi jangan menggunakan bahasa yang terlalu gahul juga.

Sebelumnya dijelaskan bahwa kita harus menunjukkan empati kepada sang klien. Empati akan terjadi ketika rapport itu berjalan dengan baik, karena kita dapat menghayati apa yang di ceritakan oleh klien dan seolah-olah kita merasakan apa yang dialaminya, tetapi kita juga tidak boleh membenarkan semua pernyataan yang dinyatakan oleh klien karena itu akan membuat dia merasa over-confidence.

Kita sebagai interviewer harus bisa menjadi seorang yang aktif mendegarkan, bukanlah yang aktif berbicara kepada klien. Karena bila kita yang aktif berbicara kepada klien, mungkin sebaiknya kita yang harus membayar klien karena dia yang mendegarkan seluruh keluh kesah kita. Hal ini termasuk dalam Attending behaviour, sebenarnya attending behaviour itu terdiri dari 4 dimensi yaitu :
 -visual : jaga pandangan kita ke klien, jikalau kita jenuh memandang matanya, kita sebaiknya memandang mulai dari hidung ke atas termasuk hidung, mata, alis, dan dahi.
-vocal qualities : jaga nada bicara kita supaya kita menunjukkan bahwa kita teratarik dengan apa yang klien bicarakan.
-verbal tracking : kita harus bisa mengikuti arah pembicaraan sang klien, jikalau memang sudah terlalu melenceng dari topik utama ada baiknya kita membimbing klien untuk kembali ke topik utama ataupun mengganti ke topik yang lain.
-body language : bahasa tubuh kita juga dapat dilihat secara visual oleh klien, oleh karena itu kita sebaiknya menunjukkan bahwa kita tertarik dengan cerita dari klien  dengan menunjukkan sikap bahwa kita tertarik, contohnya seperti kita mencondongkan badan ke depan,dll.

Dalam sebuah wawancara pastinya kita akan sering menayakan suatu hal kepada sang klien, tetapi menanyakan hal itu tidak boleh sembarangan. Hal ini disebut dengan tekhnik bertanya atau "questioning technique".  Ada 2 hal yang termasuk dalam questioning technique, yaitu open question dan closed question, dimana open question itu adalah hal yang lebih baik untuk digunakan dibandingkan dengan closed question karena jika kita menggunakan open question kita tidak akan dianggap mengarahkan klien, klien juga diperbolehkan mengeskpresikan ekspresinya dengan bebas, dan dengan open question kita  juga akan mendapatkan lebih banyak informasi. Sedangkan closed question adalah pertanyaan yang sifatnya mengarahkan dan sebaiknya dihindari. Selain itu kita juga baiknya menghindari bertanya terlalu banyak, hindari juga pertanyaan yang seakan-akan menginterogasi sang klien dan mengendalikan klien. Jangan menggunakan pertanyaan dengan kata "kenapa?" karena hal itu seakan men judge sang klien, contoh dari abuse question adalah jika kita bertanya kepada klien "kenapa kamu tidak bisa duduk dengan diam?" padahal seharusnya kita menanyakan "apakah ada yang salah dengan tempat duduknya?"

Kita juga harus bisa memperhatikan gerak gerik sang klien dimulai dari ekspresi dari raut mukanya apakah ia senang atau tidak ditanyakan pertanyaan yang bersifat personal? bagaimana dengan gerakan yang diciptakan oleh tubuhnya? apakah ia mengeluarkan atau menunjukkan tanda-tanda penolakkan seperti menutupi dan membatasi diri atau memundurkan badan sebagai tanda dari penolakan? Tetapi kita juga harus memperhatikan dan berhati-hati dengan gerak gerik kia sendiri sebagai interviewer jangan sampai kita menunjukkan tingkah laku yang membuat klien menyadari bahwa kita merasa lelah atau jenuh. Hindari juga stereotyping kepada klien tersebut. Kita juga harus memperhatikan kata-kata yang kerap kali diucapkan oleh klien, contohnya "kenapa sih?" ataupun "saya stress" karena pemilihan kata yang terus diulang itu adalah penting.

Bila klien sedang dalam masalah ataupun depresi, ada baiknya kita memberikan rasa empati dengan hal yang verbal seperti kita ikut mendukung dan membantu dia melewati masalah tersebut meskipun hanya lewat kata-kata, meskipun di mata orang lain itu tidak berarti apa-apa, tetapi bagi klien itu akan memberikan dorongan mental yang sangat membantu dia. Kita juga tidak boleh menirukan apa yang dikatakan klien secara terus menerus, hal ini desebut dengan "efek burung beo" atau dalam bahasa jawa "parroting"

16 Maret 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar