Minggu, 18 Mei 2014

"Amoy" (Elaine Magracia Wingardi)


"Amoy" biasanya panggilan asal-asalan yang ditujukan kepada gadis keturunan Tiong-hoa yang matanya sipit dan kulitnya putih. Disini saya akan menceritakan kenapa jangan menoleh kalau dipanggil "Amoy". Selain panggilan itu terlalu rasis menurut saya, lagipula memang tidak sopan memanggil seseorang yang tidak dikenal dengan cara seperti itu. Sepertinya sama saja bentuk pelecehan seksual secara oral, sejenis dengan siulan ataupun panggilan lain dari pria untuk wanita tidak dikenal yang lewat di depannya.Walaupun belakangan saya tahu kalau "amoy" itu artinya cantik. Haruskah para "Amoy" mengucapkan terima kasih? Saya rasa tidak. Selain itu, ada pengalaman kurang enak yang pernah saya alami terhadap panggilan tersebut.
Mata kuliah perilaku seksual minggu ini membahas mengenai berbagai gangguan perilaku seksual seperti fethisism, sado-masochism, exhibitionism, dan lain-lainnya. Pembahasan tersebut mengingatkan saya tentang pengalaman yang pernah saya alami, maka tulisan kali ini akan saya gunakan untuk berbagi mengenai pengalaman saya tersebut. Dua kali bertemu dengan seorang yang exhibionism. Dengan pengalaman yang hampir sama persis.
Pertama, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, kira-kira berusia 8 tahun. Saat itu saya masuk kelas pukul 12.15 siang. Sekolah saya tidak mengijinkan para pedagang untuk berjualan di luar arena sekolah. Karena itu saya berjalan ke luar sekolah. Saat itu saya memutuskan untuk berjalan sekitar 25 meter dari luar gerbang sekolah untuk mencapai tempat jajan favorit yang berada di sekolah tetangga, yaitu pisang molen mini. Membelinya dengan harga 3000 rupiah dan saya berhasil mendapatkan 10 buah. Rasanya senang sekali.
Setelah selesai, saya berbalik untuk kembali berjalan ke sekolah saya. Baru berjalan sekitar 4 meter, suara seorang pria dewasa memanggil saya dari belakang “Amoyy…!!”. Reflek saya menengok ke belakang, ternyata seorang bapak-bapak yang berpakaian kemeja dan celana bahan dengan retsleting terbuka yang memanggil saya. Tangan kirinya menggenggam kemaluannya, menunjukkannya, dan tersenyum pada saya (bagian ini tidak lagi begitu saya ingat jelas, bahkan saya tidak pernah ingin megingatnya dengan jelas). Saat itu saya hanya bisa kembali membalikan badan, menggenggam erat bungkusan makanan saya, dan berjalan pelan untuk kembali ke sekolah.
Saya sadari suhu tubuh saya menjadi panas dan sangat tidak nyaman. Betapa saya membenci pria tersebut dan memakinya dalam hati “Gak tau malu banget siihh!!!!”. Sesampainya di sekolah, saya menangis di kamar mandi. Saya merasa malu terhadap diri saya sendiri, dan tentunya merasa bodoh karena menengok untuk panggilan yang tidak di kenal. Lagi pula, belum, tentu saya adalah “Amoy” yang di maksud. Tapi namanya juga reflek, apalah daya. Sepulang ke rumah saya menceritakannya pada ibu saya tercinta, beliau menjelaskan pada saya bahwa pria seperti itu memang sakit jiwa. Ada beberapa orang gila yang memang senang menunjukkan alat kelaminnya. Bahkan beliau menceritakan bahwa baru beberapa minggu lalu pembantu saya pulang ke rumah dengan menangis karena baru saja bertemu dengan pria yang sejenis.
Saat itu saya menjadi lebih mengerti. Walaupun pengetahuan saya tidak sedalam setelah sekarang memasuki pendidikan psikologi. Tapi setidaknya apa yang dikatakan ibu saya telah menyadarkan saya bahwa tidak ada gunanya merisaukan pria tersebut. Mungkin itu juga bukan kemauannya sendiri, harusnya malah dikasihani. Karena rasa malunya sudah hilang sampai harus memamerkan kemaluannya.
Waktu berjalan, tidak lagi saya menemukan kejadian spesifik yang seperti itu denganexhibitionist. Hanya melihat orang gila yang tidak berpakaian di jalanan memang sering, tapi tidak lagi ada panggilan “Amoy” yang berkelanjutan “pameran yang tidak senonoh”. Sampai akhirnya, sekitar 3 bulan lalu.
Pagi sepi, terlihat dari atas jembatan kalau jalanan tidak begitu macet, dan udaranya sejuk. Saya berjalan kaki selama sekitar 7 menit untuk menuju ke kampus. Seperti biasanya saya akan berjalan di atas jembatan untuk menyebrang. Jembatannya cukup panjang dan saat itu sepi, betul-betul sepi dan hanya saya seorang diri (setidaknya sepengelihatan saya tidak ada orang lain selain saya). Saya berjalan menyusuri jembatan tersebut, fokus pengelihatan saya ke arah kiri. Sudah hamper sampai di ujung jembatan, dan panggilan asing kembali terdengan “Amoyy….”. Reflek itu terjadi lagi, saya menengok ke kanan. Tepat di sebelah kanan saya terdapat seorang pria berjaket hitam, celana denim cokelat dan retsletingnya terbuka. Tangan kanannya memegang alat kelaminnya dan ia tersenyum pada saya.
Oh Tuhan! Tidak lagi… panggilan yang sama, kejadian yang sama. Mungkin setelah ini saya tidak akan pernah menengok untuk panggilan “Amoy” lagi. Saat itu saya hanya meliriknya dengan ekspresi wajah yang bingung, dan kembali melanjutkan perjalanan saya dengan “santainya” (gaya aja jalan ampe ujungnya pelan-pelan, padahal udah di tangga mah lari juga siihh). Tapi karena saya sudah banyak mendengarnya di psikologi, saya menjadi lebih terbiasa dan mencoba menghadapinya dengan lebih tenang.
Jadi, apa itu exhibitionism? Itu adalah kondisi di mana seseorang mendapatkan kepuasan seksual bila berhasil menunjukkan alat kelaminnya pada orang lain dan kepuasannya muncul dari rasa takut yang dimunculkan oleh korbannya. Kesimpulannya, semakin korban berteriak, makla pelaku akan semakin senang dan puas. Biasanya gangguan ini muncul pada orang-orang yang merasa tidak percaya diri secara seksual. Maka memamerkannya akan menjadi cara untuk memastikan apakah ukuran “kepunyaan” mereka cukup membuat orang lain menyukainya, terkejut, dan takut atau tidak.
Pelaku exhibitionist tidak hanya pria, tapi juga bisa wanita yang memamerkan bagian-bagian pribadi tubuhnya. Para exhibitionist dapat mencapai kepuasan hanya dengan melihat reaksi dari korban tanpa harus banyak melakukan stimulasi pada alat kelaminnya. Dari sinilah, cara paling ampuh dalam menghadapi para pelaku exhibionist adalah dengan mengabaikan mereka dan tidak memberikan reaksi takut sama sekali. Bila anda berani dan tega, lakukanlah tatapan atau perkataan “menghina” atau “merendahkan” terhadap alat kelamin pelaku, karena hal ini akan menurunkan self-esteem pelaku. Misalnya memberikan senyum meledek dan berkata “gak jelas banget sih”, atau mungkin “yaelaaah, segitu doank”. Ini akan sangat berdampak pada kepercayaan diri mereka sehingga akan menurunkan intensitas perilaku mereka. Sebaliknya, bila korban memberikan pujian ataupun biasanya lari ketakutan, maka akan semakin di kejar dan pelaku merasa senang. Walaupun sebenarnya pelaku exhibionist sangat kecil kemungkinannya untuk melakukan pemerkosaan pada korban. Karena bukan itu letak kepuasan seksualnya.
Jadi harus bagaimana kalau bertemu dengan para pelaku tersebut? Paling aman ya mencoba bersikap santai dan biasa saja, anggap saja tidak ada mereka, dan sebisa mungkin tidak menampilkan perubahan perilaku selama di depan mereka. Bila pengalaman panggilan “Amoy” saya saat SD kembali di kaji, saya rasa saya sudah melakukan cara yang cukup tepat saat itu dengan sama sekali tidak berlari, namun hanya tetap berjalan santai. Walaupun setelahnya saya menangis, namun setidaknya tdak di depan pelaku. Begitupun tindakan yang saya lakukan dalam kejadian “Amoy” pada pelaku exhibionist di jembatan. Tapi tentunya saya sama sekali tidak berharap untuk bertemu dengan orang-orang yang sejenis itu lagi.

10 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar