Selasa, 30 April 2013

Appreciate what do you have (Aris Nugraha)

     Apa yang terjadi ketika kita mendengar kata "sexual dysfunction" atau disfungsi seksual? Pemikiran kita pasti tentunya mengenai penyakit-penyakit yang berhubungan dengan alat kelamin pria atau wanita. Saya juga memikirkan hal yang sama di awal presentasi. Namun, yang dimaksud dari disfungsi seksual tidaklah selalu mengarah pada penyakit-penyakit menular seksual. Namun, hal ini juga dapat berarti kesulitan mencapai orgasme, ejakulasi dini, ketakutan tidak mampu untuk memuaskan pasangan, dan lain-lain.
     Di dalam pernikahan, setiap orang pasti mengharapkan mampu untuk memuaskan pasangannya. Sexual dysnfunction ini dapat dipengaruhi secara biologis ataupun psikologis. Secara biologis, ini dapat dipengaruhi oleh penyakit-penyakit yang dimilikinya sehingga mempengaruhi performance-nya dalam memuaskan pasangannya. Secara psikologis, mungkin adanya ketakutan tidak mampu untuk memuaskan pasangannya atau juga adanya ketakutan untuk melakukan hubungan seks sehingga adanya kram atau kekejangan pada otot. Hal ini umumnya terjadi pada wanita yang menyebabkan vaginanya tertutup atau dalam istilahnya dikenal dengan nama vaginismus.
     Vaginismus ini tidak hanya terjadi pada pasangan yang baru saja menikah. Namun, dapat terjadi pada korban pemerkosaan yang dimana adanya paksaan dari pelaku untuk melakukan hal tersebut. Pemaksaan untuk memasukkan penis ke dalam vagina dapat memberikan rasa sakit yang luar biasa. Untuk mengatasi vaginismus, treatment dari dokter sangat penting untuk mengurangi kekejangan pada otot vagina.
     Selain secara psikologis, penyakit yang secara biologis dapat menyebabkan sexual dysnfunction dimana orang akan kurang memiliki gairah untuk melakukan hubungan seks. Gangguan ini mungkin dikarenakan rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit, seperti diabetes, jantung, kanker, asma, dan lain-lain. Sexual dynsfunction yang disebabkan oleh gangguan biologis menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap sexual dysnfunction dibandingkan dengan
“The relationship between commitment and doubt is by no means an antagonistic one.
Commitment is healthiest when it is not without doubt, but in spite of doubt.” By Rollo May.

 3 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar