Selasa, 04 Desember 2012

sebuah tulisan terakhir untuk psikologi perempuan (Dionisius Ferdi Weros)

Tulisan ini merupakan tulisan terakhir saya untuk kelas Psikologi Perempuan. Saya akan membahas dua buah fenomena yang merupakan bentuk kekerasan lain yang sering dialami oleh wanita yaitu trafficking (perdagangan manusia) dan kekerasan yang dialami oleh wanita di panti werdha.

Pertama, saya akan membahas mengenai fenomena trafficking. Saat membahas fenomena ini, saya teringat dengan naskah pementasan teater SMA saya yang berjudul "SINGKAWANG" (teraSING di KotA WAnita terbilANG). Pementasan ini bercerita tentang kehidupan sekumpulan anak muda di kota Singkawang yang mayoritas ditinggali oleh etnis Cina. Kisah ini dimulai ketika salah satu wanita berasal dari kota tersebut "dinikahkan" dengan pria dari Taiwan pada usia yang sangat muda. Selanjutnya, pementasan bercerita tentang kehidupan sehari-hari teman-teman wanita yang "dinikahkan" tersebut. Selain itu, pementasan juga bercerita tentang orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis "pernikahan" tersebut. Cerita bergulir dan akhirnya menyebabkan tragedi di kota tersebut.

Kenyataannya memang kota Singkawang menjadi salah satu pemasok wanita untuk "dinikahkan" dengan pria dari Taiwan. Alasan utama mengapa fenomena ini terus terjadi adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan yang melanda kota Singkawang menyebabkan banyak warga tidak mampu untuk berpikir panjang untuk segera menjual anak perempuannya kepada pria Taiwan. Minimnya pembangunan di daerah tersebut membatasi lapangan kerja dan korupsi yang menguasai daerah tersebut memperlancar praktik seperti ini. Pada pementasan teater digambarkan bahwa kepala desa ternyata bekerja sama dengan orang yang melakukan bisnis penjualan manusia tersebut.

Faktor persamaan etnis yaitu sama-sama beretnis Cina bisa juga memperkuat keinginan warga untuk menjual anaknya. Orangtua menganggap karena pria Taiwan tersebut beretnis Cina maka akan memperlakukan dengan baik anak perempuannya yang juga beretnis Cina, walaupun tidak demikian. Memang ada wanita yang beruntung mendapatkan suami yang baik saat tiba di Taiwan. Akan tetapi, tidak sedikit pula wanita yang "dinikahkan" tersebut malah mengalami kekerasan rumah tangga dan berusaha keras untuk kembali ke kampung halamannya. Secara umum, fenomena trafficking banyak mempunyai efek negatif. Hal ini juga serupa dengan pengiriman TKI secara gelap ke negara-negara yang membutuhkan pembantu rumah tangga. Tidak sedikit kita melihat TKI yang mengalami penyiksaan secara sadis dari majikannya. Namun, sekali lagi kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada TKI yang memperoleh kesuksesan setelah bekerja di luar negeri. Kita dapat melihat dari penggambaran di atas bahwa fenomena trafficking memiliki banyak sekali bentuk mulai dengan "pernikahan" paksa, pengiriman TKI illegal, dan masih banyak bentuk lainnya.

Penulis menilai bahwa human trafficking adalah fenomena yang tidak dapat didiamkan begitu saja oleh pemerintah. Bisa saja korban human trafficking dipekerjakan sebagai pelacur, pembantu rumah tangga, pekerja di bawah umur, dan lain-lain. Korban juga direngut kebebasannya oleh para pelaku human trafficking. Penulis melihat bahwa hal yang paling mengerikan dari fenomena ini adalah manusia diperlakukan sebagai barang, bukan sebagai individu yang mempunyai kehendak. Bagi penulis, perdagangan manusia menunjukkan sisi tergelap manusia yaitu manusia memakan manusia lainnya.

Fenomena kedua yang saya akan bahas adalah penelantaran yang dialami oleh wanita di panti werdha. Salah satu bentuk kekerasan yang tidak memiliki efek fisik secara langsung adalah penelantaran. Hal ini sering dialami oleh kakek dan nenek yang tinggal di panti werdha. Penelantaran dimulai oleh para anak dari kakek dan nenek tersebut karena merasa kerepotan mengurus orangtuanya. Hal ini menyebabkan mereka memutuskan untuk mengirim orangtua mereka ke panti werdha. Lalu, perlahan-lahan mereka akan lebih jarang mengunjungi orangtua mereka. Bagi penulis, hal ini merupakan suatu fenomena yang cukup menyedihkan.

Penelantaran ini memiliki efek yang sangat buruk bagi kakek nenek tersebut secara psikologis tentunya. Rasa sakit hati, sedih, kecewa, putus asa, rendah diri, dan perasaan negatif lainnya bercampur menjadi satu dalam diri mereka. Selain itu, berdasarkan pengalaman yang diceritakan oleh Ci Tasya, banyak kakek nenek yang tinggal di panti werdha mengalami kekerasan oleh para pegawainya. Faktor minimnya bayaran dan pelatihan menyebabkan kakek dan nenek yang tinggal di panti werdha mengalami penderitaan. Mereka sering diperas oleh pegawai panti werdha tersebut. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula, merupakan peribahasa yang paling mengungkapkan fenomena ini.

Melihat fenomena-fenomena seperti ini sebagai seorang mahasiswa psikologi, penulis merasa harus memberikan sumbangan bagi perbaikan panti werdha seperti ini. Peningkatan pelatihan bagi pegawai dan bayaran yang lebih pantas bisa meminimalisir kekerasan seperti ini. Selain itu, tidak kalah penting edukasi terhadap anak-anak dewasa yang merasa kerepotan mengurus orangtuanya. Sering kali karena perasaan kesal sederhana, misalnya karena orangtua terlalu bawel, dapat mendorong anak untuk menelantarkan orangtuanya di panti werdha. Tentu edukasi menjadi sangat penting dan usaha untuk saling memahami antara anak dewasa dan orangtuanya sangat dibutuhkan.

Kedua fenomena di atas adalah fenomena yang dapat dicegah, tetapi dibutuhkan sekali usaha bersama untuk mencegahnya. Pada akhirnya, penulis berharap melalui tulisan ini masyarakat dapat lebih menyadari bahwa banyak fenomena mengerikan seperti ini di sekitar mereka. Tentu dibutuhkan bantuan nyata untuk korban-korban human trafficking dan khususnya bagi korban kekerasan di panti werdha. Pemberian support bagi kakek dan nenek di panti werdha sangat penting sekali untuk diberikan.

Akhir kata, semoga melalui tulisan ini kita disadarkan bahwa ternyata di balik segala sesuatu mungkin saja tersimpan sesuatu hal yang tidak kita sadari sebelumnya.

3 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar