Selasa, 04 Desember 2012

Human Trafficking dan Panti Werdha Adalah Sebuah Pilihan... (Leni Kopen)


Pertemuan terakhir dalam Psikologi Perempuan membahas tentang Human Trafficking dan Kehidupan Lansia Perempuan di Panti Werdha. Walaupun kelas berakhir, semoga saja tulisan saya tidak berakhir sampai disini. Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Henny Wirawan dan Kak Tasya tercinta atas segala pembelajaran dan pengajaran serta pengetahuan yang saya dapatkan selama di kelas. Semoga tulisan saya bisa bermanfaat bagi para pembaca dan orang lain juga. Sebagai perempuan, kita harus berani dalam mengungkapkan aspirasi kita. Jangan hanya diam dan mau dianggap sebagai kaum yang lemah dan tak berdaya. Sejak Kartini mengumumkan emansipasi kaum perempuan, kita harus bisa belajar lebih baik, lebih mandiri, dan bertanggung jawab akan apa yang kita lakukan. Tetap semangat dalam menjalani hidup serta dukung para kaum perempuan yang masih banyak mendapatkan ketidakadilan di Indonesia bahkan di dunia.

 Human Trafficking atau perdagangan manusia menjadi kendala besar bagi bangsa Indonesia saat ini. Masalah ini tidak hanya menyerang salah satu daerah di Indonesia melainkan merambah hampir ke seluruh pelosok negeri kita ini. Perdagangan manusia ini umumnya menjadikan wanita dan anak sebagai korbannya. Kebanyakan diantaranya perempuan dibawah umur. Human trafficking atau perdagangan manusia merupakan suatu bentuk perbudakan baru dalam konteks kontemporer. Bentuk pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan dalam hubungan kerja  adalah ciri dari aktivitas human trafficking. Iming-iming akan kehidupan yang lebih baik merupakan salah satu pemicu makin suburnya aktivitas perdagangan manusia.

Bencana alam, tingkat pendidikan yang rendah, dan ketiadaan kemampuan atau keterampilan hidup adalah salah faktor yang mempengaruhi korban untuk terjerat dalam lingkaran kejahatan perdagangan manusia. Pada beberapa kasus, para pelaku human trafficking bertindak seolah-olah sebagai agen penyalur tenaga kerja yang akan menyalurkan para tenaga kerja pada perusahaan tertentu di luar negeri. Para korban yang berhasil selamat dan bersaksi telah mengakui, terjaringnya mereka dalam lingkaran sindikat perdagangan manusia justru karena tergiur akan banyaknya penghasilan yang akan mereka peroleh jika mereka bekerja di luar negeri. Tapi justru apa yang mereka alami jauh dari yang mereka bayangkan. Pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan justru menjadi hal yang harus mereka hadapi. Pada beberapa kasus yang ditemukan, para korban perdagangan manusia yang tidak berhasil diselamatkan selalu berujung pada kematian atau pada penyakit kejiwaan akibat kekerasan yang mereka alami.

Hampir 80 persen dari sekitar 6,5 juta pekerja migran kita adalah perempuan. Fakta ini memunculkan stigma dan persepsi di masyarakat, tenaga kerja Indonesia (TKI) identik dengan tenaga kerja wanita (TKW). Lebih spesifik lagi identik dengan pembantu rumah tangga (PRT). Sebagian dari mereka berpendidikan rendah sehingga banyak terserap ke sektor informal terutama PRT. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan membuat banyak perempuan, terpaksa menjadi TKW. Sebagian dari mereka ada yang berhasil menjadi tulang punggung keluarga, namun tidak sedikit yang menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia) dan beragam bentuk perbudakan lainnya di negeri orang. Hampir setiap hari kita bisa mendapatkan kabar duka dari para pekerja migran kita. Mulai dari pelecehan seksual, penyiksaan baik fisik maupun mental yang menyebabkan depresi, cacat, sakit, gila bahkan meninggal dunia. Belum lagi pelanggaran hak-hak lainnya seperti gaji yang tidak dibayar dan tidak adanya waktu libur (http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/15/human-trafficking-masih-menjadi-ancaman-serius-449897.html).

Migrant Care Indonesia memperkirakan sebanyak 43 persen atau sekitar 3 juta dari total buruh migran Indonesia adalah korban human trafficking. Data ini tidak hanya mencakup pekerja migran yang bekerja secara illegal namun juga mereka yang secara resmi mengikuti mekanisme pemerintah alias pekerja migran legal. Korban perdagangan manusia sangat rawan terhadap eksploitasi, baik secara seksual maupun kerja paksa. Sementara itu, secara umum Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, sepanjang tahun 2010 hingga 1 November, kasus penganiayaan yang menimpa TKI kita cukup tinggi. Yakni sebanyak 3.835 di 18 negara tujuan pengiriman. Ini yang berhasil didata. Kasus di lapangan dipastikan jauh lebih besar (http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/15/human-trafficking-masih-menjadi-ancaman-serius-449897.html).

Data yang lebih mencengangkan tentang kasus human trafficking di Indonesia dirilis oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2010 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking, negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak dan orang-orang yang menjadi sasaran human trafficking, khususnya prostitusi dan kerja paksa. Bukankah hal ini memalukan nama negara kita? Ini terjadi karena migrasi yang berlangsung di Indonesia adalah migrasi yang tidak aman, sehingga trafficking seakan menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri. Mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur, kemudian akses informasi yang tidak sampai ke basis calon buruh migran sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.

Pemerintah harus lebih memperhatikan dan memberikan batasan yang jelas dalam UU untuk perlindungan para pekerja migran dan TKI atau TKW serta penting pula untuk membuat UU dengan sejumlah negara tujuan terutama negara yang memiliki banyak catatan kasus praktik human trafficking seperti Malaysia dan Arab Saudi. Aspek hukum ini harus ditindaklanjuti dengan peningkatan daya saing dan kompetensi TKW untuk meningkatkan posisi tawar mereka saat bekerja di luar negeri. Termasuk pembekalan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja migran yang dilindungi oleh undang-undang. Para korban human trafficking yang masih di bawah umur pun harus diberi kesempatan untuk melanjutkan sekolahnya, agar mereka lebih berharga dan bisa mencapai cita-citanya. Seperti Risma yang menjamin sekolah korban human trafficking, Pemerintah seharusnya bisa meneladani tindakan Risma, dan sebagai pemimpin negara harus jelas jaminan dan hak atau kewajiban seorang TKI atau pekerja migran (http://www.gerakanantitrafficking.com/index.php?option=com_content&view=article&id=88:risma-jamin-sekolah-korban-trafficking&catid=41:jawa-timur&Itemid=82). Selain itu, jaminan akan ketersediaan mata pencaharian yang layak juga dapat sangat membantu mengurangi aktivitas perdagangan manusia. Jika negara mampu memberikan kepastian kelayakan hidup kepada warganya, maka niscaya warganya tak akan berpikir untuk mencari penghidupan di luar negeri dan dapat memutus mata rantai human trafficking. Cara ini telah dilakukan oleh Indonesia dengan membuat lembaga yang berkonsentrasi terhadap hal tersebut.

Berbicara tentang human trafficking termasuk ke dalam tindak kejahatan, penelantaran lansia pun termasuk dalam kejahatan. Pada dasarnya orang lanjut usia masih membutuhkan perhatian dan dukungan dari keluarganya sebagai tempat bergantung yang terdekat. Mereka ingin hidup bahagia dan tenang dihari tua serta masih ingin diakui keberadaannya. Namun seiring dengan bertambah tuanya individu, anak-anak dan teman-temannya juga semakin sibuk dengan masalahnya sendiri sehingga para lansia sering merasakan kesepian dan merasa tidak berharga. Selain itu pola keluarga yang semakin mengarah pada pola keluarga inti (nuclear family) mengakibatkan anak-anak secara tidak langsung kurang memperdulikan keberadaannya dan jalinan komunikasi antara orang tua dengan anak semakin berkurang. Hal ini akan menyebabkan orang lanjut usia merasa tersisih dan tidak lagi dibutuhkan perananannya sebagai anggota keluarga walaupun masih berada di lingkungan keluarga.

Sebenarnya lansia tidak akan menimbulkan masalah yang berati bagi keluarganya, apabila mereka masih mampu merawatnya. Namun bila keluarganya menjadi semakin sibuk dan tidak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk merawat, salah satu jalan yang dipilih adalah menempatkan orang lanjut usia di Panti jompo. Semua itu adalah sebuah pilihan. Kalau saya, saya akan merawat ibu saya sampai di hari tuanya. Karena sudah seharusnya kita sebagai anak bisa merawat dan menjaga serta memberi kasih sayang kepada orang tua kita. Mereka yang telah mendidik kita dari kecil hingga sekarang, kenapa kita tidak bisa berbuat demikian ketika beliau sudah tua. “Ingat, orangtua kita yang ada di rumah merupakan wakil Tuhan, tentunya kita harus menghormati orangtua kita”, kata ibu Henny. Benar sekali kata bu Henny, orangtua memang patut kita hormati dan sayangi hingga akhir masa tuanya. Tanpa mereka, kita pun tidak akan lahir di dunia ini. Kita harus bisa bersyukur dan rawat orangtua kita selama mereka masih ada (hidup). Jika sudah tiada, apalagi yang bisa Anda lakukan untuk mereka?

Menikmati masa tua tanpa ditemani anak, suami atau bahkan cucu,  pastinya menyedihkan. Sepi dan sendiri. Memang banyak teman, namun rasa sepi tetap sulit terusir. Itulah gambaran yang menimpa kehidupan lansia di panti werdha. Kadang para lansia tersebut masih merasa kesepian karena keluarganya tidak ada yang membesuk atau menanyakan kabarnya. Itulah yang membuat mereka merasa dibuang atau ditelantarkan ke panti tersebut. Walaupun di panti banyak aktivitas seperti senam pagi, makan bersama, ibadah bersama, atau melakukan ketrampilan tertentu. Hal tersebut tak cukup mendukung kesejahteraan mereka. Namun tak menutup kemungkinan, ada juga lansia yang merasa bisa beradaptasi dengan baik sehingga mereka bisa bahagia selama berada di panti. Seperti menemukan pasangan hidup lagi dan akhirnya menikah di panti, hal tersebut merupakan sesuatu yang lucu tapi romantis. Fasilitas dalam panti juga masih perlu diperhatikan, masih banyak pekerja sosial dalam panti yang meminta uang kepada para lansia yang tinggal di panti jika disuruh. Sungguh ironis memang, begitulah kenyataannya. Tidak ada yang gratis. Tapi, bagaimana perasaan seorang lansia yang memang ditempatkan di panti tanpa kabar dari keluarga dan uang bulanan? Bagaimana kesehatan dan gizi mereka? Apakah mencukupi? Hanya dari bantuan umat atau komunitas gereja atau ibadah tertentu yang membantu lansia tersebut agar dapat mendapatkan kehidupan yang layak. Sebagai anak, kita harus bisa merawat orangtua kita hingga akhir usianya. Kecuali ada kasus tertentu yang memang sudah tidak bisa keluarga merawatnya lagi, setidaknya keluarga tetap memberikan dukungan dan menjenguk orangtua tersebut. Dengan meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan orangtua Anda akan berdampak pula pada usia harapan hidup orangtua Anda.

2 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar