Selasa, 02 September 2014

Love Or Commitment Should Be In The Marriage? (O'Chandy Marshieldfer)


     Halo, readers! Berjumpa lagi dengan saya di post kedua saya, kali ini topik sayanggak jauh dari perempuan dan pernikahan. Ada yang berpikir lebih baik menikah setelah selesai kuliah daripada kerja dan ada yang berpikir untuk melanjutkan kuliah dan karier. Tidak ada salah dengan pilihan tersebut, tetapi apakah perempuan menyadari apa hal yang paling mendasari suatu pernikahan?? Apakah perempuan sudah siap secara batin dan lahiriah? Apakah perempuan menyadari apa yang harus dilakukan dan apa yang akan dihadapi dalam pernikahannya kelak? Well tidak ada perempuan yang mendambakan pernikahan yang dipenuhi kekerasan, permasalahan anak, pertengkaran yang berujung perceraian, suami menikah lagi, dan kasus lainnya. Saya yakin perempuan mendambakan pernikahan yang bahagia dan langgeng, tapi untuk terjadinya hal tersebut apakah perempuan yakin mampu mewujudkannya?

     Well, baik perempuan maupun laki-laki harus mampu menjadi pelaku untuk mewujudkan kelanggengan suatu pernikahan, bukan hanya penikmat. Kalau hanya satu pelaku artinya kerja rodi? Haha, nggak gitu juga keleus. Maksudnya tidak ada salahnya kan kalau perempuan dan laki-laki bekerja sama untuk mewujudkannya? Sama-sama menjadi penikmat toh? Eits, kerja sama yang saya maksud adalah membina keluarga, membesarkan anak-anak, dan saling memberi dukungan (sosial, ekonomi, maupun emosional).
We live together, work together.” – Luke Katcher, in Step Up 3.
     Yang kita tahu, setelah menikah, perempuan akan mengalami masa kehamilan kemudian melahirkan bayi, udah.  Well, it’s not the end, ladies! Seperti yang dicetuskan dosen pengampu psikologi perempuan di fakultas saya, “penderitaan justru baru dimulai.” Kenapa? Yah tentu saja, bayi yang lahir tidak mengenal waktu, bila lapar, poop, pipis, sakit perut, maka bayi hanya akan bisa menangis dan ibu harus siap 24 jam/minggu untuk itu. Nah, bayangkan saja perempuan single diminta untuk bekerja dengan waktu istirahat yang kurang, apa yang akan terjadi? Ya, emosi menjadi tidak terkontrol dengan baik, sehingga menjadi mudah marah karena kelelahan. Hal ini disebut baby blues, yaitu suatu kondisi di mana ibu merasa frustasi dengan bayinya karena ibu harus menyusui, mengganti popok, menidurkan bayi, dan sebagainya. Baby blues muncul pada ibu baru dan cenderung tidak memperoleh dukungan emosional dari orang-orang di sekitarnya (suami dan keluarga).

     Nah, kembali ke pertanyaan pada paragraph pertama, apa yang mendasari suatu pernikahan? Cinta? Atau komitmen? Pernah dengar cinta expired setelah menikah? Berdasarkan pengalaman perempuan yang telah menikah bercerita kepada saya, pernikahan karena cinta (buta) justru terasa hambar karena cinta telah expired. Jadi komponen penting apa yang harus mendasari suatu hubungan (khususnya pernikahan)? Cinta perlu, tapi komitmen paling diperlukan. Contohnya Anda dan pasangan berkomitmen untuk berkeluarga (memiliki anak dan membesarkannya), saling mengasihi dan mendukung satu sama lain. Kalau Anda dan pasangan menikah karena cinta yang ada hanya romantisme yang ‘sesaat’. Perlu diingat bahwa cinta itu ‘bumbu’ penyedap, bukan komposisi utama dalam suatu hubungan. Setelah menikah, perempuan memiliki tanggung jawab yang lebih besar loh. Marriage is not easy to do,  jadi jangan salah langkah ya, ladies. ;)

2 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar